Prolog

545 Kata
"Nggak! Pokoknya Aiden harus jemput aku didepan gerbang komplek! Kalo nggak, aku obrak-abrik Playstation dia!" Seorang gadis dengan tangan kiri menyeret koper dan bahu mengangkut ransel itu berbicara dengan seseorang dibalik telepon. Ekspresi marahnya sangat kentara. Bahkan kedua telinganya kini sudah memerah padam. "Maa.. ini Alin capek banget loh! Dari Jogja ke Jakarta, belum lagi nunggu taksi eh giliran udah mau nyampe malah diberhentikan depan komplek! Kan kesel, Maaa! Ish!" mulutnya terus saja berbicara pada seseorang diseberang sana. Alin, gadis itu sedikit demi sedikit melangkahkan kakinya sambil terus memohon pada sang Mama agar beliau menyuruh Aiden untuk menjemputnya. "Oke, aku tunggu disini. Kalau dia nggak datang, aku bakar kamarnya!" putusnya setelah Mamanya mau menyuruh Aiden untuk menjemput. Baiklah, sekarang Alin sudah bisa bernapas lega. Masih terus berjalan, sesekali kepalanya celingukan mencari-cari seseorang. Hingga ketika sebuah mobil melewatinya dengan meninggalkan jejak pada celana dan baju yang dikenakannya. Mobil itu melewati genangan air yang membuat semua pakaian Alin ternodai. "Hei, berhenti lo!" teriaknya, walau tahu mobil tersebut memang sudah berhenti sebelum Alin menyuruhnya. "Kalo nggak bisa bawa mobil, nggak usah sok-sokkan bawa mobil! Men—." Makiannya terhenti kala melihat sosok lelaki keluar dari mobil tersebut. Aiden. Ternyata adiknya. "Aiden? Loh, kamu pake mobil siapa? Ayah beli mobil lagi, ya? Tapi kok, kayak kenal mobil ini," tanya Alin sembari berpikir. Ia seperti tidak asing dengan mobil ini. Tapi lupa siapa pemiliknya. Aiden berdiri didepan kakaknya. "Udah masuk aja jangan banyak omong. Sini kopernya." Manyun, Alin menyerahkan koper pada Aiden untuk diletakkan di bagasi mobil. Sedang ia berjalan dengan menghentakkan kaki menuju tempat duduk penumpang sebelah kemudi. Namun, baru membuka pintu mobil beberapa detik dan hendak masuk. Alin kembali menutup keras pintu mobil tersebut. Ia menghampiri sang adik dan menggebrak bahu Aiden keras-keras. "Kok ada Mas Ilham sih di dalam?" "Ya wajar dong, ini kan mobilnya Bang Ilham?" Sialan! Pantas saja ia seperti tidak asing lagi dengan body mobil ini. Ternyata milik Ilham. "Emang di rumah nggak ada mobil nganggur? Motor kek atau sepeda kek gitu." "Tadi pas mau ngeluarin mobil, aku lihat Bang Ilham mau pergi. Aku tanya katanya mau ke konter, jadi sekalian aja minta tolong jemput Mbak depan komplek," jelas Aiden. Kini Alin hanya bisa menghela napas lelah. Ia menjatuhkan kepalanya pada mobil Ilham sambil mulutnya tak henti memaki Aiden. Resiko punya adik bodoh ya seperti ini, memang. Begitu pikir Alin. Tin. Bak suara petir, Alin segera menjauhkan kepalanya dari mobil. Sungguh, ia sangat terkejut. "Udah yuk masuk aja, kasian Bang Ilham udah nungguin lama, elah," ajak Aiden mendahului kakaknya. Alin akhirnya ikut masuk. Untung saja Aiden duduk di kursi depan. Ditengah perjalanan, sesekali Alin mencuri-curi pandang pada sosok yang sudah lama tak Alin sapa itu. Dia masih sama seperti dulu. Cuek, pendiam dan tidak peka. Tapi Alin tetap cinta. Karena memang, Ilham adalah cinta pandangan pertamanya, cinta matinya, cinta gilanya dan cinta sejatinya. Dan bagi Alin, Ilham itu ibarat cahaya. Dia adalah cahaya yang selalu menyinari dengan segala kecuekannya. Cahaya yang selalu ada disaat Alin membutuhkannya. Cahaya yang selalu membuatnya bahagia ketika bertemu. Maka dari itu, Alin menyebut Ilham adalah 'Your My Light'. Apapun itu, dengan segala kekurangan dan kelebihan Ilham, lelaki itu tetap akan selalu menjadi cahayanya. Tapi entahlah bagi Ilham. Selama ini Ilham hanya menganggapnya sebagai tetangga dekat saja. Malang memang nasibnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN