Dua Puluh Tiga

2272 Kata
Rupanya kedatangan Rivaldo ke rumah hari kemarin, tidak membuat Alin berniat untuk berangkat kerja. Hari ini, ia kembali tidak berangkat ke kantor, ini sudah hari keempat. Bos besarnya bahkan sudah mendatangi rumahnya, tapi sepertinya Alin menyepelekan ucapan dan posisi Rivaldo. Jelas pria itu memiliki wewenang besar untuk mengatur karyawannya. Pagi sekitar pukul sepuluh, Alin baru bangun tidur. Tidak ada Alin yang selalu bangun pagi, mandi dan ber-makeup ria lalu berangkat ke kantor. Hari ini hanya ada Alin yang pemalas untuk melakukan segala hal. Bahkan untuk ke kamar mandi sebentar saja ia malas sekali jika tidak dipaksa-paksa. Setelah menyikat gigi dan membasuh muka, Alin kembali merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Nyawanya masih belum terkumpul semua, jadi ia butuh waktu untuk mengumpulkannya. Disela-sela rebahannya, Alin teringat sesuatu. Ponsel. Sudah lama tangannya tak menyentuh benda pintar berbentuk pipih itu. Samar-samar tangannya meraba laci nakas dekat tempat tidur, disana ia menemukan ponselnya yang segera di aktifkan setelah beberapa hari belakangan sengaja ia nonaktifkan untuk menghindar dari para rekan kerja. Mata Alin membulat seketika kala layar ponsel menyala dan terlihat ada banyak notifikasi datang. 25 panggilan tak terjawab dan 10 pesan dari Nisa. 10 panggilan tak terjawab dan 3 pesan dari Mas Husni. 32 panggilan tak terjawab dari Mas Hardi. Dan ... Entah ini benar atau salah, yang jelas bulu kuduk Alin meremang kala membacanya. 7 panggilan tak terjawab dari kontak bernama Mas Rivaldo. Dahi Alin mengernyit dalam. Nyawa yang sejak tadi ia tunggu agar terkumpul langsung ambyar. Rasa-rasanya ia tak pernah memberi nomor ponsel pada Rivaldo dan lagi, kenapa bisa nomor Rivaldo nyangkut di ponselnya?!!! Tidak masalah jika Rivaldo memiliki nomor ponselnya, tapi yang jadi masalah kenapa bisa nomor Rivaldo sudah tersimpan di kontak ponselnya? Apalagi dengan nama kontak 'Mas Rivaldo', bukankah itu tidak sopan? Ia bahkan tak berani memanggil Rivaldo dengan sebutan Mas. Pantas saja kemarin malam Rivaldo memintanya untuk mengaktifkan ponsel. "MBAAAAK.. masih nggak mau bangun?" Seseorang diluar sana berteriak sambil mengetuk pintu keras-keras. Alin melirik sungkan pada daun pintu dan menjawab, "Udah.. ini udah mandi, bentar lagi keluar." Bohongnya. Sudahlah, lebih baik ia bohong daripada harus menerima ceramah Mamanya yang pasti akan berujung membanding-bandingkannya dengan anak gadis tetangga sebelah yang kerjanya giat dan gaji melipat. "Bener udah mandi? Coba buka dulu pintunya, Mama minta bukti." "Aku lagi ganti baju, Ma .. malu..." "Yaudah, cepetan keluar terus makan." Tumben. Batin Alin. "Iya," balasnya singkat. Suara Mamanya sudah tak terdengar lagi, Alin kembali memfokuskan pandangannya pada ponsel. Membuka pesan dari Nisa dan Mas Husni yang isinya makian semua. Alin cekikikan membaca pesan Husni yang bilang selalu kalang kabut saat dirinya tidak masuk kantor. Kegiatan Alin terhalang saat nomor Nisa menghubunginya. Tubuhnya kini bangkit dari posisi rebahan manja dan mengangkat telepon dari Nisa. Untuk kali ini ia tak