Perasaan bersalah semakin di rasakan oleh Satria. Ketika melihat mamanya menangis tersedu di kamar adik nya.
Walau hampir setiap malam ia melihat sang Mama masuk kedalam sana. Terisak kecil, atau bahkan sampai ketiduran di sana. Sambil memegangi bingkai foto adiknya.
Namun, malam ini berbeda. Tangisan Mamanya juga berbeda. Segala ucapan, aduan dan juga pengakuan sang Mama membuat hati nya sakit bukan main. Sedikit terbersit untuk mengakhiri semuanya. Mengaku kalau apa yang ia katakan sore tadi adalah bohong.
Ia tidak pernah menghamili Airin. Ia menikah juga karena terpaksa. Merasa telah terikat janji dengan Sahabatnya.
Tapi, lagi ia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya.
Karena, dalam agamanya tidak boleh membongkar aib seseorang. Kalau tau, lebih baik menyimpan, bahkan lebih baik untuk menutupi nya. Apa yang di alami oleh Airin saat ini adalah aib ? Dan, sekarang Airin adalah istrinya. Jadi, sudah kewajiban nya untuk menjaga kehormatan istri di mata orang. Termasuk kedua orang tua nya.
"Sayang, Mama kangen "
Satria menitikkan air matanya, mendengar ucapan Mamanya di dalam kamar sang adik. Dengan mengusap bingkai foto itu.
"Mama gak bisa nyalahin Abang, mungkin semua salah Mama yang udah lalai. Mama yang salah, keluarga kita udah berubah, nak. Hiks.. Mama minta maaf. Mama... "
Satria berusaha mati-matian menekan seluruh rasa sakit, dan d**a yang tiba -tiba sesak mendengar itu semua.
"Semua salah Mama, Fadil, Mama.. Mama.. gak tau harus gimana "
Satria tidak lagi sanggup mendengar semua nya. Dan hendak masuk kedalam kamar adik nya, namun urung saat melihat Ayahnya sudah di depan anak tangga.
Mereka berdua saling menatap satu sama lain, kemudian Rezky lebih dulu membuang muka nya dan berjalan memasuki kamar adik nya. Mengabaikan Satria yang menatap sedih dan penuh rasa bersalah.
Dee yang menyadari kehadiran suaminya, langsung mengusap air matanya. Dan menatap suami nya yang berjalan mendekati nya.
"Udah malam, tidur yuk " ajak Rezky, memeluk bahu istrinya.
Ia melirik foto putra keduanya, dalam balutan Jersey sepak bola kesayangan anak nya. Fadil, terlihat tersenyum begitu manis, bahkan memamerkan lesung pipi nya.
"Fadil gak akan suka, ngeliat wanita yang paling di cintai nya terus menangis di kamar nya " ujar Rezky, mengambil bingkai foto di tangan Dee dan meletakkan nya di atas nakas.
"Semua salah ku "
"Enggak ada yang salah " ujar Rezky, mengusap rambut panjang istrinya. Kemudian mengecup nya dengan sayang.
"Tidak, semua salah ku. Aku.. aku telah mengabaikan kalian. Bahkan, Putri sampai harus di urus oleh Mama " ujar Dee dengan lemah.
"Kita semua mengerti, sayang. Kamu pasti terpukul banget " ujar Rezky menggenggam tangan istrinya.
"Kenapa kamu tidak ?"tanya Dee menatap lekat pada Rezky.
Pria yang sudah hampir paruh baya itu mengulum senyum kecil. "Kamu tidak merasa kehilangan, kamu terlihat baik-baik saja atas kepergian anak kita. " Lanjut Dee.
"Siapa bilang ?" Tanya Rezky dengan nada lembut. Ia mengusap lagi kepala istrinya. "Aku bukan tidak sedih, aku tidak menangis bukan berarti tidak merasakan apa yang kamu rasakan. Aku hanya berusaha kuat, berusaha untuk tetap terlihat biasa aja, meski hati aku hampa. Itu semua aku lakukan, agar tetap bisa menjadi topangan untuk istri dan anak-anak ku "
Dee menatap suaminya dengan lekat, dan cukup lama. Hingga kemudian, ia menunduk. Merasa telah terlalu bersalah pada suaminya.
"Maaf " ucap Dee.
"Gapapa " jawab Rezky, menarik nya kedalam pelukkan. "Di mana pun, Fadil berada, hidup atau tidak. Dia pasti akan sedih melihat Mamanya seperti ini "
"Fadil masih hidup, "
"Dee " ujar Rezky dengan memohon. Dee melepaskan pelukkan nya, menatap Rezky dengan lekat. Dan tatapan yang begitu yakin.
"Sayang, aku Mamanya, aku yang telah melahirkan nya. Perasaan ku mengatakan, kalau anak ku masih hidup. " Ucap Dee dengan nada tegas dan mencoba meyakinkan. "Ky, kita belum melihat jasad nya, bahkan polisi sampai sekarang belum menemukan nya. Jadi, dia pasti masih hidup sayang "
Rezky diam, memandangi istrinya dengan sedih. Namun, tidak bisa di pungkiri kalau ia juga merasakan hal yang sama. Namun, semua bukti yang telah di temui oleh polisi. Semua mengarah, kalau kemungkinan Fadil hidup hanya 5%. Mengingat bagaimana kondisi mobil dan juga terjalnya jurang itu. Di tambah dengan derasnya aliran sungai.
"Kalau itu emang keyakinan kamu, kita berdoa saja. Semoga semua nya benar. Dan Fadil akan pulang " ujar Rezky.
Dan satu lagi, jika Fadil anaknya masih hidup, mengapa dia belum pulang juga ? Sudah hampir setahun, dan tidak ada tanda-tanda apapun hingga sekarang yang membuktikan kalau Fadil, anaknya masih hidup.
***
Cklek
Satria masuk kedalam kamarnya, melihat Airin masih terjaga. Duduk di atas ranjang dengan tatapan kosong. Membuatnya menghela napas lelah.
"Kenapa belum tidur ?" Tanya Satria, berjalan menuju sofa di dekat jendela yang tertutup gorden.
Ia membuka laptop nya, mengechek apakah ada email dari Azka atau tidak.
"Azka, cerita sesuatu sama kamu ?" Tanya Airin, menatap lekat pada Satria.
Laki-laki itu duduk dengan santai di depan laptopnya. Walau ia bisa melihat kalau mata nya sembab. Satria terlihat sedikit berbeda dari saat pertama ia bertemu dengan laki-laki itu.
Membuatnya kembali teringat, pada kejadian beberapa tahun yang lalu. Saat pertama kali ia bertemu dengan seorang pria baik hati dan juga sangat ramah.
Saat itu ia masih duduk di bangku sekolah. Masih, kelas dua SMP. Hari di mana untuk pertama kali ia membolos sekolah hanya untuk menonton pertandingan sepak bola tingkat SMP.
Masih dengan menggunakan seragam sekolah. Hanya di tutup dengan cardigan biru langit, Airin bersama dengan satu teman nya berlari memasuki stadion bola. Mereka berdua sengaja membolos sekolah hari ini, hanya untuk menonton tim sepak bola sekolah mereka.
Bergabung dengan teman-teman yang lain nya. Mereka dengan semangat bersorak menyemangati tim sekolah nya. Meski akhirnya mereka kalah juga.
"Yaaa.. ternyata tim lawan tangguh ya " ujar Airin. Sedikit kecewa.
Tesa, teman seperjuangan atau sahabatnya. Hanya bisa mengangguk.
"Hendra, kalah sama si nomor punggung sepuluh tim lawan. " Ujar Tesa.
Keduanya pun turun dari tribun penonton begitu pertandingan selesai. Berjalan menuju lobby stadion. Tapi, tiba-tiba saja Airin kebelet pipis.
"Tes, temenin ke kamar mandi yuk " ajak Airin menarik tangan sahabat nya.
Yang di tarik hanya bisa pasrah, dan menurut saja. Namun, ia juga sekalian ikut pipis.
Bugh
Saat sudah selesai dan keluar dari dalam kamar mandi, tidak sengaja Airin bertabrakan dengan seseorang. Tepat di belokkan menuju loby stadion.
Hampir membuatnya terjatuh, tapi orang tersebut berhasil menyelamatkan nya.
"Maaf " Airin langsung menoleh pada sumber suara.
Seorang laki-laki menggunakan Jersey sepak bola tengah memasang muka bersalah. Dengan wajah tampan, dan rambut yang sedikit acakan, dengan lesung pipi kecil, tidak terlalu terlihat. Tapi, laki-laki di depan nya nyaris sempurna.
"Ti.tidak apa-apa" jawab Airin dengan sedikit gugup. Bahkan ia bisa memakan degupan jantung nya yang tiba-tiba.
Airin melepaskan diri dari, dekapan laki-laki itu. Dan kemudian menunduk, untuk menyembunyikan rasa malu.
"Maaf ya, aku buru-buru soal nya. " Ujar anak cowok itu lagi. Membuat Airin kembali menoleh. Dan menggeleng, cowok itu kemudian berpamitan pergi. Namun. Baru dua langkah kembali menoleh padanya. Dan mendekati nya lagi.
"Nama ku, Satria " ucap cowok itu mengulurkan tangan pada Airin. "Kamu ?" Lanjut nya lagi.
Airin menatap tangan cowok itu dengan ragu. Tapi, saat merasakan kalau bahunya di senggol oleh sahabatnya yang sudah senyum-senyum tidak jelas. Ia pun ikut membalas uluran tangan Satria.
