Sebuah Tamparan keras

2378 Kata
Gelap menjelma pagi, suara burung berkicauan saling bersahutan. Serta bisingnya kehidupan di rumah yang jaraknya saling berdekatan, membuat seseorang tak bisa tidur dengan nyenyak. Dia adalah Ara, yang setiap harinya hanya memiliki waktu 3 jam untuk tidur. Pagi ini ia mulai membuka mata-nya, samar-samar terdengar suara berisik dari dapur. Ara tau, jika Ibunya sedang memasak untuk sarapan. Meskipun masih sangat mengantuk, namun Ara harus segera bangun dari ranjang. Pagi ini Ara kembali mendapat pekerjaan paruh waktu, untuk mengantar sayur pesanan orang-orang. Penjual sayur tersebut merupakan tetangga Ara, yang kadang-kadang meminta Ara untuk mengantarkan pesanan milik orang lain. Meski hanya mendapat upah 50 ribu, namun Ara menjalaninya dengan senang hati karena sudah biasa melakukannya. Ara mengawali hari dengan mandi lebih dulu, sebelum berangkat mengantarkan sayur pesanan orang. "Bu, aku antar sayur milik Bu Tuti dulu ya?" Ujar Ara, begitu selesai bersiap-siap. "Nggak sarapan dulu, Ra? Bentar lagi mateng, Loh" Timpal Maria. "Nanti aja, Bu. Jam segini mereka pasti sudah menunggu sayurnya untuk di masak!" Dengan mengenakan topi di kepalanya, Ara keluar dari rumah-nya, menuju ke rumah Bu Tuti, tempat penjual sayur. Hanya berjarak 100 meter saja, Ara berjalan kaki untuk sampai ke tujuan. "Pagi, Bu Tuti... Mana sayur yang mau di antar Bu?" Tanya Ara, tanpa basa basi. "Eh, di tungguin dari tadi loh Ra. Itu sayurnya sudah Ibu susun di sepeda motor. Masing-masing sudah ada namanya, jadi kamu tinggal antar ke rumah mereka" Sahut Bu Tuti, menunjukkan sepeda motor-nya, yang sudah di lengkapi dengaj kranjang di belakang-nya "Baik, Bu... Kalau begitu Aku berangkat dulu ya" "Iya, hati-hati Ra. Jangan sampai keliru ya?" Timpal Bu Tuti, melihat Ara yang mulai menyalakan sepeda motor-nya. "Sip, Bu" Akhirnya, Ara meluncur ke tempat para pemesan sayuran Bu Tuti. Tubuhnya yang kecil, di baluti dengan Hodie berwarna cream polos, serta celana hitam dengan panjang 7/8, membuatnya tak tampak seperti Wanita berusia 32 tahun. Ara justru terlihat seperti gadis berusia 20 tahunan, karena postur tubuh dan kulitnya yang awet muda. Satu persatu Ara mengantar sayur milik pesanan orang di perumahan yang tak jauh dari kediamannya. Ara adalah Wanita yang ramah, sehingga banyak yang pelanggan sayur Bu Tuti yang menyukai-nya. Beberapa dari mereka menaruh simpati pada Ara, sampai memberikan sesuatu padanya sebagai bentuk tips karena sudah mengantarkan pesanan sayur. Ia pun tak pernah menolak kebaikan orang lain pada-nya. Butuh waktu 2 jam bagi Ara, untuk berkeliling mengantarkan sayur-sayur tersebut. Pukul 8 pagi, Ara baru saja kembali ke rumah Bu Tuti. Ia lebih dulu memberikan uang pelanggan pada Bu Tuti, sebelum akhirnya Ara menerima upah dengan jumlah 50 ribu. "Makasih ya, Bu?" Ucap Ara, senang. "Sama-sama, Ra. Jangan bosan kerja sama ya, Ya" Tutur Bu Tuti, sembari memberikan sesuatu pada Ara. "Berikan ini untuk ibu-mu. Sebagian ada sayur yang baru dan sayur yang kemarin, tapi masih bagus kok. Bisa buat masak makan siang atau makan malam" Ara lalu menerimanya dengan senang hati. Ia berterimakasih pada Bu Tuti, dan tak lama kemudian ia kembali pulang ke rumah-nya. "Ibu pasti seneng, aku bawa oleh-oleh banyak untuk Ibu" Gumamnya berjalan menuju ke rumah. Kedua tangan Ara penuh dengan kantung plastik. Sayur dari bu Tuti, lalu buah-buah seperti pisang dan jeruk dari pelanggan setia Bu Tuti. Walaupun hanya di beri upah 50rb namun Ara menikmati pekerjaan ini. Selain mendapat uang, Ara juga mendapatkan sayur dan buah-buahan setiap pagi. **** Di tempat lain.... Sudah hampir satu bulan setelah lulus kuliah, Malvin belum juga menentukan hidupnya. Ia hanya sibuk bermain dengan teman-temannya setiap hari, bahkan setiap malam. Malvin bahkan mengabaikan panggilan kedua Orang tua-nya setiap kali mereka menghubungi-nya. Hingga kini, Mahendra datang ke rumah Malvin untuk membicarakan sesuatu padanya. Sebagai Kakek, Mahendra tentu memiliki akses untuk masuk ke rumah Cucu-nya. Namun ketika Mahen masuk, ia menyadari sesuatu. Rumah yang sangat besar, yang hanya di tinggali oleh Malvin, membuat Mahen menyadari betapa kesepian-nya Malvin. Mahen bahkan melihat, Sebuah ranjang yang berada di ruang tv. Melihat itu, Mahen menghela napas-nya. Awal-nya Tuan Mahen ingin menegur Cucu-nya yang tidak pernah datang menjenguk, namun ia mengurungkan niat-nya dan memilih menghampiri Malvin ke kamar-nya. Benar saja, begitu Mahen membuka pintu kamar, ia melihat Malvin yang sedang tertidur pulas. Langkah kaki Pria itu semakin mendekat ke arah Cucu-nya. "Apa kamu makan dengan baik? Kenapa kamu sangat kurus" Gumam Mahen, menatap iba Cucu-nya. Sesungguhnya, Mahen sangat menyayangi Malvin. Namun tetap saja, ia harus bertindak keras agar Malvin tidak terus-terusan hidup seperti ini. "Malvin... Apa-apaan kamu, jam segini belum bangun??? Mau jadi apa kamu???" Tiba-tiba Mahen meninggikan suaranya, guna membangunkan Malvin. Mendengar suara bising itu, membuat Malvin mengernyitkan dahi-nya. Ia tahu, jika Kakeknya datang untuk mengusiknya sehingga membuat Mahen bersembunyi di balik selimut yang baru saja ia tarik. "Malvin, ayo bangun!!! Bukannya kamu harus belajar sesuatu setelah lulus? Setidaknya kamu harus bekerja?" Timpal Mahen, kembali merusuhi tidur Malvin. "Apa sih, Kek. Aku masih ngantuk!" "Anak ini, cepat bangun dan ikut Kakek ke kantor!" Timpal Mahen, menempiling kepala Cucu-nya. "Akhh, sakit Kek!!!!" Malvin pun terpekik, sambil memegangi kepalanya. "Makanya bangun, dan ikut Kakek sekarang!" "Ah, iyaa-iyaa. Mengganggu saja!" sambil berjalan menuju ke toilet, Malvin terus terusan menggerutu. "Bicara apa kamu????" Malvin tak menanggapi omelan Kakek-nya, dan memilih untuk mandi lebih dulu. Meskipun Mahen terlihat galak, namun Malvin menyadari jika Mahen yang paling peduli dengannya. Setelah cukup lama menunggu Cucu-nya, Mahen akhirnya keluar dan menghampiri Mahen yang kini berada di meja makan. "Duduklah dan makan dulu, setelah itu ikut Kakek ke Kantor" Ujar Mahen, dengan tenang. Tak banyak kata, Pria muda itu kini duduk dan menyantap makanan yang sudah Mahen siapkan untuk sarapan. "Kek, Aku ngga mau bekerja di kantor jadi percuma saja kalau Kakek memintaku untuk datang ke Kantor!" Tutur Malvin, di tengah-tengah sarapan sekaligus makan siang-nya. "Kali ini Kakek meminta baik-baik padamu. Ini cara bagus, agar kamu memiliki pengalaman baru. Memangnya sampai kapan kamu mau bergantung dengan uang Orang tua yang tidak tau diri itu?" Seketika, Malvin menghentikan tangannya yang sedang menegang sendok dan garpu. "Itulah kenapa, aku nggak mau bekerja di Kantor atau yang berhubungan dengan perusahaan. Aku ngga mau menjadi orang yang tidak tau diri!" Sahut Malvin, kembali menyantap makanan-nya. "Vin, Kakek mohon. Bisnis Kakek sedang berjalan baik saat ini, dan Kakek cuma berharap sama kamu. Kamu lihat sendiri kan, Kakekmu ini sudah renta?" Malvin sedikit melirik, menatap wajah keriput Mahendra yang sedikit mirip dengan Ayah-nya. "Tua itu pasti, kenapa Kakek bicara seperti itu. Kakek kan bisa meminta Putra atau menantu Kakek untuk mengurus perusahaan itu!" Semakin berusaha membujuk, Malvin semakin menolak permintaan Mahen. Pria tua itu menghela napasnya, dengan sabar ia kembali meminta Cucu-nya untuk bersedia meneruskan bisnis-nya. "Malvin, apa kamu tega melihat Kakek bekerja sendirian di usia serenta ini?" "Pokoknya aku ngga minat, bekerja di Kantoran. Kakek jangan memaksaku! Aku sudah selesai makan, jadi aku masuk dulu!" Perlahan, Malvin beranjak dari tempat duduknya dan kembali berjalan menuju kamar-nya. Sementara itu, Mahen hanya menghela napas-nya sambil menatap punggung Cucu-nya yang semakin tak terlihat. "Harus ku apakan, anak itu!" Gunam Mahen, menatap sendu Cucunya. Ia tentu merasa bersalah, karena tak bisa menasehati Adrian dengan benar. Kesibukan orang tua-nya yang sampai tak memperhatikan Putranya, membuat Malvin tak berminat bekerja di Kantoran. Malvin lebih ingin menikmati hidup tanpa harus bekerja. Lagi pula, Kedua Orang tua-nya selalu memberikan uang banyak setiap bulannya. Namun begitu, Mahen tak membenarkan tindakan Malvin. Setidaknya, Mahen ingin Cucunya memiliki pengalaman bekerja. **** Hingga malam tiba, Mahen masih berada di rumah Malvin. Pria tua itu ingin melihat, sampai mana Malvin akan berdiam diri di kamar-nya. Saat sedang membaca koran dan menikmati teh panas, tiba-tiba Malvin keluar dari kamar-nya. Ia juga kaget, melihat Kakeknya yang masih belum pulang. "Apa yang Kakek lakukan? Kenapa Kakek belum pergi?" Tanya Malvin, terlihat memakai pakaian rapih, namun dengan celana sobek di bagian lututnya. "Mau kemana kamu?" Bukannya menjawab, Mahen justru melontarkan pertanyaan pada Cucu-nya. "Kemana lagi, tentu saja main. Ini kan malam minggu! Kayak ngga pernah muda aja, Kakek!" Jawab-nya dengan santai. "Kenapa celana yang sudah sobek masih kamu pakai? Apa kamu ngga punya celana lain?" "Kek ini bukan sobek, tapi tren!" Mahen menggelengkan kepalanya, melihat penampilan Cucunya malam ini. "Sekarang giliran Kakek jawab pertanyaanku. Kenapa Kakek belum pulang? Aku kan mau pergi" "Pergi ya pergi saja! Kakek masih mau disini" Katanya, kembali menatap koran di tangannya. "Ya sudah! Aku pergi" Malvin pergi begitu saja, dengan buru-buru. Sikap sembrononya terjadi sebagai bentuk memberontak, karena tidak mendapat perhatian. Seperti biasa, Malvin pergi bersama teman-temannya. Kali ini mereka akan pergi ke sirkuit, tempat balap mobil yang di lakukan setiap minggu. Keempat sekawan itu pergi bersama dengan menggunakan dua mobil. Malvin berada di satu mobil dengan Panca. Sementara Edo, bersama dengan Juna. Kedatangan mereka ke sirkuit balap yaitu untuk sekedar menonton aksi balapan, sebagai hiburan. Dari keempat Pria muda itu, yang paling bersemangat ialah Juna dan Edo. Mereka terlihat gembira karena banyak Gadis-gadis cantik, yang mengenakan pakaian sexy. "Ngga sia-sia kita kesini, Jun!" Ujar Edo, ketika baru saja turun dari mobil-nya. Di belakangnya, ada Malvin dan Panca yang juga menyusul langkah mereka. Malvin terlihat biasa saja, bahkan mengarah ke bosan, sehingga Pria itu berinisiatif untuk menyulut rokok-nya. Sambil merokok, Malvin duduk di bagian depan mobil milik-nya. "Gue geli banget kalo liat tingkah mereka, Vin. Kayak ngga pernah liat cewek aja!" Ucap Panca dengan suara rendah. Ia pun sama-sama menyalaakan rokoknya dan berdiri di samping Malvin. "Biarkan saja mereka mau berbuat apa. Yang penting kita tau batas!" Jawab Malvin, memerhatikan tiap sudut sirkuit. "Cewek yang kemarin aja, mereka buang gitu aja setelah menghabiskan malam bersama. Bener-bener deh mereka!" "Yang penting kita udah menasehatinya. Urusan mau atau nggaknya ya urusan mereka. Ribet banget hidup Lo!" Cibir Malvin, mengepulkan asap rokoknya ke atas udara. *** Hari semakin malam, area sirkuit telah di penuhi anak-anak muda yang akan menonton balapan malam ini. "Kira-kira, kalau Lo main masih sanggup nggak Vin? Secara Udah lama banget kita ngga latihan" Ceketuk Panca, masih berdiri di samping Malvin. "Entahlah, aku ngga semangat hari ini. Cabut aja yuk!" Tiba-tiba, Malvin berencana meninggalkan sirkuit. "Emang tukang kabur ya, Lo! Terus Edo sama Juna gimana?" "Mereka lagi nyari mangsa baru, mana peduli kita pergi apa nggak!" Bersamaan dengan Balapan di mulai, Malvin dan Panca memasuki mobil den pergi dari area tersebut. Namun tiba-tiba terdengar suara sirine polisi yang berjalan menuju ke tempat balapan tersebut. Belum sempat Malvin dan Panca masuk mobil, tiba-tiba seorang polisi yang mengendarai motor berhasil mengamankan mereka. "Apa-apaan ini Pak?" Tanya Panca, mencoba melepaskan diri ketika polisi memegang tangannya. Para pemuda yang berada di arena balap pun sibuk melarikan diri masing-masing dengan kendaraannya. "Mohon ikut kami ke kantor polisi untuk menjalani pemeriksaan!" Tutur Polisi tersebut, menangkap Panca sekaligus Malvin. "Memangnya apa salah kami, Pak. Kami ini mau pulang, harusnya bapak tangkap mereka yang balapan liar!" Sama seperti Panca yang berusaha melepaskan diri, Malvin pun sama. "Telah terjadi pengedaran narkoba, dan di duga tersangka ada di tempat ini. Jadi mohon bantuannya untuk ikut melakukan pemeriksaan!" Sekali lagi Polisi tersebut menjelaskan. Namun Panca dan Malvin yang kesal pun terpaksa harus ikut ke kantor polisi. Lagi pula, mereka tak memakai barang haram itu apalagi mengedarkannya. "Kami berhasil meringkusnya, Ndan!" Teriak seorang Polisi lain dari kejauhan. Malvin dan Panca tak bisa melawan, ia hanya bisa menurut untuk ikut ke Kantor polisi. "Sial, dia yang berulah kita yang kena!" Umpat Panca, menatap sinis Tersangka pengedaran narkoba. 15 orang telah berhasil dibawa ke kantor polisi termasuk Panca dan Malvin. Dua di antara mereka terlihat Wanita yang juga ikut di ringkus. *** Tak lama kemudian, tibalah mereka semua di Kantor polisi. Malam itu juga, satu persatu dari mereka melakukan Tes urine. "Sial, kenapa kenapa kita malah disini sih! Harusnya kita lebih cepat lagi, pulang. Kalau bokap gue tau, bisa abis Gue" Gerutu Panca, duduk di dalam sel. Sambil menunggu hasil, Para pemuda itu di minta untuk menunggu di dalam sel. "Itu artinya Bokap Lo baik, Nca" Sahut Malvin dengan suara rendah. "Ck, Gue bisa di pukul... Sial-sial, mana Edo dan Juna ngga kena lagi!" Panca sangat kesal saat ini. Namun tidak dengan Malvin. Ia jutru terdiam merenung, karena telah berkali-kali membuat masalah namun baik Ayah dan Ibu-nya, tidak ada yang datang menjemputnya. Ini bukan pertama kalinya Malvin bermain di kantor polisi. Sejak dulu, Malvin mendapat kasus berkelahi dengan orang lain, atau merusak poperty milik orang lain. Namun kali ini berbeda. Ia di bawa ke kantor polisi karena di tuduh menggunakan Narkoba. Tak lama setelah itu, Orang Tua Panca benar-benar datang dengan tenang. Namun tatapannya pada Panca menunjukkan murka. Panca pun tau hal itu, dan membuatnya menunduk tak berani menatap Ayah-nya, yang bernama Wiguna. Para orang tua yang sudah datang menunggu hasil tes urin masing-masing dari mereka. Setelah menunggu cukup lama hingga larut malam, akhirnya hasil tes tersebut keluar. Hasil tes dari 15 orang, terdapat 6 orang yang positive menggunakan Narkoba. Ke 6 orang itu lalu di bawa ke sel yang berbeda. Sementara Malvin dan Panca, serta ke 7 lainnya di bebaskan karena hasil menunjukkan Negativ, atau bebas narkoba. Dengan wajah panik, Panca berjalan menuju kepada Wiguna. "Pulang sekarang!" Cetus Wiguna, menatap tajam Putranya. "Ta-tapi Pah, biarkan Malvin menebeng sampai ke rumah-nya!" Ujar Panca. Wiguna lalu menatap sini Malvin, seolah seperti orang rendahan. "Nggak bisa! Kita nggak sejalan!!!!" Jawaban tajam itu di barengi dengan kepergian Wiguna, mendahului Panca. "Vin, soryy ya. Kayanya Gue juga bakal gawat. Sory banget Vin, gue duluan" Meskipun merasa tidak enak karena meninggalkan Malvin sendirian, namun situasi Panca juga darurat. Sehingga mau tidak mau, Panca pun pergi lebih dulu.. Malvin kini duduk sendirian, tanpa ada yang menjemputnya. Ia melihat jam di tangannya yang menunjukkan pukul 2 malam. Malvin tersenyum getir. Memangnya siapa yang mengkhatirkan aku? Haha, hidup kadang sebercanda ini! Pikir Malvin dalam hati. "Bukannya anda meninggalkan mobil anda di tempat balapan tadi? Apa anda perlu tebengan?" Ujar Seorang Polisi bernama Wira. "Tidak perlu, Pak. Saya akan naik taxi" Sahut Malvin, beranjak dari tempat duduk. Bersamaan dengan itu, ia melihat Kakek Mahen berjalan menghampiri dirinya. Meskipun telat, namun Malvin tersenyum tipis. Ia sedikit melupakan, bahwa dirinya masih memiliki Mahendra, Kakek yang bersedia menjemputnya. "Kakek..." Gumamnya, tersenyum menatap langkah Mahen yang terburu-buru. 'Ceplakkkk' Sebuah tamparan keras berhasil membuat wajah Malvin sampai beralih ke arah lain. Netranya membelalak sempurna, ketika satu-satunya orang yang ia harapkan datang dan menamparnya dengan keras. Malvin melipat bibirnya kedalam, menahan sakit dan menggerakkan mulutnya yang seketika menjadi kaku. "Sebenarnya apa yang aku harapkan dari orang-orang ini?" Batin Malvin, terluka. Wajah-nya yang di tampar, namun hati-nya yang sakit. Mengapa Kakek Mahen melakukan itu? - NWXT---
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN