Tujuh Belas

1823 Kata
"Pantesan tunangannya pada kabur, orang dia aja hobinya jajan diluar. Mana suka cipok-cipok anak orang sembarangan lagi!" Ini sudah keseratus kali Alin mendumel sambil matanya fokus pada layar laptop yang menampilkan beberapa artikel mengenai perjalanan cinta pengusaha muda sukses bernama Rivaldo Hendriksen. Dari sederet artikel, semuanya berisi tentang Rivaldo yang selalu ditinggal begitu saja oleh pacar atau bahkan tunangan pria itu. Bukan reaksi kaget yang Alin keluarkan setelah membaca lebih jauh tentang artikel tersebut, namun hanya gelengan kepala. Alin tidak heran lagi setelah membaca artikel itu setelah beberapa hari lalu Rivaldo menciumnya tanpa izin. Alin pikir pria itu pantas mendapatkan perjalanan cinta yang mengenaskan. Dimalam Minggu yang sunyi ini, Alin menyibukkan diri mencari informasi tentang Rivaldo. Bukan apa-apa, ia hanya penasaran saja seperti apa orang-orang menilai dan memahami seorang Rivaldo. Namun ternyata semuanya salah. Dari beberapa artikel menuliskan bahwa pria berusia 32 tersebut memiliki sifat lemah lembut, santai dan profesional dalam bekerja. Iya, santai. Menurut Alin, Rivaldo tidak santai. Hanya pakaian pria itu saja yang terlihat santai saat mengunjungi kantor. Mulai malas membaca artikel yang semuanya tentang Rivaldo, kini Alin memilih menutup laptop dan bergegas untuk mengistirahatkan diri. Ia harus istirahat karena besok akan menemani Tante Irma dan Ilham mengunjungi rumah baru pria itu. Lagi, Alin juga harus bangun pagi-pagi sekali untuk berbicara empat mata dengan Citra. Ia berniat untuk mengajak adiknya juga, karena tahu besok ada Sania yang ikut serta mengunjungi rumah baru Ilham. Tentu saja Alin tidak mau menjadi manusia asing disana yang hanya menonton keromantisan keduanya, jadi ia membawa Citra agar tidak terlihat b**o nantinya. Setidaknya adiknya ini bisa diajak bicara disana. Waktunya telah tiba. Alin sudah menyiapkan mental kuat untuk tidak baper dengan pasangan Ilham-Sania. Sembari menunggu Citra merapikan diri, Alin duduk menanti sang adik di ruang tenang. Tubuhnya sudah dibalut pakaian yang menurutnya paling bagus dari semua pakaian yang ada di lemarinya. Wajah Alin juga sudah dipoles oleh berbagai alat make-up. Hari ini Alin tampil totalitas, padahal hanya akan melihat-lihat rumah baru Ilham dan itu bukan acara penting. Tapi biarlah, bagi Alin apapun tentang Ilham adalah hal penting. "Mbak, aku udah siap .." Suara Citra membuat Alin melirikkan matanya pada pemilik suara. Dan, Wow. Siapakah gerangan yang menguncir rambut adiknya kpopersnya ini? "Siapa sih yang nguncir rambut kamu? Kamu kan udah SMP dek, masa masih kuncir dua begitu! Nggak pantes .. mana nguncirnya besar satu pula!" "OPPA AIDEN ...!!!" teriaknya menyebut seseorang yang menguncir rambutnya pagi ini. Bola mata Alin memutar jengah. Ia menyesal sudah bertanya. Kini ia harus menenangkan sang adik, karena Ayah dan Mama mereka tidak ada dirumah sejak jam tujuh pagi. Entahlah, Alin juga tidak tahu kemana perginya kedua orangtuanya itu. Karena ketika ia keluar dari kamar, mereka sudah pergi tanpa pamit. Tapi