“Riva...,” Keduanya menoleh. Gadis bersurai panjang itu mendekat dengan langkah tergesa. Senyum lebarnya tak pudar, pandangannya fokus pada lelaki tersebut. “Ini buku kamu ketinggalan.” Ucapnya.
Riva tersenyum, menerima buku tersebut. “De, kamu bisa balikin besok.” Kata Riva. “Kamu nggak perlu make lagi?”
Dewi menggeleng. “Nggak, Va. Aku udah selesai.” Jawabnya.
Riva memasukkan buku tersebut ke dalam ranselnya. “Makasih ya.” Ucapnya.
Dewi berdecak. “Aku yang seharusnya berterima kasih sama kamu.”
Riva kembali tersenyum salah tingkah. “Kalau begitu aku duluan pulang ya.” Ucapnya. “Kamu gimana pulangnya?”
“Tenang. Aku dijemput. Bentar lagi juga datang.”
Lelaki itu mengangguk. “Oh, kalau begitu duluan ya.”
Dewi mengiyakan. Menoleh pada Adel yang sejak tadi memperhatikan mereka sembari menyedekapkan d**a di tangan. “Mari, mbak. Maaf ya ganggu waktunya.” Ucapnya sopan.
“Hm.” Adel berdehem. Riva dan Dewi kembali saling melirik serta melempar senyum. Riva membuka pintu untuk Adel, mempersilahkan majikannya masuk.
Sedangkan Dewi menjauh, kembali menoleh dan melambaikan tangan dengan senyum lebarnya.
Riva melaju dengan kecepatan rata-rata. Pandangannya fokus ke depan. Adel menatapnya dari belakang, masih menyedekapkan tangan di d**a. “Siapa dia?” Tanya Adel angkuh.
Riva menoleh sedikit, “Siapa, mbak?” Tanya Riva mengernyit.
Adel berdecak kesal. “Cewek tadi siapa?” Riva tersenyum merasa bersalah. “Masih nggak ngerti juga? Cewek udik yang nyamperin lo tadi?”
“Oh, Dewi, mbak.”
“Siapanya elu?” Adel mulai emosi.
Riva meringis pelan. “Sekelas saya, mbak.”
Adel memutar bola mata. “Sekelas aja? Nggak ada hubungan yang lain?” Sindirnya sinis.
Riva menggeleng sopan. “Tidak ada, mbak.” Jawabnya yakin dan tegas. “Dia teman saya di kelas, sering membantu saya.” Tambah lelaki itu kemudian.
“Sejak kapan?”
“Sudah lama, mbak.”
Adel kembali menghela nafas panjang. Mendelik tajam pada lelaki yang duduk di depannya. “Kenapa nggak jadian?” Tanyanya tiba-tiba.
Riva terperagah, mengerem tiba-tiba. Sehingga gadis itu mengumpat serapah. “Maaf, mbak.” Jawabnya. “Tapi saya tidak mau jadian sama Dewi. Sudah saya anggap adik. Kami berteman biasa.”
Adel berdecak. “Dari adik dulu baru jadian. Nanti juga suka. Dari temenen banyak yang jadian.”
“Maaf, mbak?” Riva mengernyit.
“Pokoknya lo harus jadian sama dia. Deketin dia! Gue ngasih libur selama gue pergi!” Riva diam, Adel terus berbicara. Memyuruhnya jadian dengan Dewi, bahkan memberikan libur.
Dalam benaknya terangkai maksud Adel. Majikannya ingin Riva lalai pada pekerjaannya dan kemudian lelaki itu akan di depak.
Setibanya mereka di depan rumah orang tua Adel. Riva membuka pintu dan mempersilahkan cewek itu keluar. Adel dengan gaya angkuhnya mengangkat dagu, sama sekali tidak melirik Riva yang tengah menunduk hormat. Dia memang tidak bekerja lagi. Bahkan apartemennya dibiarkan begitu saja. Cewek itu ingin menghabiskan waktunya hanya dengan liburan saja.
***
Senyum indahnya tidak pernah lepas sejak tadi. Tidak sabaran merasakan hembusan angin laut di tubuhnya. Adel bangun pagi-pagi sekali. Mempersiapkan diri untuk liburan dua selama dua minggu ke depan.
Lelaki itu menyetir dengan kecepatan rata-rata. Sesekali melirik dari pantulan kaca. Senyumnya terukir tipis, tanpa ada yang tahu dia senang melihat cewek itu banyak tersenyum.
Mengetuk-ngetuk telinjuk pada setir, Riva menyalakan radio untuk menghidupkan suasana di mobil tersebut selama mereka menuju bandara. Riva melirik sekali lagi. Cewek itu belum mengubah raut wajahnya menjadi tegang. Helaan nafas lega terdengar pelan dari mulut lelaki itu.