"Airin " jawab Airin dengan malu-malu.
Satria tersenyum dengan lebar, kemudian jabatan tangan mereka terlepas. Berganti dengan Satria berkenalan dengan Tesa.
"Sekali lagi, maaf ya. Aku gak sengaja " ucap Satria lagi sebelum pergi.
Dan siapa yang menyangka, kalau itu bukan lah pertemuan mereka yang terakhir. Karena besok nya, ketika Airin tengah menghadiri acara keluarga, ia kembali bertemu dengan Satria. Dan di sana lah mereka sedikit lebih dekat. Dengan Satria yang lebih dulu membuka obrolan.
Ia menjadi tau, kalau Satria berasal dari Aceh dan ke Surabaya hanya untuk melakukan pertandingan karena kotanya menjadi tuan rumah. Baginya, Satria cukup bawel. Cowok itu bisa berbicara tanpa henti, bahkan suka sekali tertawa. Memberikan lelucon yang mampu membuat Airin tertawa lepas.
Tapi, Satria hanya berada di Surabaya selama seminggu. Begitu turnamen tingkat nasional selesai, cowok itu juga harus pulang. Mereka sempat jalan-jalan berdua sebelum Satria pulang ke Jakarta.
"Ini " Satria memberikan sebuah gelang. "Sebagai kenang-kenangan. Semoga kita bertemu lagi " ujar Satria sebelum mereka berpisah.
Airin menerimanya, ia berusaha tersenyum.
"Kalau gitu, ini buat kamu " ucap Airin, memberikan sebuah handband dengan tulisan nama Satria di sana. "Semoga kita bertemu lagi "
"Kita pasti akan bertemu lagi " ujar Satria kemudian, membuat Airin sedikit kaget. Tapi, kemudian ia tersenyum.
Ia pun mengangguk, dengan mata berkaca. Ingin sekali ia memeluk cowok itu saat itu. Tapi, ia malu untuk melakukan itu. Jadi, ia hanya bisa melambaikan tangan saat kereta yang di tumpangan Satria pergi.
Dan itu menjadi perjumpaan terakhir mereka, karena selanjutnya ia sama sekali tidak mendapatkan kabar apapun dari cowok itu.
"Airin "
Ia sedikit terkejut dengan panggilan itu, apalagi dengan Satria yang tiba-tiba sudah di atas ranjang yang sama dengan nya. "Kamu melamun ?"
"Maaf " ucap Airin, dengan sedikit menunduk. "Ki.ta tidur seranjang ? "Tanya Airin.
"Kenapa ? Kamu keberatan ?. Aku bisa tidur di sofa kalau kamu -"
"Biar aku aja yang tidur di sofa, " sela Airin cepat. Ia langsung beranjak dan hendak mengambil bantal. Namun, lebih dulu di tahan oleh Satria.
"Kamu keberatan berbagi tempat tidur dengan ku?" Tanya Satria.
"Hah?" Kaget Airin. "Mak.sud kamu? "
"Airin, kita udah menikah. Jadi, gak ada masalah kita berbagi tempat tidur. Tapi, kalau kamu emang keberatan, biar aku yang pindah ke sofa " ujar Satria.
Airin tidak mengatakan apapun, ia hanya diam. Membuat Satria menghela napas berat. Ia pun beranjak, meraih bantal dan berjalan menuju sofa.
"Em... Good nigth, Ai " ucap Satria sebelum memejamkan matanya.
Airin tidak membalasnya, ia hanya duduk termenung memandangi Satria yang tidur memunggungi dirinya. Membuatnya sedikit merasa bersalah, karena dia jadi terlibat hal yang tidak di ingin pria itu.
Ia pun memilih untuk berbaring, dan berusaha untuk tidur.
Namun, baru lima menit ia kembali membuka matanya. Kembali memandangi Satria. Ia menjadi tidak tega melihat pria itu harus tidur di sofa. Membuatnya memberanikan diri untuk menghampiri Satria dan membangunkan nya.
"Satria " panggilnya. Pria itu membuka matanya.
"Kenapa ?" Tanya nya.
"Aku gak keberatan berbagi tempat tidur dengan mu " ujar Airin dengan malu-malu. "Ini kamar kamu, jadi gak mungkin kamu tidur di sofa "
Satria mengulum senyum kecil, ia pun bangun dan pindah ke tempat tidur. Di susul oleh Airin, perempuan itu menaruh guling di tengah-tengah mereka. Membuat Satria tersenyum geli sendiri.
"Satria " panggil Airin lagi, yang tidur memunggungi.
"Hm ?" Gumam Satria, dengan mata terpejam.
"Makasih "
Satria sedikit menoleh kebelakang, kemudian tersenyum kecut. Ia tidak menjawab lagi, memilih memejamkan kedua matanya.