mau lagi bersembunyi. Untuk apa ia bersembunyi, toh dirinya akan segera resign dari kantor itu. "Halo, kenapa Mbak?" Sapanya santai. "Kenapa? Kamu bilang kenapa?" "Santai dong, Mbak. Sensi banget kayak cewek PMS." "Aku lagi nggak mau guyonan sama kamu, Lin. Bisa nggak bisa kamu sekarang harus ke kantor. Ini penting!" Tut. Panggilan diakhiri secara sepihak. Alin menatap bingung pada layar ponselnya sendiri. Baru saja yang menghubunginya itu Nisa kan? Setau Alin, Nisa tak pernah bicara dengan nada ketus seperti tadi. Mungkinkah Nisa kesal padanya? Atau, Nisa rindu padanya dan meluapkan segala kerinduannya dengan bicara ketus padanya? Alin menggelengkan kepalanya menanggapi kemungkinan-kemungkinan itu. Sudahlah, untuk saat ini ia tak mau memikirkan hal tak penting. Lebih baik sekarang ia turun ke dapur untuk menyantap sarapan. "Lhoh, tadi katanya udah mandi terus lagi ganti baju. Kok sekarang masih pake piyama?!" Suara Nawang langsung terdengar ketika Alin berhasil menginjakkan kakinya di area dapur. "Hehehe, tadi bohong sedikit." Balasnya. "Bohong sedikit?" Ulang Nawang tak terima pada jawaban Alin yang sepertinya tidak merasa bersalah. Meninggalkan cucian piring di wastafel, Nawang menghampiri Alin dan menjewer telinga anak sulungnya. "Ini balasan buat orang yang udah bohong tapi nggak ngerasa bersalah sedikitpun!" Katanya semakin menguatkan jewerannya. "A-aduh-aduh, Ma... sakit. Pedes Ma telinga aku .. Ma..." Tak peduli pada kesakitan Alin, Nawang sama sekali tidak melepas jewerannya. "Itulah yang Mama rasakan waktu tau kamu bohongin Mama. Gimana? Sakit banget kan? Perih kan?" "Ma, ampun Ma..." Alin sudah berucap ampun, Nawang akhirnya melepas jeweran dan menatap Alin penuh kekesalan. "Cepetan dimakan sarapannya terus sapuin halaman depan. Udah nggak berangkat kerja, bangun siang, nggak mandi pula." Nawang geleng-geleng kepala selesai mengungkapkan kekesalannya. Kaki Alin melangkah mendekat pada meja makan dan duduk disana, sembari mulutnya bergumam sendu. "Jadi anak tiri gini amat." Ini adalah kalimat penuh mujarab yang akan Alin katakan jika ia butuh saja. Lihat saja nanti manfaat setelah ia mengucap kalimat tersebut. Nawang yang mendengar itu kontan ekspresi wajahnya berubah melunak. Tidak sekali dua kali telinganya mendengar Alin berkata demikian. Sambil menghela napas penuh sabar, Nawang menghampiri Alin dan duduk di kursi sebelah anaknya ini. Mengelus pelan rambut Alin, sedang siempunya justru fokus menyantap nasi goreng sosis. "Mama nggak pernah membedakan posisi kamu, Aiden dan Citra. Kalian tetap anak kandung Mama. Mama selalu ngasih perintah ini itu ke kamu, jelas ada alasannya, Mbak. Itu biar kamu bisa menjadi wanita dewasa yang disiplin. Biar masa dewasamu nggak kayak Mama, dulu." Nah, kan. Lihatlah, bahkan suara Nawang saat memberi wejangan padanya sangat pelan dan halus. Apalagi elusan lembut dari tangan orang tersayang, Alin suka suasana ini. "Emang masa dewasa Mama kayak gimana?" Tanyanya penasaran. "Urakan, pemalas dan susah diatur. Mama nggak mau kamu kayak gitu." "Hmmm aku nggak akan kayak gitu, Ma." "Iya... Mama paham." "Tapi aku khawatir Citra dewasa bakalan kayak Mama." Mata Nawang melotot. "Ya kamu harus jagain adik kamu biar jadi wanita dewasa baik dong, Mbak." "Mana mau Citra dibilangin sama aku. Kita tuh nggak pernah bisa akhur, Ma." "Kayaknya Mama harus panggil Ustadz buat rukiyah salah satu dari kalian deh, biar bisa akhur." "Nah, Citra harusnya yang di rukiyah, Ma. Biar dia tobat dan tau gimana caranya menghargai orang yang lebih tua dari dia." Nawang memutar bola mata. "Adik kamu begitu karena kamu selalu ngajak berantem, Mbak." Hendak menyahut mengeluarkan pembelaan diri, namun Alin urungkan karena suara ponsel yang ia kantongi di saku piyama terdengar nyaring. Tertera nama Nisa sebagai si penelepon. Alin bergegas mengangkat panggilan tersebut. "Halo, Mbak?" "Kamu udah sampai mana, Lin?" Suara di seberang sana terdengar tidak santai. Bola mata Alin melirik kanan-kiri. "Ak-aku masih dirumah, lagi makan." "Masih dirumah? Kan aku udah bilang, kamu cepetan ke kantor. Ada hal penting!" "Abis Mbak Nisa nggak bilang hal penting apa, jadi aku nggak kesana." "Pokoknya kamu kesini sekarang! Ini antara hidup dan matinya karir anak editor romance ada ditangan kamu, Lin." "Hah? Emang masalahnya apa sih Mbak?" Alin masih santai saja menanggapi ucapan Nisa yang sudah kembang kempis menunggu Alin datang. "Masalahnya itu di kamu! Novel Seesaw yang kamu tangani itu, baru aja dapet komplainan dari pembaca. Ada banyak typo di novel itu. Jadi, kamu harus kesini sekarang." "Hah? Masa sih?" "Iya! Makanya cepetan kesini sebelum Pak Rivaldo tambah marah dan mecat anak-anak editor romance tanpa pesangon!" "Oke-oke, karena aku sayang sama kalian. Aku bakal kesana. Tapi mau mandi dul—," "Nggak perlu mandi! 10menit harus sampe! Titik!" Tut Tut. Panggilan terputus. Alin menatap jengkel pada layar ponselnya. "Kenapa, Mbak?" Tanya Nawang penasaran. "Disuruh ke kantor sekarang." "Lhoh, emangnya boleh berangkat jam segini?" "Nggak tau. Kunci motornya mana, Ma? Semalam Aiden pake motorku kan?" "Di meja tengah." Alin buru-buru ke ruang tengah dan menyambar kunci motor tak sabaran. "Mbak, kamu mau ke kantor pake Piyama kayak gitu?" Kepala Alin terangguk polos, "Kata Mbak Nisa nggak perlu mandi biar cepet. Aku berangkat dulu, Ma." 15 menit perjalanan, kini motor Alin sudah terparkir di halaman kantor. Tanpa malu ia memasuki area kantor Kembang Publisher dengan tubuh hanya terbalut piyama tidur dan rambut dikuncir rendah dengan aksen berantakan. Tiba di lantai ruangan editor romance, Alin terkejut melihat pada kerabat kerjanya ternyata sudah menunggunya diluar ruangan. Apa mereka tidak kerja? Bagaimana dengan naskah yang harus mereka edit? Bahkan Mas Hardi juga ada disana. Melihat kedatangan Alin, tentu mereka langsung menghampiri orang yang mereka tunggu-tunggu kedatangannya. "Kamu langsung ke ruangan Pak Rivaldo. Ayo saya antar." Hardi langsung menyeret tangan Alin untuk masuk kembali ke lift menuju ruangan Rivaldo berada. Diikuti para anak buah Hardi yang kepo. "Mbak Alin, langsung masuk aja. Pak Rivaldo udah nunggu daritadi." Ujar sekretaris Rivaldo ketika melihat kedatangan Alin. Alin menatap bingung pada Hardi. "Masuklah." Perintah pria itu. "Tapi Mas..." "Tapi apa? Nggak berani? Harus tanggung jawab dong. Makanya kalo kerja yang bener. Ngedit naskah segitu aja typonya banyak banget." Hardi dengan mulut pedasnya sudah berkomentar. Daripada melihat wajah ganas dan mulut cabe Hardi, Alin memilih masuk ke ruangan Rivaldo. Disana ia menemukan Bos besarnya tengah duduk santai di kursi kerja, ditemani oleh lembaran-lembaran kertas. Sepertinya Rivaldo belum menyadari kehadirannya, pria itu sangat fokus saat membaca lembaran kertas di tangannya. "Permisi, Pak." Sapa Alin berdiri tak jauh dari meja kerja Rivaldo. Barulah Rivaldo mengangkat kepala dan meletakkan kertas ditangannya begitu saja. Wajah yang tadinya santai kini berubah menjadi menyeramkan. "Oh, sudah datang rupanya. Duduk kamu!" Entah telinga Alin yang bermasalah atau memang suara Rivaldo yang kali ini terdengar sangat ganas. Untuk berjaga-jaga Rivaldo memangsanya secara tiba-tiba, Alin menggelengkan kepala. "E-e-enggak usah Pak, saya berdiri disini aja." Tolaknya. "Masih berani membantah kamu?! Saya bilang duduk ya duduk! Nggak ada penolakan!" Mata Alin merem melek mendengar suara bernada tinggi itu. "Ba-baik Pak, saya duduk." Alin sudah duduk di kursi depan Rivaldo, menundukkan kepala sedalam-dalamnya. Jujur, ia lebih memilih memandangi lantai ruangan ini daripada harus menatap pria didepannya ini. "Kamu tau kenapa kamu saya panggil kesini?" Kepala Alin menggeleng lemah. Dengan sengaja Rivaldo melempar satu novel milik Seesaw yang baru beberapa hari lalu diedarkan ke pasaran. "Buka dan pahami!" Ketusnya. Takut-takut Alin membuka novel yang ia tangani itu. Disana ada banyak halaman yang sengaja dilipat sebagai penanda. Membuka halaman yang terlipat, Alin menemukan beberapa kata yang dilingkari bolpoin merah. Saat dibaca, rupanya itu kata typo. Membuka halaman lain yang terlipat, Alin semakin panas dingin saat dilihatnya ada banyak kesalahan kata disana. Sungguh, apakah ini hasil editannya? Kenapa banyak sekali typo disini? Bahkan Alin pikir naskah seperti ini tidak layak terbit. Dalam hati ia merutuki kebodohannya dalam mengedit naskah. Alin menutup sampul buku dan meletakkan novel tersebut di meja. Ia menunduk lagi, tak mampu mengeluarkan kata. Ia mengaku salah sekarang. "Sudah paham kesalahan kamu dimana?" Alin mengangguk. "Kamu tau, berapa pembaca yang menghubungi customer care kami? Ribuan! Bahkan direktur pemasaran sudah menarik kembali novel tersebut dari pasaran. Itu karena ulah dan keteledoran kamu! Dan, kamu tau berapa banyak jumlah kerugian saya? Tentu tidak bisa disebutkan dengan sedikit angka nol." Rivaldo berbicara tanpa pandang siapa yang saat ini dirinya ajak bicara. Dia bahkan menggunakan nada tingginya tanpa bisa dikontrol. "Hei, buka mulut kamu. Saya sedang mengajakmu bicara!" Bentak Rivaldo. "Kamu punya mulutkan? Tidak berani berbicara, heh? Merasa sangat bersalah?" "Biasanya kamu selalu menjawab ucapan saya, kenapa sekarang jadi seperti patung? Takut?" "Angkat kepala kamu! Saya sedang bicara dengan kamu, hei!" Kesabaran Rivaldo sudah habis. Kepala Alin terangkat, membuat air mata yang sejak tadi di tahannya kini keluar begitu deras tanpa permisi. Rivaldo terkejut, tentu. Ini kali kedua dirinya melihat air mata Alin keluar, namun dengan konflik yang berbeda. Hanya saja pelakunya tetap sama. Ia sendiri. "Saya bela-belain kesini naik motor kayak setan, tapi sampai disini Bapak berbicara keras dan kasar didepan saya. Bahkan saya nggak mandi demi menemui Bapak! Lihat, saya masih pakai baju tidur, tadi saya lagi makan dan Mbak Nisa bilang saya harus kesini segera. Tapi apa, Bapak nggak menghargai perjuangan daya untuk kesini. Hiks-hiks," sejenak, Alin menghentikan curhatannya pada Rivaldo. Setelah menghapus air mata, ia kembali melanjutkan kalimatnya. "... Iya, saya tau Bapak rugi banyak gara-gara masalah ini. Tapi seenggaknya kita bicarakan masalah ini dengan kepala dingin, Pak. Bukannya teriak-teriak kayak nggak punya akhlak. Saya tuh paling takut sama orang yang teriak-teriak kesetanan kayak yang tadi Bapak lakukan. Apalagi muka Bapak merah semua, hiks-hiks." Alin kembali menghapus air mata usai menyelesaikan kalimatnya. Rivaldo tertegun. Ia tak tau Alin akan bereaksi seperti ini. Yang Rivaldo tau, Alin adalah wanita pemberani. Bukan wanita yang ternyata takut pada seseorang yang berteriak-teriak. "Oke, sekarang gini aja. Saya akan mengganti kerugian ini. Dan untuk niat saya yang ingin resign dari sini, saya juga akan membayar uang dendanya. Sekarang Bapak puas, hah? Puas?!" Putus Alin. Mengganti rugi? Sepertinya tadi Rivaldo tidak meminta Alin untuk mengganti rugi. Juga, ia tidak akan membiarkan Alin keluar dari kantornya begitu saja. "Alin, saya nggak bermaksud—," Tangan Alin terangkat untuk menghentikan ucapan Rivaldo. "Saya nggak butuh penjelasan. Bapak pasti mau bilang 'saya nggak bermaksud seperti itu'. Jelas-jelas tadi Bapak bentak-bentak saya!" Teriak Alin masih dengan posisi menangis. "Kirim nomor rekening Bapak, saya akan menyelesaikan semuanya segera." Ucap Alin tanpa gentar. "Saya permisi." Pamitnya dan keluar dari ruangan Rivaldo. Rivaldo berdiri, hendak mengejar langkah Alin tapi saat melihat wajah-wajah para karyawannya yang menunggu di luar, membuatnya mengurungkan niat. Ia akan menyelesaikan masalah ini diluar kantor. Ya, itu lebih baik. Keluar dari ruangan Rivaldo, Alin memandang satu-persatu rekan kerjanya yang sudah berdiri didepan ruangan Rivaldo sejak tadi. Melihat sosok Nisa di ujung barusan, Alin segera menghampiri dan menghambur ke pelukan wanita itu. Menumpahkan segala kesedihannya disana, meminta bantuan untuk menopang tubuhnya yang kian melemah ini. Nisa menerima pelukan itu dengan lapang d**a, walau sebenarnya dia juga memiliki rasa kesal pada Alin karena sifat kekanak-kanakannya. "Cup..cup...cup... Kamu udah melakukan yang terbaik kok. Kamu berani bertanggung jawab. Kamu hebat. Cup... Jangan nangis dong, sayang..." Disela-sela tangisnya, Alin berucap lirih pada Nisa. "Mbak, an-anterin aku pul-pulang." "Iya, ayo kita pulang. Kamu butuh istirahat." Alin mengangguk. Ia butuh mengistirahatkan tubuh dan pikirannya, sebelum akhirnya ia akan kembali memikirkan bagaimana caranya ia mencari uang banyak untuk mengganti kerugian perusahaan dan uang denda resign.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN