Di sisi ranjang, Ethan sudah bangkit. Punggung tegapnya tampak jelas dalam cahaya lampu meja yang temaram. Ia meraih kemejanya, mengenakannya perlahan, seolah setiap kancing yang dikaitkan adalah keputusan yang menyakitkan. Lily memperhatikan dengan mata setengah sayu, antara ingin menghentikannya dan tidak berani mengucap kata. Suara gesekan kain terdengar ketika Ethan merapikan celana dan jasnya. Ia berdiri sejenak, menarik napas panjang, lalu menatap Lily. Ada sesuatu di matanya—perpaduan rindu dan berat hati. “Aku harus pergi,” katanya pelan. Suaranya serak, tidak seperti biasanya. Lily menggigit bibir, rasa bersalah menghantam lagi. Ia tahu Ethan punya alasan, tapi dadanya terasa sesak. “Begitu saja?” suaranya lirih, hampir pecah. Ethan baru saja merapikan dasi yang kembali ia ken