Aiden bilang, mereka pergi ke Bandung dan akan pulang sore ini. "Udah nggak usah nangis. Bagus kok bagusssss banget kuncirnya. Udah dong jangan nangis .. ayo ke rumah Tante Irma. Udah jam sembilan," ujarnya mendesak Citra agar berhenti menangis. "Nih ambil, donat kentang buat kamu." Alin menyerahkan paper bag berisi donat kentang yang sengaja ia bawa untuk Citra. Akhirnya adik kecilnya ini bisa menghentikan tangisnya. Sambil melangkah menuju rumah Tante Irma yang ternyata sudah bersiap untuk berangkat, Citra tak henti-hentinya mengunyah donat. Jangan heran, adik bungsu Alin ini memang memiliki nafsu makan diatas rata-rata, bisa dilihat dari bobot tubuh Citra yang setiap Minggu selalu bertambah. "Lhoh.. katanya Citra lagi sibuk belajar buat ulangan .. kok malah ikut?" Tante Irma yang tengah menyusun barang di bagasi mobil langsung menyuarakan suaranya saat melihat dua kakak adik ini masuk ke pekarangan rumahnya. Alin tersenyum kikuk sambil memperkuat pegangan tangan Citra, untuk memberi kode pada adiknya agar tidak usah menjawab pertanyaan Tante Irma. "Iyaa Tan. Mama sama Ayah lagi ke Bandung, jadi mending aku ajak Citra sekalian. Kasian kan kalo dirumah sendirian." "Aiden kemana?" "Tante kayak nggak kenal Aiden aja. Dia kan kalo libur suka hibernasi dikamar." "Owalaah.. dasar bujangnya Jeng Nawang. Yasudah, Tante minta tolong susun barang-barang ini ya Lin? Tante mau ambil tas dulu didalam." "Iya Tan, siap!" Balasnya sangat antusias. Tak lama, seseorang yang Alin tidak tunggu-tunggu kehadirannya tiba-tiba muncul dari rumah Tante Irma dengan kedua tangan membawa dua plastik putih berisi penuh. Sania. Kekasih Ilham ini rupanya sudah disini. Alin menatap malas pada sosok yang kini berjalan cepat menuju kearahnya. "Eh ada Alin. Ini Lin, tolong simpan di bagasi." Suruh Sania. Walau berat hati Alin tetap menerima dua kantong plastik dari Sania untuk ia susun. "Aku udah nggak sabar deh pengin lihat rumahnya Ilham kayak apa. Kamu penasaran nggak Lin?" Sania mencoba berbasa-basi pada Alin. "Aku udah lihat kok," bohongnya. "Serius kamu Lin? Gimana-gimana, bagus nggak?" Bola mata Alin berputar mengarah keatas sambil memonyongkan sedikit bibirnya. "Heumm .. Mas Ilham kasih lihat foto rumahnya sih, menurutku  lumayan Mbak." Padahal Ilham sama sekali tidak pernah memperlihatkan foto rumah barunya. Jangankan memperlihatkan, bicara baik-baik pada Alin saja jarang. "Ilham gimana sih! Kamu boleh kasih lihat, kok aku nggak, ya?" Alin mengangkat bahu tak acuh. Kini ia sukses membuat Sania sedikit marah dan mungkin saja wanita itu cemburu. Ilham dan Tante Sania keluar dari rumah. Terlihat pria itu mengenakan kaos berlengan pendek warna hijau yang dipadukan dengan celana jins hitam. Terlihat santai dan .. entah kenapa penampilan Ilham pagi ini justru membuat Alin jadi salah fokus. Ia jadi memikirkan sosok Rivaldo, pria yang selalu mengenakan pakaian santai saat mengunjungi perusahaannya sendiri. Tidak! Apa-apaan ini! Tidak ada Rivaldo! Ia tidak boleh memikirkan pria yang sudah merebut keperawan—, maksud Alin, merebut first kiss-nya yang seharusnya menjadi milik Ilham seutuhnya. Ah sial! "Citra ayo masuk ke mobil." Suruh Tante Irma pada anak yang masih saja sibuk menyantap donat kentang sambil duduk-duduk santai di teras rumah Tante Irma. Citra bergegas melahap donat terakhir di tangannya dan beranjak berdiri untuk menuruti perintah Tante Irma. Saat langkahnya sudah tiba disebelah Sania, remaja SMP ini menatap sinis pada kekasih Ilham dan Alin melihat ekspresi itu. "Haay .. Citra." Sania mencoba tersenyum ramah dan menyapa gadis remaja yang kini berdiri didepannya. Citra terlihat tidak suka pada Sania. Bisa dilihat dari cara pandang anak ini. Ia meneliti penampilan Sania dari atas kebawah dengan mata memicing. Lalu tanpa repot-repot membalas sapaan Sania, Citra justru melontarkan pertanyaan. "Eonnie mau duduk dimana?" Baiklah, jiwa kekorea-koreaan Citra mulai muncul. Sania jelas terlihat tidak mengerti pada ucapan Citra. Tadi gadis kecil ini bilang apa? E-eonnie? Apa itu Eonnie? Bahasa darimana? "Maksudnya?" "Ehmm, jadi gini Mbak, Citra tuh suka korea-koreaan. Terus tadi dia ada bilang Eonnie, itu artinya kayak panggilan buat Kakak perempuan gitu Mbak. Citra juga panggil Mas Ilham pake Oppa, yang artinya kakak laki-laki, hehehe." Alin mencoba menengahi. Jujur, ia malu. Setelah melongo mendengar penjelasan dari Alin, Sania mencoba mengerti keadaan Citra yang menyukai dunia per-kpopan. "O-oh gitu. Oke, aku ngerti. Jadi, tadi kamu tanya apa? Duduk dimana, ya? Eum.. kayaknya Eonnie duduk didepan deh, sama Oppa." "Nggak bisa! Aku biasa duduk didepan! Jangan coba-coba ngambil posisi aku ya!" Kecam Citra tak main-main. Lantas kepalanya mencari-cari keberadaan Tante Irma yang tengah menutup bagasi mobil. "Tante, aku duduk didepan kan?" Tanyanya. Alin terlihat diam saja menonton drama yang Citra buat sendiri. Baiklah, sang perusak momen sedang beraksi. Jadi, mari kita saksikan. "Kayaknya kamu dibelakang deh, Lin." Balas Tante Irma. Tak terima, Alin melangkah mendekat pada pintu mobil sebelah kemudi dan melongok untuk mengadu pada Ilham yang tengah mengecek keadaan kendaraannya. "Oppa, aku duduk didepan bareng Oppa kan?" "Iyaa .." Sebelum Ilham berubah pikiran, Citra segera masuk kedalam mobil dan justru menyuruh orang-orang yang masih diluar untuk segera masuk. Sialan! Mobil mulai berjalan meninggalkan perumahan yang mereka tinggali dan melaju cepat membelah jalanan raya. Selama diperjalanan, Alin diam saja bak patung. Kepalanya selalu menoleh pada kaca pintu mobil. Ia benar-benar diacuhkan disini. Citra, Ilham dan Sania justru menikmati perjalanan dengan bermain tebak-tebakan. Sebenarnya hanya Citra dan Ilham yang main, tapi karena Sania selalu nimbrung, jadilah dia ikutan. Walau Citra terlihat enggan dan jengah setiap kali Sania ikut-ikutan menjawab tebakannya yang ditujukan untuk Ilham. Sesekali juga Tante Irma tertawa terbahak mendengar jawaban tebakan itu sendiri. Hanya Alin. Hanya Alin yang tidak ikut dan tidak menikmati perjalanan ini. Bahkan bukan hanya di mobil saja Alin diacuhkan. Saat tiba dirumah baru Ilham dan masuk untuk melihat isi di dalamnya pun ia ditinggal seorang diri dibelakang. Citra bergelayut manja pada Ilham. Sedang Tante Irma tentu saja memilih berjalan beriringan bersama calon menantunya. "Ohiya Ham, Bunda siapin makan dulu ya? Kunci mobilnya mana?" Tanya Tante Irma. Kemudian Ilham berbalik badan dan menyerahkan kunci mobilnya. "Enaknya makan dimana, Ham?" "Di permadani aja, Bun. Ruang tengah." "Oh iya udah." "Sania bantu nyiapin ya, Bun?" Sela Sania sebelum akhirnya Tante Irma melesat pergi. "Eh nggak usah, kamu barang kali mau lihat-lihat isi rumah baru Ilham. Belum lihat di lantai dua kan? Nah, sana lihat-lihat sama Alin tuh." Sekilas Sania melirik Alin yang pura-pura abai dan hanya fokus pada ponsel. Lantas matanya kembali menatap sang lawan bicara, "Nanti aja, Bun. Sania bantu Bunda aja dulu." "Yaudah kalo kamu maksa, ayo." Usai kepergian Tante Irma dan Sania, Citra dan Ilham pun ikut-ikutan pergi untuk melihat keadaan rumah baru Ilham di lantai atas. Alin yang sama sekali tidak ingin melihat lebih jauh tentang rumah ini memilih duduk di satu sofa single. Mulai menyibukkan diri dengan bermain game cacing yang sedang booming akhir-akhir ini. Tak jauh dari tempatnya duduk, Alin bisa melihat interaksi antara Tante Irma dan Sania. Keduanya terlihat sangat akrab. Alin benci ini! Apalagi saat keduanya terkekeh bersama. Andai meracuni orang tidak dipidana, sudah pasti Alin akan memberi minuman yang sudah dicampur untuk Sania. Terlihat Sania tengah berjalan menuju kearahnya, Alin segera mengganti posisi duduk sesantai mungkin dan mengubah mimik wajah menjadi serius memainkan ponsel. "Lin, makan dulu. Itu udah disiapkan makanannya." Ujar Sania, berhenti disisi sebelah Alin. Barulah Alin melepas pandangan dari ponsel ke Sania. "Iya, Mbak." "Sekalian minta tolong lap piring yang buat kita makan ya." "Oke Mbak." Padahal dalam hati Alin ingin memaki, siapa Lo nyuruh-nyuruh gue!? Menikmati makan siang dirumah baru Ilham yang memang belum ada meja makannya. Alin berkali-kali menahan diri agar tidak memuntahkan nasi yang kini dirinya kunyah. Ia mati-matian menahan gejolak cemburu ini saat melihat Ilham dengan telaten memisahkan daging ikan pada duri-duri tajam agar Sania bisa langsung memakannya. "Ham, tolong ambilkan acar dong," pinta Sania yang langsung di sanggupi oleh Ilham. Memutar bola mata adalah andalan Alin mulai hari ini. Namun, bukan Alin namanya jika tidak berbuat semaunya sendiri. Ia mencoba mencari peruntungan dengan meminta tolong pada Ilham. "Mas Ilham, tolong ambilkan sambal dong." Dengan sigap Sania menyodorkan Tupperware kecil berisi sambal ulek pada Alin. Lagi, Alin mencoba mencari perhatian pada Tante Irma, "Tan, tolong ambilkan nasi lagi dong." "Aku udah kenyang, ini sisa nasinya buat Mbak." Suara horor itu tiba-tiba terdengar. Ah sialan si Citra! Terpaksa Alin memunguti sisa nasi di piring Citra untuk dirinya makan. Sungguh ini hari yang paling menyedihkan baginya. Berkali-kali diabaikan. Lagi, Ilham juga tak mau sedikit berinteraksi dengannya. Pria itu justru menempel terus-menerus pada Sania. Jiwa ini ingin sekali menyerah, namun hati selalu menolak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN