Sembilan Belas

2262 Kata
Pertunangan Nisa dan Fahmi sudah berlangsung dua hari lalu, namun Nisa masih belum berangkat ke kantor karena harus mengikuti adat istiadat di tempat tinggalnya. Alin menatap layar monitornya dengan lesu. Dua hari ini ia selalu diam berusaha fokus pada pekerjaaan, tapi bukannya pikirannya justru tidak karuan. Tak ada Nisa, ternyata rasanya hampa. Biasanya di jam kerja seperti ini mereka akan merumpikan sesuatu yang unfaedah namun tetap menyenangkan jika dibicarakan. Kepala Alin melirik malas pada pria yang duduk disebelah kubikelnya. Husni terlihat sibuk pada pekerjaan pria itu. Tidak mungkin juga ia mengobrol tentang lagu-lagu baru dari Justin Bieber pada Husni. Husni ini tipe-tipe pria yang menyukai genre musik pop Indonesia, bisa dilihat setiap akan beberes pria itu menyanyikan lagu Noah yang berjudul Separuh Aku. "Mas, aku mau ke pantry, bikin kopi. Mau nitip nggak?" Putusnya lebih memilih ke pantry dan membuat seduhan kopi sasetan. "Nggak deh, kopi buatanmu nggak seenak buatannya Pak Uje." Ingin rasanya Alin menendang s**********n Husni. Dengan tatapan judes sejudes-judesnya Alin melewati kubikel Husni. Ia menyusuri koridor kantor yang kebetulan sepi, karena memang ini jam-jam kerja, para karyawan tengah disibukkan oleh seabrek naskah. Sambil bersenandung riang gembira dengan tangan sibuk memainkan ponsel guna memecahkan permainan teka-teki silang, Alin berjalan tanpa beban menuju pantry. Huh, rasanya lega sekali setalah keluar dari kubikel kerjanya yang sumpek sekaligus sepi karena tak ada Nisa. Sampai di pantry, Alin memilih kopi instan yang katanya autentik. Menyeduhnya pada gelas cup sekali pakai. "Saya sekalian buatkan satu gelas." Dahi Alin kontan saja menyernyit heran. Ada suara namun tak ada wujudnya. Saat kepalanya menengok kebelakang, bola mata dan teriakan tak bisa lagi ia kontrol. "KYAAAAA ...." teriaknya heboh. Tidak! Tidak mungkin makhluk didepannya ini benar-benar ada disini! Alin yakin, ini bukan Rivaldo Hendriksen! Bos besarnya ini biasanya akan datang di tanggal-tanggal akhir atau pertengahan tanggal, bukan tanggal awal seperti ini. Sekali lagi Alin menatap Rivaldo secara intens dan benar saja, pria yang saat ini berdiri mengenakan kaos polo berwarna hitam dan celana jeans panjang adalah Rivaldo! Ingat pada kejadian tak mengenakan saat kali pertama bertemu Rivaldo, Alin bergegas menutup bibirnya. Tidak! Ia harus mengamankan bibirnya, sebelum pria ini menyerobotnya untuk kali kedua. Masih dengan tatapan takut, Alin berusaha kuat agar tak gentar. Ini kali kedua ia bertemu Rivaldo di pantry kantor. Yaaaa.. kenapa harus disini?! "Ba-bapak ngapain disini?" Alin berhasil melontarkan pertanyaan dari mulutnya yang setia ia tutupi, agar terhindar dari sosoran bibir Rivaldo. Lantas pemilik wajah tampan penuh pesona ini memajukan kepalanya agar lebih dekat dengan Alin, "Saya nyariin kamu." Balasnya. Masih dengan menutup bibir, kepala Alin otomatis mundur menjauh. Bisa dilihat dari balasan Rivaldo, sepertinya pria ini sudah terlalu banyak mengkonsumsi pil koplo dan berbagai minuman keras. Alin jadi semakin takut berdiri dihadapan Bos besarnya ini. "Kamu lagi sariawan, ya?" Rivaldo bertanya. Alin diam sejenak untuk mencerna pertanyaan Rivaldo. Namun akhirnya ia memilih mengangguk saja. Terserah apa kata Rivaldo, yang jelas sekarang kakinya semakin melemas karena terlalu lama menahan rasa takut. "Padahal saya kangen sama rasa bibir kamu." Sialan! Alin hanya bisa melototkan mata dan memaki dalam hati saat Rivaldo meracau seenak udelnya. "Harusnya kamu jangan minum kopi," tangan Rivaldo tanpa permisi mengambil kopi buatan Alin dan menyeruputnya. "Tunggu sebentar, saya buatkan ramuan tradisional untuk sedikit meredakan sakit sariawan." Ujarnya setelah menandaskan kopi Alin. Entah apa yang ada dipikiran pria berdarah campuran ini. Rivaldo dengan cekatan menuangkan air panas dari termos ke gelas lantas menaburkan beberapa sendok garam disana. Selagi Rivaldo menyibukkan diri pada eksperimennya, Alin sudah membuat ancang-ancang untuk kabur. Dalam hitungan ketiga, ia langsung melesat pergi dari pantry sialan ini. Memasuki ruang divisi dan duduk tergesa-gesa di kursi kubikelnya. Napas Alin masih memburu karena dilanda ketakutan. "Lhoh Lin, kopi pesananku mana? Tadi aku WA kamu." Teman satu divisi yang duduk didepan kubikelnya membuat Alin tersadar pada keberadaan ponsel. Sial! Ia meninggalkan ponsel di meja pantry saat membuat kopi. Alin menatap horor pada Dinda yang baru saja menagih pesanan kopi. Lantas kepalanya menoleh cepat pada Husni. "Mas, hapeku ketinggalan di pantry!" Serunya menghebohkan seluruh ruangan. "Yaudah sana ambil." Sepertinya Husni tidak tertarik pada kehebohan Alin. Kepala Alin menggeleng cepat. "Ambilin." "Nggak punya waktu." "Mas Hus, tolong ..." "Nggak bisa Lin, kerjaan masih banyak! Nggak punya waktu buat main-main apalagi disuruh-suruh sama kamu." "Mas, tolonglah ..." "Ambil sendiri kenapa sih? Pagi-pagi nggak ada setan." "Ada! Barusan, setannya minum kopi buatanku, Mas!" Kepala Husni menggeleng tak percaya pada ucapan halu teman satu kantornya. "Orang kalo jomblonya terlalu akut, ngaconya nggak kira-kira. Yakali setan minum kopi!" Sebelum emosinya meledak dan memiliki keinginan untuk mencekik leher Husni, Alin bergegas keluar. Terpaksa ia harus mengambilnya sendiri. Berbeda dengan Alin yang cemas pada keberadaan ponsel, Rivaldo justru tengah dibuat bungah saat mendapati ponsel Alin tergeletak begitu saja di meja. Diletakkannya gelas berisi air hangat campur garam yang baru saja dirinya buat untuk Alin, lantas tangannya beralih meraih ponsel. Ia membawa pergi ponsel bukan miliknya itu menuju ruang cctv kantor. Entahlah, akhir-akhir ini Rivaldo hobi sekali keluar-masuk ruang cctv. Saat tiba di kantor ini, ruangan pertama yang ia masuki ialah ruang cctv, bukan ruangan kerjanya. Dengan perasaan harap-harap cemas Alin memasuki kembali area pantry. Tapi saat sampai disana ia terbengong karena tak mendapati apa yang ia cari di meja pantry. Ia tak ingin berprasangka tidak baik pada Rivaldo, tapi entah kenapa pikirannya selalu bilang bahwa ponselnya dibawa oleh Rivaldo. Mungkin saja. Jadi, haruskah Alin mencari keberadaan pria itu? Bagaimana jika Rivaldo sudah pergi dari kantor ini dan benar-benar membawa serta ponselnya? Cepat-cepat Alin berlari ke ruang kerja Bos besarnya itu berada. Ia berharap sekertaris Rivaldo saat ini dalam mood baik, sehingga membolehkannya untuk bertemu dengan Rivaldo. "Mbak, saya dari editor romance, mau ketemu Pak Rivaldo. Ada perlu sebentar." Pinta Alin pada sekertaris Rivaldo yang memang setiap hari selalu siaga disebelah pintu ruangan Boss besarnya itu. Wanita berambut Cepol itu mendongak untuk melihat siapa yang barusan mengajaknya bicara. Setelah melirik sebentar pintu ruangan Rivaldo, wanita ini menatap kembali wajah Alin. "Maaf Mbak, nggak bisa." "Sebentar aja kok. Ini urgent." "Pak Rivaldo lagi nggak ada." "Sebentarrr .. aja mbak. Hape saya soalnya ilang waktu nggak sengaja ketinggalan di pantry." "Lhoh, kenapa nggak dicari Mbak? Kok malah mau ketemu Pak Rivaldo, dia nggak akan mau ganti rugi." "Masalahnya ilangnya tuh pas dia juga lagi ada di pantry, Mbak. Saya curiga dia yang ngambil." "Tapi Pak Rivaldo lagi nggak ada di ruangan." "Plissss..." "Nggak ada, Mbak." Alin akhirnya berhenti memohon dan mengganti tatapan melasnya menjadi nyolot. "Kalo nggak dibolehin ketemu bilang aja! Segala ngibul!" Tukasnya lantas berlalu dari hadapan Sekertaris Rivaldo. Diruang cctv perusahaan, Rivaldo berusaha keras menahan tawanya. Sekali lagi ia menutup mulut dengan telapak tangan. Melihat wajah nyolot dan ngotot Alin lewat layar monitor membuat jiwa humornya bergejolak. Ditambah keteguhan sekertarisnya yang tidak mau kalah. Sungguh, ini sangat menghibur untuknya yang jarang dihibur. Pintu ruangan terbuka, seorang office boy menghampiri Rivaldo. "Permisi Pak, tadi Bapak manggil saya. Ada apa, ya?" Tanyanya sopan. Rivaldo membalikkan badan sambil merogoh saku celana untuk mengambil barang yang akan ia serahkan pada office boy didepannya ini. Sejenak, pria ini memainkan ponsel Alin yang kebetulan tidak dikunci. Ia menuliskan nomor ponselnya disana dan menyimpan dengan nama Panjangnya. Lalu Rivaldo membuka aplikasi w******p, mengirim pesan pada nomornya lantas menghapus riwayat chat itu, agar tidak meninggalkan jejak. "Tolong serahkan hape ini pada salah satu anak buahnya Hardi." Perintahnya sambil mengangsurkan ponsel Alin. Office boy ber-nametag Uje itu menerima ponsel tersebut dan mengangguk patuh. "Baik, Pak." "Jangan bilang itu dari saya. Bilang saja Bapak menemukan hape itu di meja pantry, ya." "Siap, Pak." Seperginya Pak Uje, Rivaldo kembali memfokuskan pandangannya pada layar cctv, mencari-cari keberadaan Alin, yang rupanya kembali mencari ponselnya di pantry. Rivaldo melengkungkan sudut bibirnya untuk memberi respon pada keteguhan Alin. Wanita ini benar-benar luar biasa. Terlihat Alin berusaha mencari-cari ponsel dibawah kolong meja lantas beralih pada beberapa rak di pantry kantor. Kepala Alin sebenarnya sudah ingin meledak hanya gara-gara ponsel. Itu ponsel yang sangat berharga, karena disana ada nomor Ilham dan beberapa balasan pesan dari Ilham yang setiap galau akan ia baca agar cintanya tak pernah pudar pada pria itu. Tapi sekarang, benda pipih itu telah hilang entah kemana. Ia sudah mencari disetiap sudut pantry, tetap saja tak menemukan ponselnya. Bahkan rambutnya kini sudah berantakan karena terlalu dalam saat memasuki kolong meja serta beberapa kali tangannya tak sengaja menggaruk-garuk rambut kepala terlalu keras. Aahhh sialan! Terpaksa Alin harus mengakhiri pencariannya. Ia harus kembali bekerja, jika tidak ingin dimarah oleh ketua divisinya yang semakin hari semakin sensitif saja. Memasuki ruang divisi, Alin disambut oleh seruan Husni. "Lin, kamu dapat titipan tuh dari Pak Uje." "Pak Uje? Apaan?" Husni menggerakkan dagu mengarah pada kubikel Alin, yang membuat Alin segera menghampiri meja kubikelnya. Alangkah terkejutnya ia melihat benda pipih yang barusan ia cari-cari keberadaannya, ternyata sedang asyik rebahan manja di meja kubikelnya. Double sialan kau ponsel! "Kok ada di pak Uje?" Tanyanya tak percaya. "Dia nggak sengaja lihat hape kamu dimeja pantry." Kepala Alin mengangguk-angguk, namun sejurus kemudian ia terdiam. Tunggu dulu. Pak Uje tidak sengaja menemukan ponsel, tapi .. bukankah Pak Uje seharusnya tidak tahu itu ponsel milik siapa? "Kok pak Uje bisa tahu ini hape aku, ya?" Kedua bahu Husni terangkat. "Tanya-tanya mungkin." "Ooh .. masuk akal sih." Gumamnya sembari menarik kursi dan duduk di tempatnya. Alin kembali menekuni pekerjaannya yang sempat ia tunda beberapa kali hanya karena untuk mencari ponsel sialannya. Sungguh, pekerjaannya masih banyak dan sepertinya ia akan pulang sedikit terlambat untuk segera menyelesaikan editing naskahnya. Sedang fokus-fokusnya mengedit naskah, ruangan editor romance dikejutkan oleh kehadiran Rivaldo yang sangat tiba-tiba. Namun Alin belum menyadari kehadiran Rivaldo di ruangan. Pria jangkung itu masuk begitu saja, berjalan melewati satu-persatu meja kubikel para karyawannya. Sampai di kubikel Alin, Rivaldo menghentikan langkahnya. "Saya dengar anak buah Hardi ada yang kehilangan ponsel dan si pemilik menuduh kalau saya yang mengambil ponselnya. Saya nggak tahu siapa orangnya, tapi yang jelas saya akan memberinya SP pada orang tersebut." Suaranya sangat lantang dan tegas. Sampai-sampai Alin tersadar dan menghentikan aktivitasnya. Ia mendongakkan kepala untuk melihat siapa yang baru saja mengeluarkan suara. Keduanya kini bertemu tatap satu sama lain. Namun Alin segera memutus pandangan dan lebih memilih menatap Husni. Jantungnya berdetak kencang saat otaknya memutar kembali apa yang barusan Rivaldo katakan. Tentu saja pria itu menyindirnya! "Lin, bukannya kamu tadi habis kehilangan hape, ya?" Dinda tiba-tiba saja mengeluarkan suara. Alin menatap rekan kerjanya yang kubikelnya berada di depannya. "Kata siapa? E-e-enggak kok, nggak hilang." "Tapi tadi kata Pak Uje—," "Oooh.. Pak Uje, hapeku emang sengaja aku titipkan ke dia waktu nggak sengaja ketemu di pantry." "Masa sih?" "Iyaaa.. Dinda.." balas Alin penuh penekanan dan tak ketinggalan dengan pelototan matanya yang membara bak api disiram bensin." "Tapi kata Pak Uje hape kamu—," "Aku mau ke belakang." Sergah Alin berusaha menghentikan ocehan Dinda yang sepertinya ingin balas dendam karena Alin tadi pagi tidak membuatkan wanita itu kopi. Alin berdiri dari duduknya, ia membungkuk sebentar untuk pamit pada Rivaldo. "Saya permisi dulu, Pak." Rivaldo tak merespon. Ia pandangi terus apa yang Alin lakukan saat ini. Bahkan saat wanita itu keluar dari ruangan sambil berlari kecil, Rivaldo masih sempat-sempatnya menatap terang-terangan didepan para karyawannya. *** Pukul enam sore, Alin masih disibukkan oleh beberapa bab naskah yang belum dirinya edit. Sore tadi Hardi sudah marah-marah padanya karena ia tidak menyelesaikan satu naskah hari ini. Jadi Alin terpaksa harus tetap duduk di kursi kerjanya, walau para rekan lainnya sudah pulang beberapa jam lalu. Sambil terus memaki pria bernama lengkap Rivaldo Hendriksen, Alin mengerjakan pekerjaannya. Sampai pukul setengah tujuh, akhirnya ia menyelesaikan semua bab dan telah ia kirim ke email Hardi. Baiklah, sekarang waktunya untuk pulang dan rebahan di kasur. Usai membereskan meja kerjanya, Alin keluar dari ruangan editor. Melangkah seorang diri dengan keadaan kantor yang sudah sepi, membuat bulu kuduknya meremang seketika. Ditambah lagi beberapa ruangan sudah dimatikan lampunya. Tidak mau melihat setan diusia muda, Alin buru-buru lari menuju lift dan menekan tombol lift beberapakali seperti tidak sabaran. Tapi lagi-lagi Alin dibuat sial hari ini. Saat pintu lift terbuka, disana nampak ada Rivaldo berdiri seorang diri. Membuat Alin saat ini hanya bisa menghela napas gusar sambil menggaruk-garuk rambut kepala. "Selamat malam, Pak." Sapa Alin setelah memilih masuk lift, daripada menunggu lebih lama. Tak lupa, ia menutup mulutnya dengan telapak tangan. Sungguh, ia masih trauma pada ciuman Rivaldo yang sangat tiba-tiba. "Malam, Alin." Balas Pria disebelah Alin. "Baru pulang, ya?" Rivaldo memulai aksi basa-basinya. Menurut lo?! Ingin rasanya mulut Alin membalas demikian pada pertanyaan tak bermutu dari Rivaldo. Tapi nyalinya belum cukup. Ia memang terkenal pemberani dan tak tahu malu, tapi jika harus semena-mena pada atasan, Alin belum cukup berani. Ia takut esuk harinya mendapat surat pemecatan. "Bibir kamu masih sariawan, ya?" Alin balas mengangguk. "Tadi pagi saya buatkan ramuan untuk kamu, tapi malah ditinggal. Mau saya buatkan lagi?" Tawar pria itu. "Nggak pak, Terimakasih." "Pasti sangat tidak nyaman menutupi bibir seperti itu. Sakit banget ya sariawannya?" Tanya Rivaldo, lagi. Apaan sih?! Alin terus saja merutuki Rivaldo dalam hati. "Sedikit kok sakitnya. Saya duluan,Pak." Ucapnya sekalian pamit karena pintu lift sudah terbuka. "Boleh saya antar kamu pulang?" Alin menghentikan langkahnya dan berbalik. "Sekali lagi terimakasih atas tawarannya. Saya naik ojek onlen aja pak." Rasanya bibir ini kelu sekali untuk berbicara sopan pada Rivaldo. "Sama saya aja, gratis kok." Rivaldo masih belum menyerah. "Saya nggak suka gratisan, Pak. Permisi." Putus Alin lantas kembali melanjutkan langkahnya. Sambil berjalan keluar, bibir Alin melengkungkan seulas senyum. Jujur, baru kali ini ia menolak ajakan dari pria tampan. Biasanya, ia akan lemah dan murahan jika sudah diajak oleh pria tampan, apalagi Ilham. Sedang dibelakang tubuh Alin, Rivaldo justru menatap datar pada tubuh Alin. Ini kali pertamanya pendapat tolakan dari seorang wanita dan rasanya ... Sangat tidak nyaman.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN