Wanita Kulkas

1703 Kata
Liam geram karena merasa tidak dihargai. Nazra adalah perwakilan perusahaan yang datang bersamanya, terlepas dari hal yang dikeluhkan Daisy. Nyatanya, wanita itu hanyalah korban karena diseret paksa olehnya. Nazra menandaskan minumannya lalu menatap Daisy. “Maafkan saya Bu Daisy, saya hanya terlalu menikmati minuman yang disuguhkan. Mungkin, seperti Anda yang terlampau menikmati wajah atasan saya sedari tadi?” ucap Nazra dengan senyum manisnya. Daisi menggertakkan gigi geram. Wajahnya merah padam menahan amarah dan malu di saat bersamaan. “Kamu–“ “Cukup Daisy!” Raga memperingati dengan menggenggam tangan Daisy. “Tolong maafkan adik saya, Pak Liam dan Bu Nazra. Saya akan menghukumnya dengan berat.” “Tidak apa-apa, Pak Raga. Apa yang dikatakan Bu Daisy memang ada benarnya. Hanya saja, sebenarnya dari tadi saya menunggu kalian menyelesaikan pembicaraan, baru saya akan memberikan pendapat.” Jelas Nazra. Sembari menikmati minumannya, sebenarnya dia sedang mendengarkan. Bukan tanpa alasan, tentu saja karena dia tidak tahu mengenai hal terkait kerjasama ini. Kekasih tampannya yang menyeret kesana tanpa memberitahukan apa pun. “Ehm, bisakah saya memberi saran terkait pembukaan cabang yang tadi kalian bicarakan?” tanya Nazra berbicara dengan wajah datarnya. “Anda tidak usah sok tahu!” Daisy menimpali dengan senyum menyeringai. Ah, entah apa kesalahan yang telah Nazra lakukan, hingga wanita itu sedemikian kesal kepadanya. “Maaf, Bu Daisy, saya bertanya kepada Pak Raga bukan kepada Anda,” ucap Nazra santai. “Daisy! lebih baik kamu cek stok persediaan di gudang saja,” titah raga penuh penekanan. Wanita itu kemudian meninggalkan mereka dengan wajah menekuk tanpa perlawanan. Kakinya dia entak-entakkan sebagai ekspresi ketidaksukaannya. “Maafkan dia, Bu Nazra. Adik saya itu masih belajar. Tolong jangan dimasukkan ke dalam hati. “Ah, Pak Raga tenang saja. Kebetulan telinga saya ini bagus, jadi saya memang mem-filter perkataan yang saya dengar. Jika tidak menguntungkan, biasanya hanya masuk di telinga sebelah dan langsung keluar di sebelahnya lagi. Easy.” Raga menatap Nazra sangat dalam, sebelum suara batuk dari Liam kembali menyadarkannya. “Ah, iya, apa yang ingin Anda sampaikan tadi?” tanya Raga tersenyum kepada Nazra. Kini Nazra yang menatap pria itu sembari mengetuk-ngetuk ujung jari telunjuknya di meja. Raga jadi salah tingkah ditatap seperti itu. "Uhuk ... Uhuk ...." Lagi-lagi suara batuk Liam kembali menyadarkan mereka. “Jika boleh memberi saran, Anda bisa membuka cabang di sini, bukannya di tempat yang tadi,” ucap Nazra sesaat setelah membuka sebuah botol air mineral lalu menyodorkan kepada Liam. Pria itu menerima dengan enggan, meneguknya sedikit lalu menyimpan sisanya di meja. “Wah, dari mana Bu Nazra mendapat peta ini? Lalu apa maksud tanda silang berwarna merah ini?” tanya Raga heran menunjuk sebuah lokasi di peta. Pasalnya lokasi awal rencanya ditandai dengan tanda itu. “Abaikan dari mana saya mendapatkan peta ini, yang pastinya lokasi dengan tanda itu tidak boleh menjadi tempat cabang baru.” Nazra menatap Liam dan Raga bergantian. Dia mengisyaratkan agar keduanya mendekat. “Sebenarnya itu adalah tanah sengketa. Anda harus memeriksa ulang lahan itu. Saya bisa menjamin info ini akurat seratus persen.” Nazra meyakinkan kedua pria itu. "Anda yakin?" Raga seolah-olah masih tidak percaya dengan perkataan Nazra. "Tentu saja." “Ehm, baiklah saya akan mengkonfirmasi ulang dengan orang yang terkait. Terima kasih atas informasinya, Bu Nazra. Padahal besok saya akan melakukan p********n atas tanah tersebut. Jika, apa yang Anda ucapkan benar adanya, tentu saya sangat bersyukur.” Raga tersenyum tulus mengulurkan tangannya. Nazra pun meraih uluran tangan pria itu. “Ah, satu lagi, bisakah Anda memanggil saya dengan nama saja, agak risih mendengar orang semuda Anda memanggil saya ibu,” desis Nazra dengan penekanan di akhir kalimatnya. Ucapan Nazra membuat Liam tersedak air mineral yang sedang diminumnya. Sigap Nazra mengeluarkan sebungkus tisu ukuran kecil kepadanya, lalu menepuk-nepuk punggungnya. *** Liam melirik Nazra dari balik kemudi untuk kesekian kalinya. Sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi ragu untuk mengungkapkan. “Bicara saja, Am. Memangnya matamu enggak sakit melirikku terus? Atau kamu sudah terpesona sama aku, hm?” Nazra berkomentar tanpa mengalihkan pandangannya dari luar jendela. Ya, wanita itu sedang menatap intens pada langit biru di atas sana. Baginya pemandangan itu terlalu indah untuk di lewatkan olehnya yang sangat menyukai bumantara. “Ehm, tapi jangan marah, ya? soalnya aku penasaran banget.” “Iya. Memang mau tanya apa, sih? To the poin saja. Seperti bukan kamu saja.” Wanita itu kini mengalihkan pandangannya. Cukup penasaran juga apa yang ingin ditanyakan oleh pria itu. “Kamu pernah bahagia enggak?” Nazra memandangnya dengan tatapan menusuk. “Aneh,” ucapnya kemudian menutup matanya. “Bangunkan aku saat kita sudah sampai di tujuan," titah Nazra dengan wajah datar. Ambyar. Padahal dia sudah penasaran tingkat dewa. Namun, yang ditanyakan Liam malah hal seperti itu. Liam masih sangat penasaran dengan jawaban Nazra. Namun, dia tidak akan berani menanggung resiko jika terus menanyai sang kekasih palsu. Akhirnya, pria itu kembali fokus menyetir. Nazra membuka matanya perlahan. Mengerjapkan beberapa kali untuk mengumpulkan nyawa yang masih larut terbuai mimpi. Dia mengedarkan pandangan mencari tahu di mana posisinya saat ini. “Sepertinya ini bukan daerah sekitar kantor,” gumam wanita itu pada diri sendiri. Selang beberapa waktu pria yang tadi mengemudi untuknya membuka pintu mobil bagian belakang dan memasukkan sebuah kantong. Nazra hanya memandang bungkusan itu dengan tatapan aneh. “Itu pesanan Sisca.” Liam memberitahu seakan mengerti arti tatapan Nazra. “Kamu mau sesuatu? Aku akan membelinya dengan senang hati, sebagai permintaan maaf dan terima kasih.” Sudut bibirnya terangkat menampilkan lesung pipi di pipi kirinya. Benar-benar menawan, menambah kadar ketampanannya saja. Ah, Nazra merutuki dirinya yang rasanya semakin menyukai Liam saja. Nazra seolah terhipnotis oleh pria itu. Terbukti dia turut menyunggingkan sebuah senyuman. Saat sadar, wanita itu segera menundukkan wajah dan kembali ke mode datar. “Satu matcha lava, please,” ucapnya singkat. Gegas pria itu kembali ke dalam toko desert. Lalu, kembali dengan pesanan Nazra di tangan kanannya. “Kamu suka sesuatu yang berbeda, ya, yang tidak pada umumnya,” celetuk Liam memecah keheningan di antara mereka. “Hm.” Wanita itu menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari luar. Pemandangan langit, favoritnya. Liam menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Canggung. Sepertinya wanita di sampingnya ini memang benar-benar sulit untuk di ajak berbicara. “Kenapa kamu suka matcha lava?” tanya Liam berusaha mencairkan kecanggungan yang mengintimidasi itu. “Enak.” Nazra menjawab singkat seperti biasa. Liam terkekeh sesaat. Ah, ya, tentu saja itu jawabannya. Memang apa yang dia harapkan. “Kulihat kamu pun sangat suka kopi.” Wanita itu hanya menjawab dengan anggukan. “Kenapa? Jangan bilang enak, ya.” Liam memperingati. “Lalu, kamu berharap jawabanku apa? Bukannya memang wajar orang suka sesuatu yang enak menurutnya? “Enggak gitu konsepnya Nazra Sabira Hilya anaknya Pak Rayhan.” Liam menggeram frustasi. Akhirnya dia setuju dengan pernyataan Dhanti tentang wanita itu. Dia memang benar wanita kulkas, tetapi berwajah cantik. Sudut bibir Nazra sedikit tertarik melihat kegusaran Liam. “Karena kopi membuatku fresh? Kopi juga memberi pelajaran yang berharga, itu yang kuyakini selama ini.” Wanita itu memalingkan wajah sekilas, sebelum