Rielle membanting pintu kamarnya sedikit lebih keras dari yang ia maksudkan. Suara brak itu menggema, membuat dadanya bergetar, tapi bukan karena takut, karena marah. Ia menjatuhkan diri di tepi ranjang, kruknya tergeletak sembarangan di lantai. Tangannya meremas ujung selimut, berusaha menahan air mata yang sejak tadi menggantung di pelupuk. “Kenapa sih, dia harus bicara seperti itu…” gumamnya lirih. Ujung matanya panas, dan akhirnya, satu tetes air mata jatuh, diikuti tetes-tetes berikutnya yang tidak bisa ia tahan. Ia menunduk, pundaknya bergetar. “Harven… kamu pikir aku serendah itu? Kamu pikir aku pernah mau dengan pria itu?” suaranya serak, nyaris tidak terdengar. Ingin rasanya ia berteriak, memukul sesuatu, tapi tubuhnya terlalu lelah. Jadi, yang bisa ia lakukan hanyalah duduk d