“Sudah sampai, mbak.” Riva menyadarkan lamunan cewek itu beberapa saat kemudian.
Adel menoleh angkuh, keluar dari mobil dan mengenakan kacamata hitam. Riva mengikuti dari belakang, mendorong koper gadis itu hingga di ruang tunggu. Adel meliriknya, Riva tampak sesekali melirik arloji di pergelangan tangan kanannya.
“Mbak, hati-hati di jalan. Semoga liburan mbak menyenangkan.” Kata Riva terbata. Cewek itu hanya berdehem, kembali mengalihkan pandangannya pada arah lain. “Hem...,” Riva berdehem, menarik perhatian Adel kembali. “Saya bisa pulang dulu, mbak? Saya punya janji. Maafkan saya. Tapi saya buru-buru.” Adel berdecak kesal. Melihat gelagat lelaki itu membuatnya ingin memakinya. “Permisi, mbak. Maaf.” Riva memutar tubuhnya dan meninggalkan Adel begitu saja. Cewek itu menganga, tidak pernah kejadian seperti ini. Riva meninggalkannya sebelum gadis itu selesai dengan urusannya.
Adel menggeram. Lelaki itu telah menghilang di balik bangunan tersebut.
Awas saja, batinnya menggeram.
'Lo akan dapat perhitungan dari gue dua minggu lagi!'
Setelah mengirim pesan tersebut, Adel memasukkan handphonenya ke dalam tas. Menggerutu kesal karena lelaki sialan itu.
***
Merentangkan kedua tangannya, memejamkan mata dan membiarkan semilir angin berhembus meniup rambutnya. Sehingga helaian-demi helaian menutupi wajah mulusnya dan kemudian kembali menyingkir kebelakang telinganya. Senyum indahnya tak pudar meskipun matahari sedikit menyengat.
“Kayaknya seneng banget.”
Adel menurunkan kedua tangannya, menoleh pada asal suara. Senyumnya semakin lebar, melangkah cepat dan menubruk badan lelaki tersebut. Al terkekeh, memeluk cewek itu lebih erat. Membiarkan semilir angin iri dengan keintiman keduanya.
Tiga hari telah berlalu. Selama itu juga gadis itu menikmati hari menyenangkan bersama lelaki tersebut. Setiap pagi menelusuri pantai tanpa ada yang mengganggu. Namun tanpa ada yang mengetahui, bukan hanya dia saja yang di sana. Al menyusul sore harinya ketika dia menanyakan keberadaan Adel. Gadis itu senang bukan main. Menunggu dengan jantung berdentum berkali-kali lipat.
Sengaja tidak memberitahukan pada siapapun jika dia bersama seorang lelaki. Karena jika ada yang mengetahui, maka beberapa penjaga akan dikirimkan untuk mengetatkan penjagaan.
Bukan liburan menyenangkan yang akan dinikmati. Melainkan sebaliknya, menjadi masalah besar. Tidak ada gunanya dia pergi liburan untuk menenangkan pikirannya.
“Sudah sore. Ayo kita pulang.” Bisik lelaki itu mesra. Adel melonggarkan dekapan mereka, mengangguk sembari menggandeng tangannya erat.
Banyak hal yang mereka lakukan selama tiga hari ini. Al membawanya ke berbagai tempat. Menunjukkan pada gadis itu tentang keindahan alam yang sama sekali belum terjamah oleh manusia.
Bukan hanya itu. Al membawanya ke beberapa restauran, makan malam romantis, lengkap dengan nada piano yang merdu. Adel tidak bisa menghentikan senyumnya, pilihannya tidak salah. Lelaki itu memperlakukannya seperti putri raja.
“Selamat malam.” Adel tersenyum serta wajahnya memanas. Lelaki itu mengantarnya hingga di depan pintu hotel. Cewek itu memandang kepergian Al menuju lift, lalu menutup pintu dan berteriak nyaring.
Melemparkan tubuhnya di atas ranjang, Adel berguling-guling bahagia. Menutup wajahnya yang merona dengan kedua tangan. Jantungnya kembali berdentam meskipun lelaki itu tidak lagi di dekatnya.
Dia melirik jam di handphone, pukul sembilan malam. Al mengajaknya pulang sebelum larut malam. Rasa dalam hati Adel semakin membuncah. Dia jatuh cinta lagi pada lelaki itu.
“Riva..., minum gue!”
Adel berdehem, mengatur suaranya yang serak. Dia membutuhkan air minum untuk membasahi kerongkongannya. Gadis itu berdecak, tersadar jika Riva tidak ikut bersamanya. Terpaksa bangun dan menelpon layanan hotel. Kembali menjatuhkan tubuhnya dan bermalas-malasan sembari menunggu petugas hotel membawakan air putih untuknya.
Membuka pintu, Adel menerima teko kaca dan gelas. Mengucapkan terima kasih lalu meletakkan di atas meja. Gadis itu minum banyak, lalu menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.
Tubuhnya cukup letih, keluar dari kamar mandi langsung ambruk di atas ranjang. Kedua matanya terpejam dan mulai bernaung dengan alam mimpi. Mengumpulkan kesegaran tubuhnya dan bersiap untuk besok pagi. Menjelajahi banyak tempat bersama lelaki yang telah mencuri perhatiannya sejak lama.
***
“Siap?”
Adel mengangguk, tersenyum pada Al yang menggenggam tangannya. Senyum mereka saling beradu, lalu sam-sama membuang pandangan. Membuka pintu mobil dan mempersilahkan cewek itu masuk. Adel mengucap terima kasih, lelaki itu mengedipkan mata lalu menutup pintunya.
Meremas kedua tangannya, Adel tersenyum lagi. Al melajukan mobil dengan kecepatan rata-rata. “Gimana tidur kamu? Nyenyak nggak?”
Cewek itu tersenyum sembari mengangguk. “Kayaknya tempat ini memang dikhususkan buat liburan maksimal. Pastinya aku merasa nyenyak banget kayak kemarin.” Jawabnya puas.
Lelaki itu tergelak. “Syukurlah.” Jawabnya lega.
“Kakak sendiri gimana?” Tanya Adel menyipit.
Lelaki itu tersenyum penuh arti. “Selalu nyenyak kalau abis jalan sama kamu.”
Cewek itu mengerucutkan bibirnya, “Gombal dasar!” Namun rona diwajahnya semakin terlihat.
“Beneran.”
“Nggak!”
Lelaki iru tergelak sambil mengelus kepala Adel di sampingnya. “Kamu masih sama ya. Nggak bisa digombali. Galaknya langsung keluar.” Ucapnya gemas.
“Kakak mah begitu aja terus.” Jawab cewek itu mengangkat bahu. “Hem, kita mau kemana, kak?” Tanyanya memicing, melirik keluar jendela dan alam memanjakan pandangannya.
“Banyak tempat yang akan kita kunjungi hari ini.” Kata Al tersenyum tidak sabar mengajak gadis itu ke tempat-tempat yang telah ditunjukkan.
“Masa sih? Kemana aja?” Adel mulai kepo, memutar sedikit tubuhnya menghadap lelaki tersebut.
Al tergelak, menggeleng dan sama sekali tidak mau membocorkan apa saja yang telah di siapkannya. Cewek itu memutar bola mata, tetap saja Al tergelak dan tidak tergoda.
“Ya udah, Adel nggak mau ikut.” Adel menyedekapkan tangan di d**a. Mengecurutkan bibir dan mengalihkan pandangan.
“Gitu aja ngambek.” Goda Al terkekeh.
“Biarin.” Adel tetap pada pendirian. Al mencoel dagunya, namun gadis itu berdecak dan mengaiskan tangan lelaki itu.
“Hem, kita sudah sampai.” Tanpa terasa mereka tiba di tempat yang dimaksud oleh Al. Gadis itu mengedarkan pandangan, berdecak kagum, lalu kembali menoleh pada Al di sampingnya.
Lelaki itu turun terlebih dahulu, lalu setengah berlari untuk membuka pintu dan mempersilahkan Adel keluar. Gadis itu bersemu, senyumnya semakin lebar dan tidak sabaran ingin memanjakan mata pada keindahan alam.
Pulau-pulau kecil berwarna hijau oleh pepohonan yang rindang. Lumut dan tumbuhan liar lainnya tampak subr dan ikut serta menambak keindahan di sana. “Indah baget.” Kata Adel menghirup udara segar.
“Pasti. Aku sudah menyiapkannya untuk kamu.” Jawab Al bangga.
Gadis itu mengucapkan terima kasih. Menarik tangan Al dan berjalan beriringan. Tak henti-hentinya gadis itu berdecak kagum. Sesekali berteriak nyaring, merasa bebas dan damai di sana.
“Kamu udah sering banget ke pantai. Tapi kamu selalu seperti baru pertama kali ke pantai.” Kata Al menggelengkan kepala.
Gadis itu menoleh, menghentikan kedua lengannya berayun-ayun. “Semua pantai memiliki keindahan masing-masing.” Jawabnya. Lalu kembali berteriak senang.
Al tersenyum sembari menggeleng-gelengkan kepala. Membiarkan gadis itu berdiri di atas bebatuan yang besar dan memandang hamparan pantai.
***