Bayangan Loco terpantul di lantai saat dia berdiri di koridor rumah sakit, mendengarkan laporan dokter dengan ekspresi serius.
Tatapannya tertuju pada sosok di balik kaca—Lexa, yang tertidur pulas akibat obat penenang, wajahnya yang pucat terlihat rapuh di bawah lampu bangsal.
"Secara fisik, kondisi Nyonya Lexa sudah sangat stabil, Tuan Loco," ujar Dr. Fernandez, suaranya berusaha tenang meski sedikit gugup di hadapan pria bertato yang dikenal luas pengaruhnya itu. "Luka-lukanya sembuh dengan baik, bahkan lebih cepat dari perkiraan kami. Memar sudah memudar, dan jahitannya hampir sepenuhnya pulih."
Loco mengangguk singkat, tangannya yang penuh tato mengepal di saku jaket kulitnya. "Bagaimana dengan ingatannya? Apakah dia akan terus seperti itu?”
Dr. Fernandez menghela napas. "Itu bagian yang lebih rumit. Secara medis, kami tidak menemukan kerusakan signifikan pada otaknya. Amnesia yang dialaminya kemungkinan besar bersifat psikogenik karena respons otak terhadap trauma kecelakaan yang parah. Ingatannya bisa kembali perlahan, atau ..."
"Atau tidak kembali sama sekali," Loco menyelesaian dengan suara rendah.
Dokter itu mengangguk perlahan. "Dia masih sangat terguncang. Dunianya sekarang dipenuhi ketakutan karena belum mengenal dirinya sendiri. Dan memori tentang Anda ... hilang."
Loco menatap Lexa melalui kaca. Matanya yang tajam dan keras, untuk sesaat melembut. Perempuan itu, istrinya, yang dulu selalu memandangnya penuh cinta, kini memandangnya seperti orang asing.
Seperti saat-saat pertama mereka bertemu, sebelum segalanya berubah.
"Jika fisiknya sudah stabil, aku akan bawa dia pulang," ucap Loco tiba-tiba, suaranya tidak lagi meninggalkan ruang untuk diskusi.
Dr. Fernandez terkejut. "Tuan, secara medis memang memungkinkan, tapi secara psikologis—"
"Di rumah, dengan lingkungan yang familiar, mungkin bisa membantunya mengingat," potong Loco. "Atau setidaknya, membuatnya merasa lebih aman."
Argumen itu masuk akal, meski dokter bisa merasakan ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang berbahaya, dalam keputusan Loco. Sebuah rasa posesif yang mendominasi.
"Baik," kata Dr. Fernandez akhirnya, menyerah. "Kami akan menyiapkan surat dan resep obatnya. Tapi tolong, kondisinya masih rentan. Dia butuh ketenangan."
Loco tidak menjawab. Pikirannya sudah melayang ke mansion megahnya yang terpencil, tempat di mana dia berencana membawa Lexa kembali.
Jauh dari dunia luar, jauh dari pertanyaan yang tidak diinginkan, dan jauh dari kemungkinan bahwa ingatan Lexa akan kembali pada hal-hal yang justru ingin dilupakannya.
*
*
*
Mobil hitam berkaca gelap meluncur meninggalkan rumah sakit. Di dalamnya, Lexa masih tertidur, kepalanya bersandar pada bantal lembut yang disediakan Loco.
Pria itu duduk di sampingnya, matanya tak pernah lepas dari wajah istrinya. Dalam tidurnya, Lexa sesekali mengerang pelan, seolah berjuang melawan mimpi buruk yang tak kasat mata.
Loco mengulurkan tangan, menyentuh lembut pipi Lexa. Sentuhannya, yang biasanya kasar, kini sedikit gemetar. "Aku akan menjagamu, Lexa," bisiknya. "Kau akan aman sekarang. Aku tak akan biarkan apapun terjadi padamu lagi."
Tapi siapa sebenarnya yang dia lindungi? Lexa dari dunia? Atau dunianya dari ingatan Lexa?
Mobil mewah itu melewati gerbang besi besar yang dihiasi ukiran naga, lambang yang identik dengan kekuatan Loco.
Mansion bergaya gothic terbentang di baliknya, megah namun terasa dingin dan terisolasi.
Pepohonan tinggi mengelilingi properti itu, membentenginya dari dunia luar yang lebih kejam karena banyak musuh Loco yang mencoba menembusnya.
Saat mobil berhenti, Lexa mulai bergerak. Obat penenangnya mulai memudar. Kelopak matanya berkedip, dan tatapan kebingungan kembali menghiasi wajahnya.
"Di ... di mana aku?" ucapnya lemah, mencoba duduk.
"Kau di rumah, Lexa," jawab Loco, membantunya dengan lembut.
Lexa memandang sekeliling, matanya penuh ketakutan. "Rumah? Ini bukan rumahku." Dia mencoba menarik napas dalam-dalam, tapi rasa panik sudah mulai menyergap. "Aku ... aku mau pulang."
Loco memegangi bahunya, tatapannya mencoba menenangkan. "Ini rumahmu, Lexa. Kau aman di sini."
Tapi bagi Lexa, tidak ada yang terasa aman. Setiap sudut mansion itu asing, setiap bayangannya sangat mengancam.
Bahkan pria di depannya yang mengaku sebagai suaminya, dengan tato dan tatapan yang menusuk, membuatnya merinding.
“Aku mau pulang! Ini bukan rumahku!”
“Ini rumahmu, Lexa!” bentak Loco akhirnya. Dia sudah mencoba menahan emosinya tapi tetap tak bisa.
Loco memegang bahunya sedikit kencang dan menatapnya serius. “Kau adalah Lexa Hatzi Ferraro! Kau istriku! Mengerti? Aku tak peduli kau ingat atau tidak, tapi kau tetap istriku! Sekarang kita masuk, kau butuh istirahat.”
Wanita itu akhirnya terdiam, ada rasa takut ketika melihat pria yang menyeramkan namun tampan itu.
*
*
*
Hari-hari berlalu dalam kabut kebingungan bagi Rebecca atau kini dikenal dengan nama Lexa. Dia dibawa dari satu ruangan ke ruangan lain, dan terbilang sangat mewah.
Tapi kemewahan itu terasa seperti sangkar emas. Pelayan-pelayan yang lalu lalang selalu mengawasinya dengan diam-diam, dan setiap kali dia mencoba menjelajah terlalu jauh, Loco selalu muncul, mengalihkannya dengan kenangan mereka yang dia ceritakan, kenangan yang terasa kosong dan hampa bagi Rebecca.
(JANGAN LUPA KOMEEEN YANG BANYAAAAK)