Rini meninggalkan sepasang kekasih itu setelah mengambil sebuah gambar saat Liam memakaikan gelang kepada Nazra.
Sementara itu, Liam tampak berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan Nazra.
“Gelang.” Liam akhirnya menjawab dengan asal, tetapi mendapat tatapan tajam dari kekasihnya. “Hei, aku cuma bercanda, Ra. Itu hadiah karena kamu sudah bantu aku.”
Liam memakaikan gelang dengan hati-hati. “Cantik,” ucapnya tersenyum menatap wajah Nazra.
Memang aku sudah cantik sejak dahulu kala, Am, kamu saja yang enggak sadar, sahut Nazra dalam hati.
“Thanks, Am.” Pria tampan bermata hazel itu masih menatap Nazra, seolah-olah sedang menunggu untuk dipuji. “Seleramu bagus,” ucap wanita itu dengan sedikit terpaksa.
Liam membusungkan d**a dan mengangkat pandangannya. Seperti sangat bangga karena telah dipuji oleh seorang Nazra.
“Sudah, 'kan? Aku mau lanjut.” Lanjut mengagumi gelang ini. Padahal, kemarin baru lihat di postingan toko-nya dan baru niat mau beli, tetapi enggak jadi karena lagi buru-buru. Eh, malah dapat hadiah dari Liam. Memang benar kalau jodoh nggak bakalan kemana, imbuhnya dalam hati.
Liam akhirnya meninggalkan ruangan itu, setelah mendapat telepon dari Sisca. Jadwalnya akan sibuk hari ini, karena kemarin menghabiskan waktu bersama sekertarisnya itu.
Gelap telah mengganti terang, pertanda malam telah tiba. Liam dan Sisca baru saja kembali ke kantor setelah menyelesaikan rapat. Pria itu melewati ruangan bagian accounting yang lampunya masih menyala. Sejenak dia melirik jam tangan silver yang melingkar setia di tangan kirinya. Waktu telah menunjukkan pukul delapan malam, sudah jelas siapa yang workaholic di sana.
Liam menghentikan langkahnya tepat di depan pintu ruangan itu. Lalu, membalikkan badan untuk memberi tahu kepada Sisca.
“Kamu duluan saja, aku mau mampir sebentar,” ucap pria itu setelah memegang gagang pintu ruangan itu.
“Tapi ....” Sisca tidak melanjutkan ucapannya, karena Liam telah memasuki ruangan itu. Dia mencebikkan bibirnya kesal, lalu melenggang menuju ruangannya untuk mengambil tasnya. “Padahal dia sudah janji akan makan malam denganku. Dasar buaya!" imbuhnya dengan perasaan yang sangat kesal.
Sementara itu Liam yang baru memasuki ruangan Nazra segera menghentikan langkah. Wanita yang ingin dijumpainya tengah memejamkan mata dengan menopang dagu di atas meja. Bahkan, masih dengan memegang sebuah bolpoin di tangannya.
Liam tersenyum samar. Terlampau sering dia mendapati kekasih palsunya itu tengah tertidur. Sepertinya dia bisa tidur di mana saja.
Anak rambut yang menjuntai di dahi Nazra mengalihkan fokus Liam. Dia melangkah pelan mendekati wanita itu. Namun, saat tangannya telah berada tepat di depan wajah Nazra, wanita itu seketika membuka matanya. Seperti dejavu, ini kali keduanya pria itu terciduk dengan tangan mengambang di udara.
“Kamu mau apa?” tanya Nazra dengan tatapan yang tajam.
“Kamu maunya apa, hm?”
Wanita itu Lagi-lagi menampik tangan Liam. Kesal saat pertanyaannya dijawab dengan pertanyaan pula. “Aku enggak mau apa pun,” tegas Nazra.
“Kamu bekerja terlalu keras, Ra. Mulai besok kamu harus pulang pukul lima sore. Titik. Jika aku melihatmu setelah waktu itu, kamu akan mendapatkan hukuman dariku.”
Nazra memutar bola matanya jengah. “Aku bekerja demi perusahaanmu, Am.”
“Aku tahu, karena itu kamu akan kuhukum. Pacar mana yang membuat kekasihnya bekerja keras demi dirinya? Coba sebutkan satu.” Liam berkata dengan tegas. Sepertinya dia tidak main-main dengan ucapannya.
“Liam Maulana?” jawab wanita itu singkat dengan menaikkan kedua alisnya.
Liam tertawa mendengar jawaban wanita itu. “Kamu benar, aku pacar yang buruk. Jadi, izinkan aku memberimu cuti dua hari.”
“Tidak!” Teriakan wanita itu membuat Liam terkejut. “Aku tidak akan menerima cuti itu dan jangan coba-coba memaksaku!” Nazra sengaja memberi penekanan di akhir kalimatnya.
“Santai, dong, Ra. Aku memberimu cuti bukan hukuman untuk bekerja di akhir pekan.” Liam mencoba menenangkan Nazra dan juga dirinya yang terkejut karena teriakan wanita itu.
“Nah, kalau itu aku suka. Lebih baik kamu menghukumku bekerja di akhir pekan daripada harus cuti. Lagipula saat akhir pekan aku hanya akan membaca buku di rumah,” ucap wanita itu dengan santai.
Liam mengembuskan napas dan memilih diam. Tidak ingin melanjutkan percakapan itu lagi. Lawan bicaranya adalah seorang workaholic dan jomlo sejati, jadi sudah jelas bagaiman akhir percakapan itu. Memangnya apa yang dia harapkan dari seorang wanita yang kehidupannya tidak berwarna dan monoton itu? Dia tenggelam dalam pikirannya sendiri hingga tidak menyadari wanita itu telah meninggalkan ruangan.
Pria itu berlari kecil menghampiri Nazra dengan wajah kesal.
“Aku lelah dan kupikir kamu masih ingin di sana. Jadi, aku pergi karena tidak ingin mengganggumu,” jelas Nazra seolah mengetahui apa yang dipikirkan pria itu.
“Aku antar pulang, ya?” desak Liam menawarkan tumpangan.
“Enggak usah, aku bawa mobil,” tolak Nazra tanpa basa-basi.
“Ayolah, Ra. Kamu, 'kan, sedang lelah, jadi biarkan aku mengantarmu, hm.” Pria itu tampak kukuh, hingga membuat Nazra ingin mengiyakan ajakannya.
Aku memang sedang lelah. Lagipula tubuhku sedikit kurang enak sejak pagi. Sepertinya menerima ajakan Liam memang akan lebih bagus, batin Nazra mulai bimbang.
“Aku–“
“Baiklah. Kalau kamu enggak mau, aku akan pergi makan malam dengan Sisca saja. Kamu enggak mau diantar, 'kan?” Liam memotong ucapan Nazra. Lalu melenggang pergi tanpa menunggu jawaban dari wanita itu.
Pria itu berlari kecil meninggalkan Nazra dan menghampiri Sisca. Mengambil tas yang berada di pundak wanita itu lalu menyampirkan di bahunya sendiri. Sekilas berbalik ke arah Nazra dan melambaikan tangan di udara dengan senyuman manis tanpa rasa bersalah.
Nazra masih berdiri di sana, tidak bergeming hingga bayang kedua insan itu menghilang di balik tembok. Menertawai dirinya yang berharap mungkin akan bisa membuat pria itu berpaling kepadanya. Dia yang memilih untuk berpura-pura menjadi kekasih Liam meski tahu akhirnya akan seperti apa.
Ya, dia yang memilih untuk menyakiti diri sendiri untuk mendapatkan sedikit kebahagiaan. Demi bersama orang yang dia sayangi meski mencintai wanita lain.
Hei! Sadar diri, dong, Ra! Kamu itu hanya alat untuk mencapai tujuannya. Kamu itu hanya akses untuk menikahi wanita pujaan hatinya. Hati! Jangan seenaknya menyukai seseorang, karena kamu hanya menyukai dan aku yang harus berlari mengejar orang yang juga sedang berlari menghampiri wanita lain. Hati, kamu yang memilih Liam, maka kamu harus kuat melihat pemandangan seperti ini. Kamu bahkan harus lebih kuat untuk menerima segala kenyataan yang mungkin akan sangat melukaimu. Nazra membatin menguatkan dirinya.
Nazra mengembuskan napas pelan. Melangkah gontai ke arah parkiran. Mengendarai mobilnya menuju rumah. Dia memutar music player untuk mengusir sedih yang tiba-tiba hinggap di hatinya. Sial. Sepertinya semesta sedang mengejeknya. Bahkan, lirik lagu yang mengalun dari music player itu turut membuat mood-nya berada di ambang batas kehancuran.
Nazra menghentikan lantunan lagu itu. Memutuskan berkendara mengelilingi kota untuk menghirup udara malam. Tanpa sadar dia menuju bukit yang sering didatanginya ketika sedang sedih. Wanita itu menuruni kendaraannya lalu menyandarkan tubuh di badan mobil. Dia mengeluarkan segelas espresso dan sebuah roti yang dibelinya di kafe yang dia lewati tadi.
Sepertinya makan malam dengan ditemani pemandangan city light yang bagai jutaan bintang di kegelapan malam adalah ide bagus.
Getaran ponsel di sakunya mengalihkan atensi wanita itu. Setelah memasukkan potongan roti terakhir, dia menjawab panggilan itu.
“Kamu masih di kantor, Nak?” Suara lembut di seberang tampaknya sedang mengkhawatirkan wanita itu.
“Iya, Bu.”
“Enggak usah terlalu memaksakan diri, Ra. Memangnya kalau kamu tidak lembur sehari perusahaan itu akan bangkrut? Ah, sungguh mengesalkan. Ibu akan protes ke Liam karena telah menyiksa anak ibu yang paling cantik dan berharga,” omel wanita paruh baya itu.
Nazra berusaha menahan senyumnya. “Ini kemauanku, Bu, enggak ada hubungannya dengan Liam. Justru tadi dia ingin memberiku cuti, tapi aku menolaknya.”
“Kamu segitu cintanya sama kerjaan, Nak. Jadi penasaran, lebih besar cinta kerjaan atau Liam?” pertanyaan itu sukses membuat Nazra tertawa. Seperti ibunya sudang sangat mengantuk hingga melantur seperti itu.
“Jangan ngadi-ngadi, Bu. Sudah, ya, Nazra mau lanjut dulu. Assalamu ‘alaikum," pungkas Nazra cepat. Tidak ingin melanjutkan percakapan itu.
Nazra melirik ponselnya dan waktu telah menunjukkan pukul 23.05 WIB. Dia menaiki mobil, bermaksud pulang ke rumah.
Sepertinya perjalanannya malam ini sudah cukup. Namun, dalam perjalanan menuruni bukit itu, dua orang pria bertubuh besar menghadangnya. Mereka menyeringai senang tatkala wanita itu mengeluarkan kepalanya dari balik jendela mobil.
“Kalian mau apa?” teriak Nazra saat menuruni mobilnya.
Bersambung ....