3. Suara hati Freya

1466 Kata
Bara memasuki Apartemennya dengan langkah gontai, menyusun skripsi ternyata melelahkan juga. Dari tadi siang sampai menjelang malam, lelaki itu tidak beranjak dari Perpus. Entah apa yang dikerjakan oleh lelaki itu sampai membuat dirinya lupa, jika ia belum menghubungi Freya. Bara bergegas menyalakan lampu, karena ruangan tampak gelap dan sepi. Bara berfikir jika Freya mungkin sedang berkunjung ke rumah orang tuanya. Tak mau ambil pusing, Bara memilih untuk segera masuk ke dalam kamarnya. Sebentar lagi ia harus datang ke sebuah acara untuk memenuhi undangan organisasi, jadi ia tidak punya waktu lama untuk membersihkan diri. Selesai mandi, Bara langsung keluar dari kamarnya dan berniat untuk mengintip kamar Freya. Dilihatnya kamar Freya yang sangat berantakan. Baju berserakan dimana-mana, make up tidak rapi, tisu berhamburan, dan bahkan gadis itu meletakkan dalamannya di meja belajar. Bara mendengus kesal, ia sangat benci dengan kebiasaan jorok Freya. Gadis itu sangat malas untuk bersih-bersih, berbanding terbalik dengan dirinya yang selalu hidup rapih dan higienis. Karena tidak mempunyai waktu lama, Bara memilih untuk membiarkan kamar yang berantakan itu. Setelah ini ia akan menelfon Freya, dan memarahi gadis itu agar segera membersihkan kamarnya. Setelah sampai di parkiran, Bara langsung bergegas menghidupkan motornya. Baru saja ia mendapat telfon dari Elisa bahwa gadis itu sedang menunggunya di depan Apartemen. Ya, mereka berdua memang akan menghadiri acara yang sama, yang diselenggarakan disalah satu villa daerah Bogor. *** Sementara itu di sisi lain, Freya sedang bersantai di rumah orang tuanya sambil menonton televisi, ditemani dengan beberapa camilan kesukaannya. Gadis itu berada di sini sejak ia pulang dari Kampus, dan enggan untuk pulang ke Apartemennya. Sehingga membuat Ibunya kesal sekaligus geregetan, karena sedari tadi Freya selalu mengganggu kegiatannya. "Frey, ini udah malem. Pulang sana!" ucap sang Ibu yang bernama Mega. Di usianya yang sudah menginjak 47 tahun, Mega masih terlihat cantik dan segar. Padahal wanita paruh baya itu sudah memiliki satu cucu dari kakak Freya. "Bentar, Bun. Freya masih mager." Balas Freya. "Udah izin belum? Nanti Suami kamu nyariin loh." Ucap Mega, sambil membersihkan sampah yang berserakan di bawah Freya. "Nggak bakal. Orang dia sibuk pacaran." Celetuk Freya tanpa mengalihkan pandangannya dari layar televisi. "Maksud kamu?" tanya Mega bingung. Membuat Freya langsung gelagapan saat ia menyadari perkataannya barusan. "P-pacaran sama kucing maksudnya. Dia kan suka banget tuh sama kucing, sampai-sampai nggak bisa diganggu kalau lagi berduaan sama kucing." Lagi-lagi, Freya merutuki mulutnya yang selalu keceplosan saat berbicara. "Oh, gitu." Sahut Mega sambil menganggukkan kepalanya. Freya menghembuskan nafasnya lega, beruntung sekali ibunya tidak bertanya lebih jauh. Ia malas, jika harus mengarang lebih banyak cerita agar ibunya tidak curiga. "Bunda nggak masak. Kalau lapar, beli nasi goreng aja." Ucap Mega. "Astaga. Padahal aku main ke sini karena kangen masakan Bunda." "Yaudah, temenin Bunda ke dapur. Bunda masakin telor ceplok." "Bunda ih. Freya kangen masakan Bunda yang berkuah." Kesal Freya. "Bumbu di dapur udah pada habis. Tinggal garam sama bumbu nasi goreng doang. Kalau nggak mau, ya beli makanan di luar aja." "Yaudah iya deh, iya. nasi goreng aja." "Ayo, temenin Bunda." Dengan malas, Freya mengikuti sang ibunda berjalan menuju dapur. Kemudian ia memilih untuk duduk di kursi sambil melihat ibunya yang mulai sibuk dengan alat-alat masak. "Gimana, hubungan kamu sama Bara?" tanya Mega yang mulai membuka pembicaraan. "Biasa aja. Nggak ada perubahan." Jawab Freya cuek. "Kalian berdua itu harus belajar menerima satu sama lain. Mau bagaimanapun juga, kalian udah terikat dalam pernikahan. Kalau kalian masih kayak gini, gimana hubungan kalian bisa maju? Emang nggak pengen, punya keluarga yang harmonis?" ucap Mega, membuat Freya langsung terdiam. Hatinya tersentil mendengar ucapan sang Ibu yang menyinggung soal rumah tangga. Andai ibunya tahu, jika Freya membiarkan orang ketiga masuk dalam hubungan mereka. Pasti ibunya sangat kecewa dan merasa sangat terpukul. Karena ibunya merupakan salah satu orang yang mendukung penuh hubungannya dengan Bara. Entah apa yang dilakukan Bara, sampai membuat ibunya begitu sayang pada lelaki itu. "Freya nggak mau berharap lebih Bun. Jangankan keluarga harmonis, pernikahan ini aja nggak pernah ada dipikiran Freya." Ya. Freya tidak mau berharap lebih, karena itu sangat menyakitkan. Untuk apa ia mengharapkan rumah tangga yang harmonis, jika hati Bara sudah dimiliki orang lain. Ia memang ratu dalam rumah tangga. Namun Elisa adalah ratu di hati Bara. "Ini namanya takdir, Frey." Ujar Mega, membuat Freya tertawa kecil. Namun tiba-tiba saja, air mata gadis itu mengalir tanpa permisi. "Harusnya Freya nggak terlibat dalam pernikahan ini. Harusnya Freya nolak. Tapi kenapa, Freya malah ada diposisi kayak gini? Freya masih belum siap Bun. Kalau tau bakal kayak gini, mending Freya ikhlasin semua harta Freya yang mau diambil Ayah. Dari pada harus terlibat hubungan nggak jelas kayak gini." Ucapnya dengan berlinang air mata. Membuat sang Ibu panik seketika. "Frey, are you unhappy??" tanya Mega lembut. Freya mengusap air matanya sambil tersenyum getir, dilihatnya wajah cantik Ibunya yang sedang menatapnya khawatir. "Freya cuma sedih aja. Freya takut gagal jadi Istri yang baik. Freya masih kekanakan, Freya masih egois, Freya takut Bara nggak nyaman sama sikap Freya." Bohong. Bukan itu alasan Freya menangis. Gadis itu menangis karena mengingat kerumitan yang terjadi dalam rumah tanggannya dengan Bara. Orang ketiga, perceraian, keegoisan, kenyamanan. Semuanya terasa berputar dalam otak Freya. Mega menarik Freya ke dalam pelukannya. Mendekap gadis cantik itu dengan sangat erat, sambil mengusap lembut punggungnya. Rasanya sudah lama sekali ia tidak memeluk putri kecilnya ini. "Hei, don't worry! Bunda yakin, kamu pasti bisa berubah jadi Istri yang lebih baik lagi." Tutur Mega lembut. "Kenapa harus Bara sih Bun?" tanya Freya. "Maksud kamu?" balas Mega yang sedikit bingung dengan pertanyaan Freya. "Kenapa harus Bara yang jadi suami Freya? Kenapa nggak Chanyeol aja?" Sontak saja Mega langsung mencubit pinggang Freya, membuat Freya terkekeh geli. "Kamu ini ada-ada aja. Ayah milih Bara itu karena Ayah tau, Bara anak yang baik dan dewasa. Dia pasti bisa bimbing kamu jadi wanita yang lebih baik lagi." Freya tersenyum sambil menatap wajah ibunya, diusapnya pipi sang Ibu dengan sangat lembut. Membuat sang Ibu ikut tersenyum manis. "Kalau Freya nggak bisa bertahan sama Bara, nggak papa ya! Bunda jangan kecewa." Ujar Freya, dengan tatapan yang begitu sendu. Seketika raut wajah Mega langsung berubah. Ia sadar jika Freya merasa tertekan dengan hubungan ini, namun ia juga tidak rela jika Freya harus berpisah dari Bara. Menurutnya, Bara terlalu baik untuk ditinggalkan. "Kok gitu ngomongnya? Ayo dong semangat. Masa belum apa-apa udah nyerah?" Lagi-lagi, Freya hanya bisa tersenyum. Ia memang tidak ingin mengecewakan Ayah dan ibunya. Namun disisi lain, ia juga tidak sanggup jika terus berada diantara Bara dan Elisa. "Freya nggak bisa, kalau berjuang sendiri Bun. Hati Bara udah ada di Elisa." Ucap Freya dalam hati. *** "Sayang, dingin." Rengek Elisa, sambil beringsut memeluk Bara. Jam sudah menunjukkan pukul 09.00. Dan mereka berdua masih bercengkerama dengan para Mahasiswa di halaman villa tanpa alas duduk. Tentu saja Elisa kedinginan. Mereka duduk di atas rumput, sedangkan udara di luar terasa semakin dingin. "Masuk ke dalam aja. Nanti kalau udah mau pulang, aku telfon." Ucap Bara, menyuruh Elisa agar masuk ke dalam villa. "Sayang, kok nggak peka sih. Pinjemin jaketnya kek, biar kayak di drama Korea." Kesal Elisa. "Nggak mau. Aku juga kedinginan." Tolak Bara. "Ih. Nyebelin." "Bodo amat." Sahut Bara cuek. Sementara itu, beberapa orang yang berada di depan mereka hanya tersenyum. Menyaksikan sepasang kekasih yang selalu terlihat romantis sedang bertengkar kecil. Mereka baru sadar, jika Bara tidak hanya cuek pada orang lain saja. Bahkan dengan kekasihnya sendiri, Bara masih bisa bersikap tak peduli dan sedikit angkuh. Selama ini, mereka menilai Bara dan Elisa sebagai pasangan romantis adalah karena mereka selalu menghabiskan waktu bersama di Kampus. Selebihnya, mereka tidak mengetahui seperti apa gaya pacaran mereka di belakang publik. Yang mereka tahu adalah, Elisa selalu bersikap manis pada Bara. "Oke, lanjut." Ucap Bara, mempersilahkan teman-temannya untuk melanjutkan pembicaraan yang sempat terhenti. "Kak Bara kenal Freya anak Ilmu komunikasi, kan?" tanya salah wanita yang berjilbab hitam. Bara berpura-pura berpikir sebentar, kemudian menganggukkan kepalanya pelan. "Yang cantik itu kan?" tanyanya. "Iya. Crush saya itu." Sahut salah satu lelaki yang duduk di depan Bara, membuat Bara langsung menatapnya tak suka. "Nah. Itu bisa tuh, kita jadikan dirigen di acara wisuda nanti." Ucap wanita itu lagi. "Boleh." Sahut Bara dengan mantap. "Oke deal." "Biar aku yang hubungin dia ya!" sahut lelaki itu, membuat Bara kembali menatapnya tajam. Namun sepertinya lelaki itu tidak menyadari, jika ada seseorang yang sedang menatapnya tak suka. "Sekalian bilang ke dia ya, suruh nemuin aku di aula besok pagi." Ucap wanita itu. Sementara itu, Bara yang mengingat jika ia belum menghubungi Freya sedari tadi, langsung membuka handphonenya dengan panik. Ia lupa jika dirinya akan pulang tengah malam. Dengan cepat ia langsung mengirimkan beberapa pesan pada Freya. Ia menyuruh Freya untuk menginap di rumah Bundanya saja. Dan akan ia jemput besok pagi. Setelah mengirimkan beberapa pesan tersebut, Bara langsung memasukkan ponselnya ke dalam saku kembali. "Kenapa sayang?" tanya Elisa bingung. "Enggak. Ini, aku lupa ngabarin Mama." Jawab Bara, yang hanya diangguki oleh Elisa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN