“Eh eh ... lihat tuh siapa yang datang. Nggak salah tuh si ganteng makan di sini,” ucap salah satu teman Ellena yang di depannya.
“Si ganteng? Siapa lagi sih itu.” Ellena memutar badannya untuk melihat orang yang ada di belakangnya.
Ellena melihat ada dua orang pria masuk ke dalam area kantin kantor dan menjadi pusat perhatian semua orang yang ada di kantin itu. Suasana kantin yang tadinya riuh dengan candaan santai para karyawan, langsung menjadi sepi ketika sosok yang tampak sangat dingin itu muncul di sana.
Sean seolah sedang menyebarkan aura dinginnya ke setiap sudut ruangan kantin. Banyak orang yang kini memilih untuk duduk diam dan segera menghabiskan makanan mereka, daripada harus banyak berinteraksi dengan rekan sejawat mereka seperti tadi.
“Wah, gila ya. Langsung sepi loh,” celetuk Vira sambil sedikit berbisik tanpa berani melihat ke arah Sean.
“Udah buruan makan. 15 menit lagi jam istirahat selesai, jangan cari masalah,” balas Ellena mengingatkan sahabatnya itu agar segera menyelesaikan acara makan siangnya.
Kehadiran Sean dan Bima di tempat itu cukup berimbas untuk suasana kantin. Biasanya Sean memang melakukan inspeksi mendadak ke setiap departemen termasuk kantin. Mungkin saat ini jatah kantin yang mendapatkan kunjungan mendadak dari pimpinan perusahaan ini.
Sean mulai berjalan ke arah meja penyajian, untuk melihat menu yang disajikan oleh pihak kantin hari ini. Dia ingin melihat meja menu yang disajikan oleh pihak kantin pada karyawannya hari ini.
“Selamat siang pak Sean, apa Bapak mau makan siang, Pak?” tanya kepala kantin.
“Gak,” jawab Sean singkat dan jelas.
Sean kemudian segera mengedarkan pandangan matanya ke seluruh area kantin. Mata elangnya terhenti pada punggung seorang wanita yang beberapa hari ini cukup sering mengganggunya.
Tujuan kedatangan Sean ke kantin memang untuk memastikan apakah Ellena bukan wanita malamnya. Aroma tubuh Ellena dan juga siluet tubuh Ellena, sangat mirip dengan wanita yang sedang dia cari itu.
“Pak Sean. Ternyata hari ini sidak kantin ya, Pak,” sapa Lisa yang langsung mendatangi atasannya.
“Iya,” jawab Sean tanpa melihat ke arah Lisa.
“Saya temenin keliling ya, Pak.” Lisa menawarkan diri.
“Gak usah!” tolak Sean dengan tegas.
“Kamu makan aja. Bentar lagi jam istirahat selesai,” ucap Bima sedikit berbisik pada Lisa.
Tentu saja Lisa menjadi kesal pada Sean. Pria itu sama sekali tidak pernah bersikap hangat kepadanya. Padahal dia selalu berusaha untuk menyenangkan Sean tapi tampaknya Sean sama sekali tidak merespon kebaikannya itu.
Sean yang sudah mendapatkan targetnya, berpura-pura keliling area kantin, mencoba untuk mencari tahu apakah ada aroma parfum yang sama seperti yang dipakai oleh Ellena. Karena parfum itu bukanlah parfum mahal, pasti banyak karyawannya yang mampu membeli parfum tersebut.
Ellena yang baru saja menyelesaikan makanannya, segera mengangkat nampan makannya untuk dia kembalikan ke ruang penyimpanan barang. Namun ketika dia berbalik tanpa sengaja tangannya mengenai tubuh Sean.
“Eh, maaf, Pak,” ucap Ellena yang juga kaget karena tiba-tiba Sean ada di belakangnya.
Sean menatap tajam ke arah Ellena, “Bisa gak kalau hati-hati,” ucap Sean.
“Maaf Pak, saya nggak tahu kalau tadi Bapak ada di belakang saya,” jawab Ellena yang tidak berani menatap wajah Sean dan memilih untuk menundukkan kepalanya.
Sean memilih untuk sedikit memiringkan tubuhnya agar Ellena bisa lewat. Namun setelah menunggu beberapa detik, ternyata Ellena tidak juga bergerak dari posisinya.
“Kamu ngapain? Tadi katanya mau lewat,” tanya Sean dengan nada yang sedikit ketus.
Ellena mengangkat pandangannya dan mendapati Sean kini tidak lagi ada di hadapannya, “Oh maaf, Pak. Kalau gitu saya permisi dulu.” Ellena langsung melipir pergi meninggalkan Sean begitu saja.
Ellena langsung menuju ke lemari penyimpanan barang dan meletakkan nampannya di sana tanpa ingin melihat lagi ke belakang. Ellena memilih untuk langsung keluar saja meninggalkan kantin yang sudah mirip seperti rumah hantu.
Ketika Ellena memilih segera meninggalkan kantin, Sean masih berjalan menuju ke arah para manajemen perusahaan. Johan menyapanya dengan senyum lalu berdiri untuk menyapa teman sekaligus atasannya itu.
“Nggak makan siang, Pak?” tanya Johan menyapa Sean.
“Gak.”
Johan tersenyum, “Harusnya kalau ngelakuin inspeksi itu sambil nyobain makanannya, Pak. Biar Bapak juga tahu kualitas makanan kantin itu nggak jauh beda dengan makanan di luar.”
Sean melihat ke arah Johan, “Maksud kamu apa ngomong kayak gitu,” Sean mulai tidak suka dengan ucapan dari Johan.
“Nggak ada maksud apa-apa kok, Pak. Ya cuma kasih saran aja ... kalau Bapak emang mau inspeksi kan harusnya emang harus nyicipin makanan di sini, bukan cuma ngeliatin doang. Atau jangan-jangan menu makanan di kantin nggak sesuai ya sama lidah, Bapak,” sindir Johan secara halus.
Sean tidak suka dengan kata-kata yang dipilih oleh Johan untuk dia. Sepertinya pria yang saat ini sedang ada di hadapannya itu ingin menjatuhkan dirinya di depan para karyawan.
Sean melihat ke piring makan milik Johan. Dia mengangkat sedikit sudut bibir kanannya lalu melihat ke arah Johan.
“Gimana menurut kamu rasa tumis dagingnya?” tanya Sean sambil menatap lurus ke netra milik Johan.
“Tumis daging,” ucap Johan yang kemudian melihat ke arah piring makannya sendiri.
“Oh, tumis daging ini. Enak sih, lumayan ... nggak kalah sama yang ada di luar.” Johan memberikan penilaian tentang makanan yang baru saja dia santap.
“Rasa daging itu terlalu manis dan rasa lada hitamnya terlalu pekat menurutku. Tapi aku suka dengan aroma jahenya yang lembut dan itu membuat semangat kita untuk bekerja akan kembali meningkat setelah makan.” Sean memberikan penilaiannya tentang makanan yang dia tunjuk tadi.
Johan kaget mendengar apa yang dikatakan oleh Sean. Dia tidak menyangka kalau pria yang ada di hadapannya itu akan memberikan penilaian yang terlalu mendetail tentang menu makanan yang baru saja dia tanyakan.
Decak kagum pada jawaban Sean langsung keluar dari mulut para anggota manajemen yang kebetulan juga ada di sana. Mereka setuju dengan apa yang dikatakan oleh Sean, karena menurut beberapa manajemen wanita yang ada di sana penilaian Sean sangat tepat.
“Wah, luar biasa ya. Nggak nyangka ternyata selama ini Pak Sean juga makan menu dari kantin.”
“Iya bener. Nggak nyangka ya ternyata Pak Sean juga makan di kantin. Pak Sean emang beneran secinta itu ama perusahaan ini.”
Pujian terus meluncur dari bibir para anggota manajemen perusahaan untuk Sean. Namun tetap saja manusia dingin itu tidak bereaksi apa pun, selain tersenyum sinis pada Johan.
Sean memang sebelumnya menyuruh Bima untuk memesan makanan dari kantin. Dia menyuruh Bima mencicipi makanan itu dan memberikan penilaian.
Sean tidak begitu suka makan, kalau dia tidak sedang sangat lapar. Karena dia belum lapar, maka Sean menyuruh Bima melakukan review pada makanan itu terlebih dahulu, sebelum mereka ke kantin.
Tanpa berkata apa pun, Sean segera berbalik dan mengajak Bima untuk keluar dari kantin. Apa yang dia cari di kantin ini sudah dia dapatkan jadi Sean tidak perlu berlama-lama lagi di tempat itu.
“Apa sudah ketemu, Pak?” tanya Bima sedikit berbisik saat dia mengikuti langkah atasannya dari belakang.
“Sudah.”