Ini malam yang paling membosankan untuk Alin. Jika biasanya setelah makan malam ia akan langsung masuk ke kamar untuk mengistirahatkan tubuh atau sekedar menonton televisi di kamar, untuk malam ini berbeda. Arsan memintanya duduk sebentar di ruang tengah. Katanya ada beberapa hal yang mau di bicarakan. Alin yang tahu arah bicaranya akan kemana tentu dengan terpaksa ia harus menurut.
Dan disinilah Alin berada. Duduk saling berhadapan dengan sang Ayah. Tidak ada televisi yang menyala. Ini tempat santai untuk keluarga, tapi Alin tidak merasakan santai saat duduk disini. Tentu saja ia tak bisa santai. Malam ini ia akan mendapat amarah besar dari sang Ayah yang kini sudah menatapnya tajam siap melemparnya ke sungai sss.
Beberapa menit keduanya diam saja. Alin sejak tadi menunduk tidak berani menatap sekeliling. Sedang Arsan tak sedikitpun mengindahkan penglihatannya. Rasanya Arsan ingin segera menumpahkan segala kekesalannya pada Alin yang selalu membuat masalah besar tapi tidak mau mengatasi sendiri. Tapi entah kenapa mulutnya seolah kelu tidak bisa berkata-kata. Melihat wajah memelas Alin seperti ini membuatnya urung untuk memarahi. Aaahh... Dirinya memang tidak bisa setega orang lain!
Menghilangkan rasa marahnya, Arsan mengganti dengan memberi pernyataan yang membuat Alin mengerutkan kening.
"Tadi sore Ayah bicara dengan Rivaldo soal masalah kamu. Dia maafin kamu dan bilang nggak akan mecat kamu, Mbak. Jadi sekarang terserah kamu, mau tetap kerja disana atau resign, Ayah nggak mau peduli lagi. Untuk soal ini Ayah akan lepas tangan." Ujar Arsan memulai pembicaraan.
Jujur dari lubuk hati Alin yang paling dalam, setelah mendengar ucapan Ayahnya barusan, ia merasa sakit hati. Ayahnya sudah tak mau mengurusinya lagi. Se-kecewa itukah? Baiklah, untuk menutupi rasa sakitnya, Alin mengerutkan kening dan menjawab. "Yaa aku maunya resign lah!" Dengan nada suara dibuat kesal.
Arsan menganggukkan kepala memberi persetujuan. "Silakan. Bicarakan baik-baik ke Rivaldo. Dia atasan kamu, jangan memandang Rivaldo adalah teman Ayah."
Bola mata Alin berputar jengah. "Mau teman kek, sodara kek, gue juga nggak peduli." Gumamnya dan dilanjut dengan suara jelas, "Iya nanti aku bicarakan baik-baik sama dia."
***
Pagi sekitar jam 9, kantor Kembang Publisher seperti biasa terlihat ramai. Beberapa pekerja ada yang huru-hara keluar-masuk untuk membicarakan soal kontrak kerja di luar kantor dengan para penulis. Beberapa juga ada yang bertamu dari perusahaan lain yang memiliki janji dengan direktur Kembang Publisher.
Nisa keluar dari ruang kerjanya untuk membuat kopi di pantry. Matanya yang tajam penglihatan bak Burhan alias burung hantu itu tak sengaja melihat Rivaldo tengah berjalan di seberang sana. Langsung saja Nisa melipir berjalan kearah lain agar bisa berpapasan dengan Boss santuy-nya itu.
"Eeh ada Pak Valdo, pagi Pak..." Sapanya.
Posisi Rivaldo yang tengah memainkan ponsel sambil berjalan lantas menghentikan aktivitasnya untuk menjawab sapaan karyawannya. "Pagi, Nisa." Ditambah seulas senyum manis di pagi hari.
Tabiat Nisa yang memang hobi basa-basi dan pandai berbacot ria lantas tak mau pembicaraan ini cepat berlalu begitu saja. "Tumben Pak Valdo ke kantor rapi banget pake jas segala, biasanya cuma pake kaos oblong—upss..." ucapnya sok keceplosan, padahal sengaja.
Rivaldo terkekeh geli melihat ekspresi Nisa. Lantas matanya menilik penampilan sendiri. Ya.. hari ini ia terlihat tak biasa. Mengenakan celana bahan dan berjas juga berdasi. Ini karena ia berniat untuk memberi ucapan selamat datang pada Alin. Kemarin ia juga sempat memakai jas, hanya saja tak serapi pagi ini.
"Lagi pengin rapi aja. Namanya juga Bos, kan harusnya pakaiannya begini, Nis."
Nisa manggut-manggut, "Iya bener, Pak."
"Ohiya, hari ini Alin berangkat?"
"Enggak Pak, emangnya kenapa?"
Rivaldo terdiam. Gadis itu rupanya ingin sekali dipaksa olehnya. Oke, Rivaldo akan mengikuti permainan yang Alin buat. Lihat saja nanti.
"Pak?"
"Eh? Enggak, cuma tanya aja. Yaudah, saya duluan ya, mau ada tamu."
Keduanya berpisah melangkah berlawanan arah. Sambil berjalan menuju pantry, otak Nisa berpikir keras mengapa Rivaldo menanyakan Alin hari ini. Juga penampilan Rivaldo yang sangat berbeda. Ini perlu di curigai.
"Kayaknya mereka ada something deh." Gumamnya.
"Nggak sia-sia gue bikin kopi sendiri, bisa berpapasan sama Pak Bos. Hehehe." Nisa bermonolog sambil mengaduk kopi buatannya.
Selesai membuat kopi ia bergegas menuju ruangan. Tapi lagi-lagi matanya yang tak suka menatap kedepan jika berjalan itu, menemukan sosok asing di kantor ini tapi tidak asing di otaknya. Dari empat orang-orang itu, mata Nisa fokus pada pria berkemeja biru Dongker.
"Itu yang pake kemeja biru Dongker cahayanya Alin bukan sih? Eh maksudnya, Ilham!" Nisa berbicara sendiri sambil menyipitkan mata untuk memastikan. "Iya! Itu si Ilham!"
Buru-buru Nisa mengambil ponsel di saku baju dan melangkah sedikit untuk bisa lebih jelas ketika memotret Ilham. Sedikit susah untuk mengambil gambar Ilham, karena tertutup oleh tubuh wanita di sebelah Ilham, juga teman-teman Ilham yang lain. Tapi demi bisa memberi berita hot pada Alin, Nisa berusaha mengambil gambar sebaik mungkin.
Setelah mendapatkannya, ia meng-crop teman-teman Ilham yang terfoto lalu segera mengirimkannya pada Alin.
Dikamar, Alin menggerutu kesal karena mendapat notifikasi pesan dari Nisa. Posisinya yang tengah membuka situs lowongan pekerjaan jadi terganggu. Terpaksa ia harus membuka lebih dulu pesan yang mengiriminya gambar tersebut.
Dahi Alin terlipat melihat foto yang Nisa kirim. Bukankah itu Ilham? Kenapa Nisa mengiriminya foto Ilham?
Melupakan aktivitasnya yang tengah mencari pekerjaan untuk masa depan yang indah, Alin segera menghubungi Nisa.
Panggilan pertama langsung tersambung.
"Itu Mas Ilham kan?" Tanyanya langsung.
"Iya, dia lagi di kantor kita! Sama rombongan."
"Ngapain?"
"Ya nggak tau lah! Emangnya aku cenayang! Ini aku lagi ngikutin mereka dari belakang."
"Hah? Serius? Yaudah, aku kesana sekara—."
"Kamu pikir ini jam berapa? Ini kantor Lin, bukan taman hiburan yang bisa kamu datangi kapan aja."
"Aku masih karyawan disana kok. Id card juga masih di aku."
"Udah nggak usah kesini, cukup tau Ilham ada disini aja. Biar aku yang mantau. Daripada kamu ketahuan Pak Bos besar lagi disini, bisa berabe."
"Pokoknya aku kesana sekarang, titik! Mbak tetap pantau mereka, oke?"
"Terserah deh. Tapi kalo sekarang kamu masih pake piyama mending nggak usah kesini, please."
"Nggak kok, aku udah mandi, udah cantik."
"Oke, aku tunggu di koridor yang arah ruang meeting."
Panggilan terputus. Bersyukur karena pagi ini Alin sudah mandi dan rapi, tanpa menunggu waktu lama lagi ia meraih kunci motor dan bergegas ke kantor.
Sedang rombongan Ilham kini memasuki meeting room, menunggu kedatangan sang pemilik kantor untuk membicarakan kerja sama mereka.
Rivaldo berjalan ringan menyusuri jalanan koridor menuju meeting room. Lagi-lagi dirinya menemukan Nisa. Karyawannya itu tengah memainkan ponsel dan beberapa kali juga melirik tak sabaran pada ruang meeting yang memang di depannya berdinding kaca.
"Nisa, kamu ngapain disini?"
Nisa mendongak. Hampir saja ia melepaskan cup kopi di tangan kiri jika tak segera tersadar. "E-eeumm.. anu Pak, lagi.. lagi nyari OG buat fotokopi dokumen dibawah, Pak." Dustanya.
Rivaldo percaya-percaya saja. "Ooh oke, saya masuk dulu, ya." Pamitnya dan segera menuju ruang meeting.
Napas Nisa menghembus lega. Tak lama ia mendapat panggilan telepon dari Alin.
"Halo? Kamu dimana? Udah sampe belum, sih?"
"Ini udah sampe, tapi di cegat sama resepsionis..." Balas Alin.
"Siapa resepsionisnya?"
"Si Desi!"
Nisa memutar bola mata jengah. "Kasih hape kamu ke Desi, biar aku yang bicara sama dia." Setelahnya Nisa mendengar suara Desi dari seberang sana. "Des, Alin ada urusan sama saya. Tolong kasih izin dia buat masuk. Dia hari ini emang nggak ngantor, jadi kasih izin aja."
"Oke, Mbak."
Lalu panggilan di putus sengaja oleh Nisa.
Dua menit berlalu, kini Alin akhirnya menemukan Nisa. "Mas Ilham dimana?" Bisik Alin.
Kepala Nisa memberi kode pada Alin untuk melihat suasana ruang meeting.
Disana terlihat ada sosok Ilham tengah duduk bersama rekan kerjanya, disana juga ada Niki—rekan kerja Ilham yang sempat membawa pulang Ilham saat pria itu tiba-tiba sakit. Mereka memperhatikan secara seksama apa yang dibicarakan oleh Rivaldo. Rivaldo? Bola mata Alin sontak melipir menatap Rivaldo.
"Itu beneran Pak Rivaldo? Dia pake jas rapi banget begitu?" Tanyanya entah pada siapa.
Nisa menyahut, "Iya, dia kayak beda gitu hari ini."
"Kemarin sore waktu ke rumahku juga dia pake jas, sih."
Mata Nisa melotot. "Pak Valdo ke rumah kamu? Ngapain?"
Sialan! Alin salah bicara. "E-euh, udah-udah nggak usah bahas dia. Aku kesini cuman mau fokus ke Mas Ilham!"
"Tapi ngapain Pak bos ke rumah kamu...."
"Udah sih Mbak, nanti aja ngomongin dianya. Oiya, ini kita cuma bisa mantau disini aja, Mbak?"
"Mau gimana lagi? Pintunya pake kaca, bisa-bisa kita ketawan."
"Padahal pengin denger mereka ngomongin apa."
"Kalo mau, nyamar jadi OG gih."
"Ogah! Udah cantik cetar begini suruh nyamar jadi OG. Sayang lipstiknya, udah tiga lapis nih."
"Yaudah, kita di dinding ruangannya aja. Terus liatnya lewat kaca, lumayan tuh ada tong sampah buat pegangan sama nutupin kepala kita."
Alin menjentikkan jarinya. "Ide bagus!" Lantas segera melangkah lirih ke dinding ruang meeting.
Kini Alin sudah berjongkok di depan tong sampah. Matanya menyorot fokus pada Ilham seorang. Lihatlah, pria itu kini tengah menjelaskan sesuatu pada Rivaldo. Alin tersenyum kegirangan melihat hal itu. "Mbak-mbak, kira-kira mereka bicarain apa ya?"
"Kerjaan lah!"
"Yaaa maksudnya kerjaan apa, gitu."
"Nantilah aku tanya ke Mas Hardi."
"Oke sip." Selanjutnya Alin hanya menikmati pemandangan wajah Ilham disana.
Sedang Nisa yang bertugas memata-matai, barangkali ada orang penting lewat di kantor ini lalu melihat Alin dan dirinya sedang mengintip acara meeting.
"Anjir! Mereka udah pada salaman!" Ujar Alin segera berdiri membenahi letak tong sampah. Lalu dirinya bersembunyi menyudut pada dinding agar tidak ada yang melihat.
Orang pertama yang keluar dari ruangan adalah Ilham, lalu disusul oleh tiga rekan lainnya.
Mulut Alin hendak meneriaki nama Ilham namun segera di cegah oleh Nisa. "Nggak usah teriak-teriak."
"Aku cuma mau nyapa, Mbak. Aku kan masih jadi karyawan disini." Jawabnya.
"Karyawan yang berangkatnya angot-angotan! Paling bentar lagi kamu di depak dari kantor." Sindir Nisa.
"Mana ada aku di depak! Aku mau resign sendiri, ya. Ini kemauanku! Jadi bukan di depak apalagi dipecat!" Sungut Alin.
Rivaldo keluar dari ruang meeting. Dirinya tak sengaja mendengar suara Alin. Saat mengintip dinding sebelah, dirinya mendapati Alin tengah bersama Nisa.
Suara Alin kembali terdengar, Rivaldo mendekatkan tubuhnya agar bisa mendengar apa yang keduanya bicarakan.
"Tapi kayaknya aku resign-nya di tunda deh." Ucap Alin.
"Kenapa? Nggak tega ninggalin aku, ya?"
"Iyeuh... Gede Rasa! Aku pikir-pikir, kayaknya Mas Ilham bakalan sering kesini deh, Mbak. Jadi gini, tadi yang aku lihat mereka meeting tuh kayak mau ada projek baru gitu."
"Sok tau! Terus kalo Ilham sering kesini emang kamu mau ngapain?"
"Yaa.. bisalah ngasih tau temen-temen kantor kalo Mas Ilham tuh tetanggaku, cinta pertamaku. Sekalian ngenalin ke Pak Rivaldo, gitu."
Rivaldo menganggukkan kepala mendengar suara Alin. Jadi benar dugaannya, pria berkemeja biru Dongker bernama Ilham itu ternyata pria yang sering Alin bicarakan. Ia memang sempat menduga begitu, karena dulu pernah melihat wajah Ilham di ponsel Alin. Ternyata lebih oke yang aslinya. Baiklah. Sekarang saingannya sudah didepan mata, saatnya bertarung.
Setelah tau semua informasi itu, dengan sengaja Rivaldo berjalan melewati Alin dan Nisa, pura-pura tidak melihat keduanya. Ah, sialan! Kini dirinya harus naik ke lantai atas menggunakan tangga darurat.
***
"Eh Sa, Pak Rivaldo ganteng banget nggak sih? Sumpah, auranya tuh tumpah-tumpah banget. Seksinya dapet, wibawanya dapet, tajirnya juga dapet!" Ujar Niki pada Esa yang kini tengah mengendarai mobil dinas untuk kembali menuju kantor sendiri.
Yang bernama Esa menyahut, "Lo naksir dia, Nik?"
Niki memutar bola mata. "Menurut lo? Ya-iyalah!"
"Nggak usah naksir dia deh, Nik."
"Kok Lo ngatur-ngatur sih!?"
"Saran aja sih. Nih ya, dia tuh satu tempat club sama gue. Cuma gue nggak pernah nyapa, cuma mantau dia dari jauh aja. Lo mau tau nggak dia kalo di club ngapain aja?"
"Minum-minuman?"
Kepala Esa menggeleng, "Nggak cuma sebatas minum, Nik. Dia main cewek. Semua p*****r dia embat. Nggak cuma satu, dalam satu waktu harus ada dua atau tiga cewek yang gerayangin dia." Jelas Esa.
"Masa sih? Tapi tampangnya nggak menunjukkan kalo dia kayak gitu."
"Iya, yang Lo tau kan cuma dia campuran bule terus tajir aja kan? Sekarang Lo udah tau dia gimana jadi nggak usah naksir-naksir sama dia. Cukup profesional kerja aja. Nggak bakal langgeng juga kalo komitmen sama cowok kayak dia."
"Hmmm.. kecewa gue. Padahal dia sopan banget kelihatannya."
Ilham yang duduk di belakang bersama satu teman lainnya hanya terdiam mendengar penuturan Esa untuk Niki.
Tapi, diamnya Ilham tentu memikirkan banyak hal di benaknya. Setelah mendengar cerita Esa tentang Rivaldo, Ilham yakin pria bernama lengkap Rivaldo Hendriksen itu yang mencuri ciuman pertama Alin.
Ilham ingat sekali, Alin pernah menceritakan bahwa gadis itu dicium secara tiba-tiba oleh Bos-nya. Dan Ilham yakin sekali bahwa yang dimaksud Bos oleh Alin adalah Rivaldo. Ilham menerawang kembali sosok Rivaldo saat ditemuinya di ruang meeting. Benaknya bertanya-tanya motif apakah yang membuat Rivaldo mencium Alin.
Jika berniat untuk menjadikan Alin sebagai salah satu mainannya, sepertinya Ilham harus ikut terjun mencampuri urusan Rivaldo yang satu ini.