Melihatmu, sekilas aku sampai lupa rasanya patah hati. Normalkah ini?
.
.
"Indonesian Movie Actors Awards untuk Pemeran Wanita Terfavorit adalah ... Cely Daneswara Semesta!"
Gemuruh tepuk tangan menyambut namanya, lalu kamera menyoroti sosok tersebut selepas dipersilakan naik ke panggung, setelah tahun-tahun lalu Cely memenangkan penghargaan aktris pendatang baru. Kini, dia mendapatkan kemenangan lagi.
Menjadi bintang film yang dimulai dari tokoh pendukung paling menonjol, Cely adalah sosok scene-stealer kala itu. Aktor yang menarik perhatian walau bukan pemeran utama.
Karier Cely semakin menanjak dari tahun ke tahun, semakin sering Sakti lihat yang tidak hanya di media sosial, televisi, tetapi di mana-mana. Wajah Cely bahkan ada di papan reklame, mobil-mobil besar, spanduk, hingga iklan selebaran di sebuah toko-toko kecil.
Ya, Cely ....
Wajah perempuan yang Sakti kenali, yang sudah lama tidak bertemu lagi sebab masanya sebagai guru bela diri gadis itu telah berakhir.
Cely yang dulu masih remaja, kini sudah mendewasa. Sakti melihat tiap perkembangan sosoknya dari media massa. Bukan dengan sengaja, tetapi memang sejak tahun-tahun Cely SMA, dia mulai memenuhi halaman FYP media sosial Sakti, bahkan di media sosial orang lain juga pastinya.
Di mana kini ... keduanya berjumpa.
Sakti dan Cely yang wujud nyata. Dengan masker putih di wajah bintang film itu. Datang ke sebuah pusat kebugaran elite di ibu kota, yang biasa didatangi oleh kebanyakan aktris Tanah Air.
Lalu Cely melepas maskernya, membuat Sakti semakin mengenal wajah itu.
Dan di sini, Cely mendapatkan sorot mata lelaki yang dia ingat sama sekali tidak mau berlama-lama menatapnya dulu, tetapi tatapan lelaki itu sekarang terasa sudah lebih dari tiga detik.
Lantas, haruskah Cely menyapanya? Mencium tangannya, barangkali? Kan, beliau sosok guru bagi Cely.
Cely melupakan satu hal paling penting, guru yang dia maksud ini cara bersalamannya tidak lagi mau berjabat tangan. Yakni saat tangan Cely menjulur dengan lugu, sosok itu membalasnya dengan dua telapak tangan yang menyatu di depan d**a.
Lupa.
But, satu hal yang pasti ... keduanya masih saling mengingat.
"Kamu sudah besar."
Dan dari sekian banyak kalimat untuk diucap pertama kali setelah sekian lama akhirnya berjumpa kembali, Kak Sakti memilih tiga kata barusan.
Kamu sudah besar?
Cely tersenyum kikuk.
Ya, gimana, ya?
Kaku.
Ditambah lagi Cely melihat ada cincin di jemari manis beliau, di tangan kirinya.
Seketika ... ini sangat aneh. Alih-alih merasa patah hati dengan kenyataan Mas Regan—pacar Cely yang rupanya sudah beristri, dia justru merasakan hatinya baru terasa patah detik itu. Detik di mana matanya melihat cincin di jari manis Kak Sakti.
Oh ... Kak Sakti.
Cely menyebutnya begitu, dengan jarak usia sekitar enam tahunan. Berarti Kak Sakti sudah menapaki usia tiga puluhan, kan?
Benar, jadi sangat wajar kalau sudah ada cincin yang melingkar. Itulah yang membuat hati Cely mencelus.
Why?
Laki-laki di depannya ini, kan, tidak lebih dari sekadar cinta pertama, cinta monyet juga, cinta sepihaknya secara diam-diam. Lebih daripada itu, Kak Sakti cuma sebatas guru bela diri yang pernah tinggal beberapa bulan di kediaman papi. Menempati kamar tamu, lalu pindah ke paviliun.
Cuma itu.
Sudah lama juga waktu berlalu sejak Cely selesai dengan masa belajar bela dirinya. Mungkin sembilan tahun lalu?
Selama itu ....
Kak Sakti pun pamit, yang belum sempat Cely ucapkan satu kata pun sekadar menyahut, "Iya, aku sudah besar sekarang. Kakak apa kabar?"
Tadi Cely hanya menanggapi dengan senyuman, saking blank-nya dengan keadaan.
Karena rupanya, kemunculan sosok Sakti saja sudah cukup mencengangkan. Eh, ditambah dengan eksistensi cincin di jari manis pria itu. Membuat perasaan Cely dihinggapi rasa tidak keruan yang tak dia pahami, padahal ... sembilan tahun sudah berlalu.
Kenapa dadanya tadi bergemuruh senang melihat Sakti Adhyaksa dan lalu kecewa di detik mengetahui bahwa sepertinya pria itu sudah beristri?
Hellooow, Cely Daneswara Semesta!
Sadar.
Patah hatimu salah sasaran, Sayang!
Yang secepatnya dia berlari di treadmill, berusaha meluruskan kecamuk yang serupa benang kusut.
***
Cely pulang, tidak jadi kabur. Ini kenyataan paling memalukan saat menghadap orang tua, khususnya papi. Kan, hari ini Cely sedang ngambek, bertengkar dengan papi gara-gara seenaknya menerima pinangan orang untuk Cely. Tanpa kompromi.
Di sisi lain, Cely juga malu atas kenyataan hubungan yang selama ini dia jaga, atas laki-laki yang dibelanya mati-matian di depan papi, ternyata justru lelaki itu sesuai apa yang papi tudingkan.
Laki-laki tidak baik.
Cely telah salah menilai.
Parahnya, dia telah melewati masa satu tahun pacaran dengan pria itu. Oh, God!
Suami orang, Cely! Suami orang!
Apa kata netizen kalau berita kencan Cely dengan sosok itu tersiar di media? Ya ampun! Sepertinya, dia sedang berjalan ke arah sebuah masalah besar di puncak kariernya.
Sekali pun Cely korban, memangnya bisa dipahami posisinya oleh semua orang? Tidak semua netizen budiman, bagaimana bila dia disudutkan?
Cely belum pernah menghadapi skandal sebesar itu. Ditambah dia sedang membintangi film sebagai istri sah yang suaminya berselingkuh. Masa di kenyataan ... berita tentangnya adalah Cely yang menjelma sebagai sosok selingkuhan itu?
Kacau.
Film yang telah launching setengah jalan, di mana itu film merupakan kisah remake dari drama Korea, sedang booming-booming-nya disukai penonton berkat akting Cely yang seketika jadi panutan. Dia berhasil memerankan sosok strong woman dan istri sah dengan kemarahan yang sangat elegan ketika menghadapi suami bajingann. Masa harus hancur gara-gara berita dirinya yang berpacaran dengan suami orang?
Argh!
Harusnya tadi Cely ngobrol dulu dengan istri Mas Regan, minimal bicara soal kesepakatan. Toh, Cely tidak mau jadi pelakor. So, suami beliau akan Cely kembalikan beserta seluruh barang yang pernah diberikan untuknya.
Namun, tahu sendiri kalau sedang emosi, apa pun bisa tidak terpikirkan.
Lalu bagaimana sekarang?
Cely menghubungi manajernya.
Tak lupa membuka blokiran di kontak 'Sayangku' yang sudah Cely hapus. Masih butuh soalnya, meski tak lantas langsung dia hubungi.
Ini sangat gawat, right?
"Kak."
Suara mami, dibarengi dengan ketukan pintu tiga kali.
"Udah makan, belum? Makan dulu."
Dengan kondisi seperti ini, nafsu makan Cely bahkan entah menguap ke mana.
"Kakak ... buka pintunya, Sayang. Ini Mami bawain makanan kesukaan Kakak."
So, Cely buka pintunya. "Maaf ngerepotin, padahal Kakak nanti juga makan, Mi."
Mami membawa nampannya masuk dan diletakkan di meja.
"Nantinya masih lama, kan? Udah, ayo, makan dulu. Mami temenin."
Segitunya.
Cely memang dimanja.
Namun, jangan khawatir. Itu tidak membuat Cely tumbuh jadi anak yang lemah.
Lantas, Cely duduk dan makan setelah berterima kasih. Dia juga minta maaf karena sudah membuat mami khawatir.
Sampai ketika Cely selesai makan, mami bilang, "Kalian udah ketemu?"
"Siapa?"
"Calon suamimu."
Lho, lho?!
Kening Cely sampai mengernyit dalam, dengan alis yang agak menukik.
"Belum, ya?"
Tunggu, tunggu!
"Siapa, Mi?" Maksud Cely, siapa memang calon suaminya? Laki-laki yang papi bilang telah memintanya dengan sopan itu?
Ya, siapa?
Mas Regan, jangan-jangan? Ah, tidak. Tidak mungkin. Atau ... Kak Sakti? Ini semakin ngawur. Cincinnya jelas, kok, ada di jari manis. Lantas, siapa?
Cely bertemu banyak orang tadi. Mulai dari sekuriti, instruktur kebugaran, belum yang sekilas pandang. Jadi, siapa? Yang mana? Selain Mas Regan dan Kak Sakti, dua itu paling mustahil.
So, Cely tidak mau fokus menduga satu di antara mereka orangnya. Malah kecewa saja nanti kalau benar bukan.
Mimi malah tersenyum dan berucap, "Kalau kalian belum ketemu, Mami nggak bisa bilang."
"Maksudnya?"
"Masnya minta dirahasiakan, Kak. Katanya nanti dia yang menemui Kakak langsung. Mami kira udah."
"Dih, apaan, sih." Cely merengut. "Sok misterius, geli!"
Mami terkekeh. "Jangan gitu."
"Ya, emang sok misterius, Mi. Awas aja nanti pas ketemu, Kakak tolak di tempat. Sekali pun Papi udah nerima, emangnya bisa apa kalau Kakak nggak mau?"
***
Sakti Mandraguna adalah nama yang Sakti putuskan untuk perusahaannya. Sebuah Commanditaire Vennootschap (CV), perusahan bukan berbadan hukum, yang telah Sakti rintis sejak tujuh tahun lalu. Masih baru memang, belum yang sampai belasan tahun berdiri. Bergerak di bidang jasa, yakni perbengkelan. Namun, bengkel Sakti juga menjual beragam suku cadang.
Ada tiga bengkel yang bernaung di bawah CV. Sakti Mandraguna, yaitu bengkel motor 'MotoFix Clinic', bengkel mobil 'EliteMobil Service', juga bengkel cat dan body repair 'Custom PaintPro'. Yang terakhir itu paling baru.
Sejatinya, perjalanan Sakti terkait dunia bengkelnya dimulai jauh lebih lama daripada pendirian CV tersebut. Meski demikian, mungkin Sakti termasuk ke dalam salah satu jajaran pebisnis dengan lintas waktu yang terbilang cepat melesat. Entah dorongan keberuntungan atau memang itu hasil dari kegigihannya.
Namun, bisa dipastikan selama ini Sakti hidup hanya berfokus pada satu tujuan; sukses dunia perbengkelannya. Hingga tak terasa sudah berusia tiga puluh tahun dan Sakti sama sekali belum pernah berpacaran.
Jangankan itu, fokus utamanya saja Sakti kesampingkan dulu, yakni soal mendatangi ibu kandung yang telah meninggalkanya.
Mama.
Wanita itu telah menjadi Nyonya Lazuardhi, yang ketika melihatnya, beliau tidak mengenali anak yang telah melewati jalan lahirnya sendiri.
"Ada masalah apa, Bu?"
Ya, hari ini.
Sakti di bengkel mobilnya, mendapati berisik suara ibu-ibu komplain, hingga beliau meminta dipertemukan langsung dengan sang pemilik bengkel. Sakti pun menghampiri.
"Benar, saya sendiri pemiliknya. Ada yang bisa saya bantu?"
Wearpack biru yang Sakti kenakan tercoreng noda oli dan tampaknya mengurangi keyakinan wanita itu atas fakta bahwa Saktilah pemilik EliteMobil Service ini.
Ada gemuruh kencang di d**a Sakti menatap wanita tersebut, yang dia sebut ibu, padahal dulu memanggil mama.
Wanita itu benar-benar tidak mengingatnya? Atau ... raut wajah Sakti berubah drastis dari yang terakhir kali sang mama meninggalkannya?
Dan alih-alih bicara, menyampaikan ada keluhan apa setelah tadi mencak-mencak, wanita yang Sakti kenali sebagai ibu kandungnya itu melengos, memilih menghubungi seseorang.
Yang Sakti dengar, "Pak, jemput saya di EliteMobil Service ...." Alamatnya disebutkan. "Iya, sekarang."
Setelah itu, beliau kembali sekadar untuk berucap, "Pelayanannya buruk, karyawan tidak ramah, tidak tahu mana customer yang harus diprioritaskan. Pemiliknya juga tidak sopan."
"Maaf sebelumnya—"
"Ah, sudah, sudah!" Seraya mengibaskan tangan, tak mau mendengar apa pun. Hingga kembali menghubungi seseorang. "Ya, halo. Pak, sekalian carikan mobil derek. Suruh ambil mobil saya di EliteMobil Service sekarang juga."
Karyawan Sakti hedak bicara, tetapi Sakti larang. Karyawannya ini pun tampak ketakutan, mungkin takut dipecat atas kasus yang ada.
Di mana sosok wanita itu lalu berjalan meninggalkan pelataran bengkel mobil Sakti. Di seberang memang ada kafe, sepertinya hendak ke situ. Tanpa bicara apa-apa lagi padanya, sekadar berpamitan.
Dulu juga begitu.
Pergi tanpa pamit, meninggalkannya.
Mama ....
"Mas, maaf ... saya—"
"Tidak apa-apa," sela Sakti. "Silakan lanjutkan saja pekerjaanmu yang tadi. Kita bicara nanti."
Di mana situasi tadi sempat jadi konsumsi publik, minimal mata orang sekitar melirik-lirik, termasuk pegawai Sakti yang lain.
Sakti sendiri kembali pada kegiatannya, dengan tidak mempermasalahkan kehebohan barusan. Nanti saja saat mobil mama mau diambil.
Dan, hari itu ....
Sampai setelah Sakti bicara dengan orang suruhan Nyonya Lazuardhi, bersama karyawan Sakti yang tadi, berakhir damai karena memang ibu itu yang justru melebih-lebihkan. Sakti menerima kata maaf, dia juga meminta maaf, lalu mobil tersebut meninggalkan bengkel ini. Meski bukan Nyonya Lazuardhi sendiri yang menghadap.
Well, siang di hari itu lantas berakhir, berganti petang. Bengkel Sakti buka hingga pukul sembilan malam nanti. Namun, dia pergi lebih dulu.
Habis magrib nanti ada acara.
Sakti pun bersiap dari petang itu, membersihkan oli yang barangkali menempel di tangan kasarnya.
***
"Mau ke mana kamu?"
Cely terkesiap.
Sepertinya papi masih marah. Ya, Cely juga belum bicara lagi dengan beliau sejak aksi kaburnya yang gagal itu. Jujur, gengsi.
"Ke luar. Ada perlu, Pi."
"Ke mana?"
Ke tempat pertemuan dengan istri sah Mas Regan. Namun, tidak bisa Cely katakan dengan gamblang.
"Sama manajer, kok."
"Papi tanya ke mana?"
Plis, ya! Cely bukan anak kecil yang apa-apa orang tua harus selalu tahu ke mana kakinya akan melangkah, tetapi juga tak bisa mengatakan itu. Takut dicap sebagai anak durhaka.
Di samping itu, Cely memang tidak diizinkan tinggal terpisah dari mereka. Papi yang tidak membolehkannya tinggal sendiri.
"Kafe Universe," ucap Cely.
Itu kafe keluarga besar Semesta, keluarga papi.
"Makan malam di rumah," tukas beliau.
"Iya."
"Ya sudah, hati-hati. Dan pulang sebelum jam tujuh."
Sementara, ini pukul setengah lima sore.
Cely pun melenggang, yang mana akhirnya kembali pamit cium tangan. Manajer Cely melakukan hal serupa, yang sejak tadi bungkam.
Ah, pusing!
Rasanya kepala Cely mau pecah.
Dan begitu pukul tujuh malam tiba, Cely masih di luar, bodoh amat dengan titah papi. Feeling-nya, pasti mau membicarakan soal pinangan orang yang sudah beliau terima, sedang Cely sangat keberatan. Namun, dia malas ... ujungnya pasti berdebat lagi.
So, Cely akan pulang jam delapan. Bilang saja nanti urusannya terlambat usai.
Tidak apa-apa, kan?
Di ruang VIP Kafe Universe, Cely menghabiskan minumannya. Dia sudah makan juga. Dan sudah mengirim pesan kepada mami, meminta maaf akan pulang terlambat.
Lepas itu, Cely memakai masker dan topinya lagi. Kemudian meraih tas dan bangkit.
Sudah jam delapan, Cely akan pulang.
Keluar dari sana dan Cely tersentak melihat siapa sosok yang sedang duduk menikmati secangkir minuman di meja dekat pintu keluar.
Lagi.
Apakah ini kebetulan?
Di mana tatapan Cely dalam langkah pelannya, lalu berbalas oleh lirikan mata pria yang dia ketahui Sakti namanya.
***