Mereka Saling Kenal?

1636 Kata
Unpredictable. Tepat ketika Raga membanting setir, saat itu pula Nazra menginjak gas. Alhasil mobil Raga menabrak pembatas jalan karena gerakan tiba-tiba yang dilakukan wanita itu. Tentu saja kejadian yang terjadi tepat di belakang garis finish itu membuat Nazra menjadi pemenang malam itu. Banyak mata yang memandang dan berdecak kagum kepada sosok Nazra. Termasuk Raga, pria yang baru saja dikalahkan olehnya. Raga berjalan mendekat dengan penuh pesona. Menyugar rambutnya yang berwarna blonde sembari tersenyum lebar. "Kak Naz masih jago seperti dulu, ya? Hehe." Raga mengepalkan tangan dan mengarahkan ke Nazra. Berniat mendapat balasan tos dari wanita itu. Namun, wanita itu hanya menatap tajam. Lalu, berpaling meninggalkannya. "Kak, jangan marah, dong." Raga mengekori Nazra dan rombongannya. "Kenapa aku harus marah?" Nazra menjawab sembari menatap lurus ke depan. Raga mengacak rambutnya kesal. Namun, masih setia mengikuti rombongan itu. Ah, andai saja dia bisa memutar waktu, tentu dia tidak akan membuat Nazra semakin kesal kepadanya. Terlebih insiden tadi siang yang tentu membuat amarahnya semakin menjadi. Atau tidak? Karena wanita itu terkesan biasa saja dan hanya dia seorang yang heboh. Raga akhirnya nekat mencekal lengan Nazra. "Kak Naz, maafkan aku," ucap pria itu dengan wajah memelas. Sigap Riko menampik tangan Raga, lalu menatap dengan nyalang pria itu, seolah-olah sedang mengganggu miliknya. Ups, maksudnya pemilik. "Jangan melewati batas anak muda!" geramnya dengan nada tertahan. Sejenak mereka beradu pandang. Jika ini sebuah film anime, tentu akan muncul petir di antara mereka. Untung saja ini di dunia nyata dalam novel. "Aku tahu betul kalau aku masih muda. Jangan terlalu memperjelasnya, Om," sindir Raga tersenyum menyeringai penuh kemenangan. "Kau–" "Sudahlah, Riko. Berikan aku waktu untuk berbicara berdua dengannya," ucap Nazra sebelum Riko menyelesaikan kalimatnya. "Kebetulan ada hal yang harus kamu selesaikan. Iya, 'kan, Raga?" Pertanyaan Nazra bagai petir di siang bolong, membuat Raga seketika menegang tubuhnya. Padahal tadi dengan penuh percaya diri dia berkata ingin menyelesaikan masalah di antara mereka. Namun, entah kenapa nyalinya menciut seketika tatkala melihat wanita itu berbicara sambil tersenyum, tetapi justru terkesan horor baginya. "Ah, sepertinya aku ada urusan mendadak. Sampai jumpa, Kak Nazra," cicit pria berkulit putih itu. "Heh, kamu mau kabur?" Nazra melipat kedua tangan di depan d**a. Smirk di wajahnya seolah-olah merendahkan Raga. Raga memandang ke sembarang arah untuk menghindari kontak mata dengan Nazra. "Mana mungkin, Kak. Aku hanya ingin ke kamar kecil saja. Iya betul begitu. La-lalu ... aku akan kembali lagi dan kita bisa bicara berdua." "Kak Naz, jangan bicara berdua saja dengannya, biarkan aku ikut denganmu. Aku tidak percaya padanya," sergah Riko masih menatap kesal kepada Raga. "Bahkan, di tempat ramai saja dia berani menyentuhmu, apalagi saat kalian hanya berdua." Sebuah jitakan mendarat di kepala Riko dengan keras. Membuatnya sedikit terhuyung ke depan. "Kau lupa kalau Kak Naz jago taekwondo? Jika dia macam-macam pasti mudah bagi Kak Naz untuk menanganinya. Setelah itu, baru kita yang membereskannya." Jefri yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara. Raga semakin pucat. Tentu saja dia tahu betul seberapa hebat ilmu bela diri Nazra. Dulu, wanita itu pernah menyelamatkannya saat dia sedang dikeroyok oleh preman ketika masih duduk di bangku sekolah menengah pertama dan tubuhnya masih kecil, kurus, dan pendek. Bahkan, saat itu Nazra mengahajar ketiga preman itu tanpa ampun. Dia tidak berani membayangkan sehebat apa wanita itu sekarang. Namun, Nazra seolah-olah tidak peduli dengan percakapan Riko dan Jefri. Dia melenggang pergi tanpa berkata apa pun. Sementara itu Raga tampak mengekor di belakangnya. Ketika dirasa sudah menjauh dari kerumunan penonton dan iring-iringannya, Nazra menghentikan langkah. Karena gerakannya yang tiba-tiba, hampir saja Raga menabrak tubuh bagian belakang wanita itu. "Cepatlah," ucap Nazra tanpa membalikkan tubuhnya. "Maaf, Kak Naz." Raga menundukkan pandangan. Kedua tangannya ditautkan di depan tubuhnya, persis seperti seorang murid yang sedang dimarahi oleh gurunya. "Maaf untuk apa?" Nazra pura-pura tidak tahu. "Maaf untuk siang tadi dan maaf juga untuk yang barusan." Nazra membalikkan tubuhnya. Menatap pria di depannya yang sedang sibuk menatap ujung kakinya yang sedang memainkan rumput. "Memangnya apa salahmu tadi siang?" tanya Nazra mengerutkan kening. Seingatnya, pria itu tidak membuat masalah dan bahkan tidak pernah bertemu dengannya hari ini. "Tentang Daisy yang menggertakmu, Kak." Raga mengangkat pandangannya dan memberanikan diri menatap wanita dingin itu. Nazra mendengus kesal."Dasar bocah pikun! Itu tiga hari yang lalu, bukan tadi siang." "Benarkah?" tanya Raga cengengesan. Menggaruk pipinya yang tidak gatal dengan ujung jari telunjuk karena salah tingkah. "Kupikir kamu sudah berubah, ternyata masih sama seperti dulu. Padahal, beberapa hari lalu kamu tampak keren dan berwibawa, persis seperti pria dewasa. Aku sampai pangling. Heh, ternyata kamu masih anak kecil," ejek Nazra. Nazra menatap pria yang tadi dipanggilnya bocah itu. Menelisik dari ujung kaki hingga kepala. Tampilannya persis oppa -oppa dari Korea. Tubuhnya bahkan sudah menjulang tinggi hingga membuat wanita itu harus menengadahkan wajah untuk menyamakan tatapan mereka. Namun, baginya Raga tetaplah seorang bocah. "Jangan sebut aku anak kecil, Kak Naz." Raga mendekat dan mengikis jarak di antara mereka. Kini mereka hanya berjarak satu centimeter, "aku bukan anak kecil lagi, kok. Bahkan, aku sudah bisa membuat anak kecil," imbuhnya dengan senyum penuh kemenangan. Bukan Nazra namanya jika dia gentar. Wanita itu justru berjinjit mendekatkan wajahnya membuat Raga sukses salah tingkah. Mengalungkan kedua tangan di leher pria itu, lalu berbisik tepat di telinganya. "Kamu bangga sudah bisa membuat anak kecil, hm?" Raga menelan salivanya kasar. Tidak menduga jika wanita yang lebih tua tiga tahun darinya itu akan berbuat sedemikian nekat. Nazra kembali mengunci tatapan mereka. Bahkan, kini dia bisa merasakan embusan napas Raga yang beraroma mint yang menerpa wajahnya. "Kamu pikir aku peduli?" bisiknya lagi sembari menginjak ujung kaki pria itu. Wajah Raga memarah, persis seperti tomat. Entah karena malu atau kesakitan dan menahan teriakannya. Setelah aksinya itu, Nazra tersenyum penuh arti. Bocah itu mungkin telah tumbuh tinggi dan tampak seperti pria dewasa. Akan tetapi, tetap saja dia seorang bocah di mata Nazra. "Apa hanya itu yang mau kamu katakan?" desak Nazra sembari melirik jam tangan silver yang setia melingkar di pergelangan tangannya. Membuat pria itu sadar telah membuang waktu untuk hal yang tidak penting. Baiklah. Ready ... go! teriak Raga di dalam hati menyemangati diri sendiri. "Tentu saja tidak, Kak Naz. Pertama, maafkan aku untuk insiden beberapa hari yang lalu." Raga menghentikan perkataannya setelah mendapat tatapan tajam dari Nazra. "Oke, itu bukan salahku, tetapi izinkanlah aku meminta maaf mewakili adikku. Maaf karena dia tidak sopan kepadamu. Maaf juga untuk tadi karena berniat mencegahmu menjadi juara. A-aku hanya merasa harga diriku akan terluka jika dikalahkan oleh seorang wanita," ucapnya dengan suara yang semakin melemah. Nazra tampak mengangguk-anggukkan kepalanya seolah-oleh menerima alasan yang dikemukakan oleh pria itu. "Lalu, apakah sekarang harga dirimu terluka?" Seketika wajah pria itu berbinar. "Mana mungkin, Kak. Jika wanita itu adalah Kak Naz, aku justru sangat senang. Bahkan, jika bisa aku ingin memenangkanmu dengan sengaja. Akan tetapi aku sadar hal itu justru akan membuatmu semakin kesal kepadaku." "Bagus. Kamu masih ingat kebiasaanku." "Ta-tapi tadi aku hanya bercanda, Kak. Aku tahu selihai apa dirimu di arena balap. Meski sekeras apa pun aku mencoba, tetap saja yang jadi pemenang adalah dirimu." "Dasar bocah! Apa pun yang kamu lakukan, kerjakanlah dengan sebaik mungkin dan sepenuh hati. Menang atau kalah itu urusan nanti, yang pasti kamu telah menjadi yang terbaik dari versimu sendiri. Jangan peduli perkataan orang lain. Bagiku kamu tetap adikku yang hebat," ucap Nazra dengan tatapan yang melembut. Satu tangannya terangkat mengelus puncak kepala pria itu. "Thanks a lott, Kak." Raga memeluk tubuh wanita yang telah seperti keluarganya itu. Ya, memang Nazra dan keluarganya yang telah membantu Raga di saat-saat yang paling terpuruk dalam hidupnya. Membantu melunasi hutang ayahnya hingga menyekolahkannya bersama Rayyan–adik semata wayang Nazra–di Australia yang bagaikan saudara kembar. "Kapan kamu kembali ke Indonesia? "Sekitar dua bulan yang lalu. Tepat setelah cabang kafe yang Kakak datangi kemarin dibuka. Bagaimana kabar ayah dan ibu?" "Entahlah. Kenapa tidak kamu tanyakan sendiri?" sergah Nazra. "Hei, aku baru mengunjungi mereka pekan kemarin, Kak. Kak Nazra yang terlalu sibuk sampai tidak tahu kedatanganku." Pria itu melipat tangan di depan d**a. Memanyunkan bibirnya lucu, hingga membuat Nazra tertawa. "Ulululu ... jadi adik besarku ini ngambek, nih? Itu semua karena aku kerja keras bagai kuda. Hampir setiap hari aku lembur, bahkan di akhir pekan." Nazra memberitahu alasan yang sebenarnya. "Lagian untuk apa Kakak bekerja di perusahaan Pak Liam? Bukankah harta keluarga Kakak tidak akan habis tujuh turunan, tanjakan, dan tikungan?" Sebuah jitakan dengan segera mendarat di kepala Raga. "Harta nenek moyangmu? Itu semua milik orang tuaku. Aku ingin berdiri dengan kakiku sendiri, Ga. Sekarang aku sedang mengumpulkan modal untuk membuat kafe. Jadi, bersiaplah untuk menjadi sainganku nanti. Kamu tunggu saja tanggal mainnya." "Baiklah," jawab Raga tertawa riang. "Tapi nanti. Untuk sekarang aku masih sangat menikmati pekerjaanku." "As you wish my lady." Raga membungkukkan tubuhnya persis seperti pelayan di serial kerajaan. Nazra segera menatapnya dengan wajah serius. Tentu saja hal itu pun segera membuat senyum pria itu menghilang dari wajahnya. "Ipin dimana Upin?" "Akh, berhentilah memanggilku dan Ray dengan nama itu. Kamu tahu itu sangat memalukan, Kak Ros." Nazra membeliak tidak percaya jika pria itu akan memanggilnya lagi dengan nama kak Ros. Julukan yang diberikan oleh Raga dan Ray karena menilai Nazra terlalu cerewet dan sering marah. Seperti wanita di serial kartun dari negeri seberang itu. "Ugh, mari berjanji untuk tidak saling memanggil dengan nama itu." Panggilan itu sedikit memberi ingatan yang tidak menyenangkan baginya. "Oke, baiklah." Raga mengangkat jari kelingking, lalu meminta Nazra menautkan dengan jari keliingkingnya sebagai tanda pengesahan akan janji itu. Nazra melangkah santai diikuti oleh Raga di belakangnya. Semua itu tidak luput dari pandangan orang-orang yang berada di sana. Namun, mereka sama sekali tidak terganggu. Tepatnya berusaha untuk tidak terganggu. "Bagaimana, Kak Naz? Dia ada macam-macam enggak?" Jefri segera menghampiri. "Enggak, dong. Kamu lupa siapa aku?" Raga hanya menatap interaksi Nazra dan pria bertubuh berotot itu. Sepertinya mereka cukup dekat. Dia akan mencari tahu nanti. "Apa-apaan kalian?" tanya Nazra dengan menggebu. Ketika menyadari sebuah pemandangan yang tidak biasa. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN