Bab 3. Mati kutu

1092 Kata
Tak menjawab dan hanya mengedipkan satu mata, Dinda mulai terkulai lemas. Entah akan bagaimana nasibnya setelah ini. Melihat Lucian dan sekertarisnya yang kini sudah duduk di tempat mereka. "Apa dia bukan karyawan di perusahaan ini?" Lucian menunjuk Dinda dengan matanya. "Ah, tidak Tuan. Tentu saja saya karyawan di perusahaan ini. Jika tidak, bagaimana bisa saya ada di sini?!" Melihat tatapan Bu Mega yang mematikan, Dinda segera masuk. Dengan hati yang amat sangat terguncang Dinda memulai presentasi. Benar kata orang-orang, tatapan Lucian cukup membuatnya terintimidasi. Padahal hanya diam, tapi seolah sedang mematahkan seluruh sendinya. Argh sial! Ini pasti hanya karena dia punya salah padanya, kan? Ya, benar. Ini pasti hanya karena itu! Tapi syukur, Dinda yang memang menguasai seluruh bahan presentasi hari ini dapat menuntaskannya dengan cukup baik. Semua orang bertepuk tangan bangga termasuk Bu Mega, sementara Lucian hanya diam dan menatapnya. "Ada yang ingin ditanyakan? Saya persilahkan, Tuan." "Bagaimana bisa kamu yakin jika ini akan berjalan dengan lancar?" Seperti bukan sedang menilai projek kali ini, Lucian lebih seperti menilai Dinda. Berdiri dan menghampiri gadis itu. Dinda meneguk saliva kuat, berusaha seprofesional mungkin. "Tentu saja yakin, Tuan. Sebelumnya, kami sudah melakukan berbagai riset dan percobaan," timpal Dinda dengan hormat. Namun, berbeda dengan yang lain yang mengangguk setuju. Lucian malah semakin mendekat. Dengan tatapan dingin dan rahangnya yang kokoh. Jangan lupakan tubuhnya yang tegap dan tinggi. "Yang saya tanya itu kamu! Bukan yang lain!" Buset galak bener! Dinda meneguk saliva kuat. Berusaha menenangkan bos mereka yang sudah seperti singa jantan. "Ekhem! Tuan Lucian, sepertinya anda kurang sedikit cairan, saya ambilkan minum, ya!" "Tunggu!" Ucapan Lucian menghentikan gerakan Dinda yang hendak berbalik. "Semua yang ada di sini keluar, rapat hari ini selesai. Kecuali kamu! Ada beberapa hal soal projek ini yang akan saya tanyakan padamu." Lagi, Lucian menunjuk Dinda dengan matanya. Sudah pasrah dengan nasibnya setelah ini. Haisss, lagipula mana Dinda tahu jika pria yang ia serang tempo hari adalah seorang bos besar. Salah satu bos di tempatnya bekerja pula. Jika ia tahu dari awal, mana berani. Sempat hendak protes karena yang memimpin projek ini adalah dirinya. Bu Mega akhirnya keluar juga setelah sekertaris Lucian yang sama-sama menakutkan itu menatapnya. Dinda menatap semua orang yang hampir tenggelam tertutup pintu. "Tuan Lucian, sepertinya anda salah orang. Saya bukan ketua dalam pro-" Belum selesai Dinda bicara, Lucian yang seperti sedang menahan sesuatu dari tadi langsung melahap bibir Dinda. Dengan sangat brutal dan terkesan buru-buru. Dinda sendiri hanya melotot. Ternyata seperti ini rasanya diserang orang tak dikenal. "Bernafaslah! Ke mana Dindaku yang liar itu?!" Ha? Haha ayolah Tuan, aku .. aku hanya sedikit eror saja waktu itu! Tak memberi waktu sedikitpun untuk ribut dengan dirinya sendiri, Lucian kembali melumat bibir Dinda. Tak hanya itu, tangan pria itu bahkan sudah berada dibalik roknya. Mengusap-ngusap sesuatu di dalamnya. Tak tahan Dinda segera mendorong d**a bidang Lucian. "Tuan, kumohon! Aku mengaku salah, tapi apa aku harus bertanggung jawab dengan cara seperti ini?" tutur Dinda dengan mata yang hampir menangis. Ia tidak bisa bayangkan jika semua karyawan di sini memusuhinya karena mereka tahu bos yang mereka idamkan telah ia ganggu. Dan lagi, ia tidak bisa bayangkan akan sebahagia apa adik tirinya jika tahu ia dipecat. "Tentu saja. Karena kamu, saya terus menginginkannya," timpal Lucian dengan posisi yang masih menciumi leher Dinda. Terasa begitu wangi, sama seperti malam itu. Ha? Seprotantal itu? "Jika anda terus menginginkannya, kenapa anda tidak melakukannya dengan wanita lain? Atau dengan kekasih anda lebih tepatnya." Gerakan Lucian yang mencium seluruh tubuhnya tiba-tiba berhenti. Antara takut dan lega, Dinda menatap pria itu perlahan. "Kamu yang melakukannya, kenapa orang lain yang harus bertanggung jawab?!" Dinda kembali meneguk saliva. Lucian yang tadi begitu lembut kini kembali seperti singa jantan. "Maaf!" Ya, hanya itu yang bisa keluar dari mulut Dinda. Ia pasrah. "Baiklah, Tuan. Saya persilahkan anda untuk melakukannya. Anggap saja sebagai tanggung jawab dan permintaan maaf saya." "Dengan senang hati, Saya akan memperlakukan kamu sesuai kamu memperlakukan saya!" Hendak membuka jas, Dinda segera mencegah. "Apa harus di sini, Tuan?" Tak menjawab, Lucian melanjutkan gerakan buka jas dan melonggarkan dasinya. Ia angkat wanita itu agar duduk di mejanya. Mengarahkan tubuhnya agar tidur terlentang dan mencium pahanya terlebih dahulu. Gila! Ini sangat gila. Mata Dinda bolak balik menatap kaca dan pintu, takut ada yang masuk. Meski jujur, ia juga menginginkan rasa itu lagi, tapi otaknya masih waras untuk tidak melakukannya di tempat seperti ini. Dalam keadaan terang benderang pula. "Tuan ...." Semakin Dinda banyak bergerak dan bicara, semakin gila Lucian melakukannya. Bagaimana tidak, Lucian belum melakukan penyatuan tapi Dinda sudah berkeringat luar dalam akibat gerakan tangan pria sialan itu. Tak tahan, Dinda segera bangun dan menarik tangan Lucian. Menarik dasi pria itu dan menciumnya dengan sangat brutal. Pria itu hanya tersenyum tipis, inilah yang ia inginkan. Tanpa melucuti pakaian Dinda dan hanya melorotkannya, Lucian melakukan penyatuan. Dengan posisi Lucian berdiri dan Dinda yang berpangku di atasnya. "Arghhh!" Dinda tidak tahan, posisi ini sungguh tidak nyaman. Tapi ia heran kenapa pria ini begitu kuat berdiri begitu lama sambil menahan dirinya. Melihat pria itu mencapai puncak, Dinda segera turun dan lari ke kamar mandi yang ada di dalam ruangan tersebut. Dikira Lucian akan pergi lebih dulu, tenyata pria itu menyusulnya dan memeluknya dari belakang. "Apa kamu langsung ingin pulang, hm?!" Mendengar itu Dinda sontak panik, "Pulang?! Aku masih harus bekerja, Tuan tidak berniat memecatku setelah ini kan?" Lucian sedikit terkejut melihat Dinda yang panik takut dipecat. Ia berniat menyuruhnya pulang agar bisa istirahat, bukan malah dipecat. Tapi kemudian tersenyum kecil hendak mengerjainya. "Hm, tergantung bagaimana sikapmu padaku." "Maksud, Tuan?" Tak menjawab, setelah memastikan Dinda kembali rapi ia membopong wanita itu hingga ke depan pintu. "Antar dia pulang! Pastikan dia berada di sana sampai besok pagi." "Baik, Tuan." "Tapi, Tuan. Tunggu, aku tidak di pecat kan?!" Tak menjawab, Lucian kembali masuk ke dalam ruangannya dan menutup pintu rapat-rapat. Dinda sendiri hanya menghela nafas. Jujur, ada rasa sedikit kecewa ketika Lucian tak menghiraukannya dan bahkan terkesan mengusirnya setelah kejadian tadi. Ya, Dinda merasa seperti barang yang di buang begitu saja setelah di pakai. Haha, memang siapa dirinya. Ia hanya karyawan kecil yang berusaha menebus kesalahan pada bosnya. "Terima kasih, Tuan," tutur Dinda setelah mereka tiba di kediamannya. "Sama-sama, Nona. Anda bisa memanggil saya Roy." Dinda tersenyum kikuk. Rasanya, canggung sekali memanggil nama pada orang sepenting dan seformal beliau. "Eh iya, Tuan Roy." Roy tersenyum manis, "Tidak usah se formal itu, Nona. Saya Roy, panggil saja nama saya." "Ah iya, Roy. Terima kasih!" Dinda sedikit membungkuk hormat kemudian lari masuk ke dalam rumahnya. Namun, baru saja menginjakan kaki di sana, suara melengking memenuhi telinganya. "Ke mana saja kamu?!" Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN