Rielle berhenti sejenak di koridor apartemen, matanya menunduk menatap lantai yang dingin, meski sebenarnya pandangannya kosong. Udara pagi itu menusuk kulit, tapi bukan hawa dingin yang membuatnya terpaku. Ada rasa yang jauh lebih menusuk dari sekadar udara, campuran antara kecewa, bingung, dan sedikit tersinggung."Kenapa aku harus seperti ini?" gumamnya lirih, nyaris tidak terdengar. Bibirnya terangkat tipis, tapi senyum itu hambar, nyaris pahit. "Seharusnya aku enggak marah, karena aku pun melakukannya. Aku menikah tanpa mengatakan apa-apa ke Jingga. Jadi, berarti kita imbang, kan?"Ia menarik napas panjang, mencoba meredakan rasa yang bergejolak di dadanya. Namun, langkahnya kembali tertahan saat pikiran lain menyusup begitu saja, pikiran yang membuat dadanya sedikit menghangat namun