meluruskan pandangan ke arah jalanan. "Kopi mengajarkan kita bahwa di setiap hal yang manis, akan ada kepahitan yang menyertainya. Terlepas dari sedikit atau tidak kadarnya. Sebanyak apa pun kamu menambahkan gula, pahitnya kopi tetap saja akan terasa meski sedikit. Seperti halnya kehidupan, di setiap mimpi atau hal baik lain yang ingin kamu capai, perjuangan dan pengorbanan akan selalu membersamainya. Terlepas dari kadar maupun lama prosesnya. Dari kopi kita pun bisa belajar, bahwa hitam tidak selalu kotor dan pahit tidak selalu menyedihkan.” Nazra menyesap sisa espresso miliknya. “Tentu saja, karena kopi juga membuatku kembali fokus,” imbuhnya seraya mengangkat minumannya. Liam memandang takjub pada wanita itu. Bukan karena perkataannya, melainkan karena itu adalah kalimat terpanjang yang diucapkan oleh Nazra. Baiklah, dia sedikit kagum oleh makna kopi yang dituturkan kekasihnya itu. Memang benar Liam adalah seorang pemimpin perusahaan kopi instan, tetapi semua itu hanya warisan dari ayahnya. Sama sekali tidak ada andil yang diberikannya. Dulu, fokusnya adalah mengembangkan usaha miknya sendiri. Ya, dia ingin merintis usaha dari nol, tanpa bantuan orantuanya. Berharap dapat membangun kerajaan bisnisnya sendiri. Membangun resort low budget di setiap tempat wisata. Ide itu muncul tatkala teman-temannya yang selalu mengeluh, sulit mendapatkan penginapan dengan kantong mahasiswa. Liam berharap setiap orang mampu menikmati liburan tanpa harus merogoh kocek terlalu dalam. Cukuplah waktu dan kebersamaan keluarga yang mahal, begitu pikirnya. Bukankah setiap keluarga harus merelakan banyak waktu untuk mengejar penghasilan. Tidak jarang mereka harus pergi pagi dan pulang larut demi membuat asap terus terkepul di dapur, serta menjamin setiap kebutuhan anggota keluarga terpenuhi. Harapannya semoga para pejuang rupiah bisa melepas sedikit penat dari segala rutinitas yang melelahkan dengan menikmati liburan yang ekonomis. Selain itu, mimpinya adalah menghabiskan waktu dan masa tua dengan berkeliling Indonesia bersama orang terkasih. Menikmati sisa waktu di resort yang dia rintis tentu akan menjadi hal yang sangat menyenangkan, begitu menurutnya. Kini dia sedang berusaha mewujudkan semua itu, meski baru beberapa tempat wisata yang dibanguninya. Liam memelankan laju kendaraan sebelum akhirnya benar-benar terhenti di parkiran kantor. Hujan telah berhenti sedari tadi. Namun, masih menyisakan hawa dingin dan bau hujan. Nazra tampak menghirup udara dalam-dalam. Ah, dia selalu menyukai bau basah karena hujan. Pria itu mengerutkan kening menatap Nazra heran. Dia turut mengendus udara. “Enggak ada bau aneh. Atau aku yang bau?” Pria itu membaui tubuhnya. “Wangi.” Liam baru saja akan bertanya lagi, tetapi Nazra telah melangkah pergi. Hampir saja dia berbicara dengan udara. Pria itu melangkah riang bersenandung lagu yang sedang hits. Suaranya sungguh menyayat gendang telinga. Semoga Tuhan menjaga setiap telinga karyawan yang dilaluinya. Jika tidak, mungkin akan terjadi tuli berjamaah seketika di kantor itu. Liam membuka pintu ruangannya lebar disertai senyum mengembang. Menampilkan deretan gigi rapi yang mengering karena terlalu lama tersenyum. Dia menelepon Sisca, bermaksud meminta wanita itu ke ruangannya. Saat datang tadi, wanita itu tidak ada di tempatnya. “Aku baik-baik saja. Bukankah ini yang kamu mau? Aku akan kembali saat aku siap. Jangan cari aku!” Wanita itu menggenggam ponselnya erat. Mengatur nafas agar amarahnya meredam. Dia tidak ingin orang lain melihatnya seperti itu. Namun, langkah Sisca terhenti ketika ponselnya kembali bergetar. Dia segera menjawab panggilan itu dengan kesal. “Apa maumu?” bentak Sisca. "Apa maksudmu?" Sisca mematung setelah mendengar jawaban dari seberang. Itu bukan orang yang berbicara di telepon dengannya tadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN