Sepuluh

2175 Kata
Terik matahari tak membuat senyum Alin pudar. Padahal sekarang ini ia mengenakan kendaraan bermotor dan jalan raya pun tengah dilanda kemacetan. Namun dengan hati gembira dan senyum secerah mentari ia berusaha sabar mengendarai motor ditengah kemacetan. Semua itu tak luput karena ia baru saja selesai interview dan HRD Kembang Publisher mengatakan bahwa lusa ia sudah diperbolehkan untuk mulai berangkat. Kelihatannya mudah kan? Interview satu kali dan lusa sudah bisa mulai bekerja. Itu karena Alin memiliki banyak pengalaman tentang dunia sastra. Selain aktif di blog ia juga memiliki dua karya tulis yang sengaja di rahasiakan identitas penulisnya. Dan tentu saja Alin langsung di terima karena ia lulusan dari jurusan sastra bahasa Indonesia. Akhirnya.. ia memiliki pekerjaan yang seimbang dengan jurusannya. Menjadi seorang editor penerbit buku adalah pangkat Alin nanti lusa. Aaahh.. akhirnya ia bisa lepas juga dari profesi penganggurannya yang membosankan itu. Bosan karena harus menjemput Citra pulang sekolah dan bosan karena seringkali bertatap muka dengan adik bungsunya itu. Sungguh, wajah bulat adiknya itu sangat mengganggu mata. Apalagi suaranya, bikin telinga perih saja. Tiba dirumah, Alin memasuki rumah sambil mulutnya sesekali bersenandung riang. Ia menghampiri ibunya yang tengah menata barang belanjaan kedalam kulkas. "Maa," panggilnya manja. "Eh? Udah pulang Mbak? Gimana interviewnya?" Respon Nawang tanpa repot-repot menoleh ke lawan bicara. Alin duduk di kursi meja makan, mencomot buah anggur dimeja dan memakannya tanpa cuci lebih dulu. "Lancar. Lusa aku udah bisa mulai kerja." "Syukurlah, Mama lega kalo gitu. Terus berangkatnya kamu niatnya nanti mau pake apa?" "Motor ajalah, Ma. Nggak sanggup aku kalo harus pake mobil. Maceeet banget. Tadi pagi aja aku berangkat pagi banget sampai sana jam setengah delapan. Untung nggak terlambat." Adunya sambil bersungut-sungut sendiri. Setiap pagi memang jalanan selalu selalu ramai dipenuhi oleh para pekerja yang akan berangkat mencari pundi-pundi rupiah. Belum lagi anak-anak sekolah yang kalau naik kendaraan suka seenaknya sendiri. Tadi pagi hampir saja Alin menabrak pengendaranya motor didepannya karena pengendara motor dibelakang melewatinya begitu saja, padahal keadaan sedang padat-padatnya. "Nanti Mama tanya Ayah kamu dulu, enaknya gimana. Siapa tau kamu nanti dianter Ayah sekalian." "Lawan arah keleussss.." "Jangankan yang lawan arah. Yang balik arah aja Ayah kamu anterin. Ingat waktu Aiden masih kelas sepuluh? Kan Ayah yang nganter setiap hari. Padahal balik arah." "Pokoknya aku mau naik motor sendiri aja! Ogah banget dianter kayak anak Sultan aja. Mending juga kalo dianterin sama Mas Ilham, aku mau banget." "Dianterin Ilham?" "E-eh, maksudnya, iya. Kalo dianterin Mas Ilham ya aku nggak akan nolak lah. Kita bisa ngobrol masalah kerja, gimana cara kerja yang baik gitu. Kalo sama Ayah kan pasti diem-diem bae! Sekali ngomong paling cuma nyuruh pake seatbelt." "Ooh, kirain kamu naksir sama Ilham. Jangan naksir sama Ilham Mbak, dia udah ada gebetan kayaknya." "Kata siapa?" Nawang beranjak dari jongkoknya dan beralih duduk disebelah Alin sambil bersiap memotong sayur untuk menu makan siang. "Bundanya Ilham. Tadi kita ke pasar bareng terus Jeng Irma bilang kalo kemarin sore Ilham pulang bawa cewek. Eeeh.. ternyata cewek yang dibawa Ilham anaknya Pak Sunyoto. Si Sania." Rasanya Alin ingin sekali menutup kedua kupingnya dengan headset atau kapas agar suara mamanya yang bicara masalah gebetan Ilham tidak bisa ia dengar. Jujur, ia malas mendengar berita itu. Iya, ia sudah tau. Alin tau betul cewek yang dibawa Ilham kemarin malam. Bahkan dirinya juga sempat saling menyapa. Dan lagi. Alin peringatkan. Ia tidak peduli pada cewek yang sedang dekat dengan Ilham. Karena ia akan tetap mengejar dan mencari cara agar Cahayanya bisa menjadi pendamping hidup di masa depan. Sekalipun ia harus bersaing dengan mantan finalis Puteri Indonesia atau anak presiden. Aaah.. untungnya presiden Indonesia yang memimpin saat ini sudah tidak memiliki anak gadis lagi. Tapi tetap, ia harus antisipasi kalau-kalau ada wanita kaya, cantik dan punya segalanya tiba-tiba datang ke kehidupan Ilham. "Iyaa..tau kok Mas Ilham lagi dekat sama Mbak Nia." "Nah, itu kamu tau. Kalo Mama saranin ya, kamu jangan pacar-pacaran dulu Mbak. Fokus ke karir dulu, cari duit yang banyak buat masa depan. Karena nikah itu mahal!" "Lhoh, bukannya Mama sama Ayah yang harus bayarin nikahan aku, ya?" "Yaaa seenggaknya kamu bantu-bantu lah Mbak. Mama sama Ayah bayar gedung, kamu cateringnya gitu." Dahi Alin mengernyit dalam. Kenapa malah bahas nikah? Ia melirik Mamanya sebal. "Tadi bilangnya nggak boleh pacar-pacaran dulu, sekarang kenapa jadi bahas nikah?" "Kan Mama cuma kasih tau, biaya nikah itu mahal jadi Mbak kerja harus benar-benar, terus uangnya kumpulin untuk masa depan." "Iyaa... Iya..." Nawang geleng-geleng kepala melihat ekspresi wajah Alin. Tangannya lantas sengaja menggeser pisau dan wadah berisi kentang didekat Alin. "Lanjutin kupas kentangnya, Mama mau nyuci beras sebentar." *** Berkali-kali Citra mengetuk pintu kamar kakak sulungnya namun tak kunjung ada sahutan dari dalam. Ia bahkan sudah berteriak sekeras mungkin tapi tetap saja Alin tidak merasa kasihan pada adiknya yang kini suaranya sudah mulai serak karena terlalu semangat meneriaki nama Alin. Sekali lagi Citra menendang daun pintu kamar Alin. Kalau bukan Ayahnya yang menyuruh untuk mengundang Alin, ia ogah sekali harus merelakan suara emasnya terbuang sia-sia. "Mbaaaaaak disuruh makan..!" "MBAK DISURUH MAKAN...!" oke, ini teriakan terakhir. Bodo amatlah! Citra pasrah saja meninggalkan kamar kakaknya dan kembali ke dapur. Lebih baik ia mendapat amarah dari sang Ayah daripada harus menunggu Mbak Alinnya keluar kamar yang entah kapan keluarnya. Perut sudah keroncongan, itu artinya ia harus menelan makanan. Didalam kamar, Alin tidak peduli dengan panggilan sang adik. Juga tidak peduli pada perutnya yang belum juga diisi oleh asupan makanan sejak pulang interview. Yang Alin pedulikan saat ini hanyalah sebuah foto kiriman dari Fahmi. Foto tersebut memperlihatkan sosok Ilham yang tengah menikmati lunch bersama Sania di restoran Ayahnya. Sialan memang! Bukan. Bukan Ilham atau Sania yang sialan. Melainkan Fahmi. Seharusnya chef yang sudah ia anggap seperti Abangnya sendiri itu memberitahu segera bahwa Ilham dan Sania sedang makan siang di restoran. Bukan malah memamerkan foto mesra keduanya saat makan siang itu sudah terjadi. Sekarang apa, semua sudah terjadi dan ia tidak bisa menghalangi keromantisan Ilham dan Sania. Sial sial sial! Alin melempar ponsel ke ranjang dan menutup wajahnya dengan bantal guling. Cemburu sudah pasti saat ini ia rasakan. Kesal dan juga ingin mencekik Fahmi. Fahmi pasti sengaja mengirim foto itu agar Alin panas bara melihat pujaannya berdekatan dengan wanita lain. Baiklah. Alin akan membalas dendam perbuatan chef tampan kepercayaan ayahnya itu nanti. Nanti jika Fahmi sudah mempunyai kekasih atau sekedar teman wanita yang dekat dengan lelaki itu. Bangkit dari tempat tidur, kini langkahnya mendekati jendela kamar dan berdiri disana menatap gelisah pada jendela kamar Ilham yang berada dilantai dua. Ia ingin melihat Ilham. Sudah seharian ini Alin tidak menatap cahayanya. Menghela nafas panjang untuk sekedar menenangkan hati dan pikiran, Alin akhirnya menutup tirai jendela. Berlarut-larut dalam kesedihan karena Ilham lunch bersama wanita lain itu bukan tipe Alin sekali. Lebih baik ia tidur agar aktivitas esok harinya bisa lancar. Tiba dihari pertama Alin mulai bekerja di Kembang Publisher. Ia memutuskan untuk tetap keukuk naik motor walau awalnya Arsan tidak mengizinkan. Tapi setelah tau alasan Alin memilih naik motor, Arsan akhirnya memperbolehkan. Sudah rapi mengenakan pakaian kantoran, Alin siap untuk berangkat. Tak lupa Nawang memberinya Tupperware berisi makan siang. Setelah menyalami semua anggota keluarganya Alin bergegas pergi. Tapi baru saja keluar dari halaman rumah, motornya berhenti. Bukan karena mogok, ia hanya berhenti sejenak karena melihat Tante Irma tengah menyapu halaman depan rumah. "Tante.." serunya setelah turun dari motor dan menghampiri Tante Irma. Wanita yang kini sibuk menyapu itupun menghentikan aktivitasnya. "Lhoh? Mau kemana Lin?" "Kerja, hehehe..." Tante Irma terlihat melirik kendaraan yang dipakai Alin. "Naik motor sendirian?" "Iyaa Tan." "Jauh nggak tempatnya?" "Lumayan. Kantorku dekat sama kantornya Mas Ilham." "Oalah.. kalo gitu mendingan kamu nebeng Ilham aja Lin! Tante ngeri kalo kamu naik motor sendirian gitu. Kamu nggak takut?" "Nggak, Tante tenang aja.. aku bisa kok. Yaudah Tan, aku berangkat dulu ya. Takut macet." "Oh, iya-iya. Hati-hati Lin." "Iya Tante, Assalamualaikum." "Walikumsalam." Alin kembali melajukan motornya setelah berpamitan kepada calon mertua idaman alias Tante Irma. Namun lagi-lagi motornya harus berhenti sebelum melewati gerbang komplek perumahan yang akan membawanya ke jalanan raya. Ia menatap intens pada mobil didepan. Seperti tidak asing lagi dengan nomor plat mobil itu. Itu pasti milik Ilham. Ngapain mobil Ilham berhenti di... Stop! Netra Alin beralih menatap rumah megah milik Pak Sunyoto. Alin mulai berpikir keras. Pak Sunyoto memiliki anak perempuan yang bernama Sania. Dan Sania akhir-akhir ini sedang dekat dengan Ilham. Itu artinya—, sebelum melanjutkan lebih dalam lagi tentang pemikirannya, Alin buru-buru menancap gas dan bergegas pergi karena seseorang yang tengah ia intai dari luar kini muncul bersamaan dari rumah megah itu. Perjalanan Alin menuju tempat kerja menjadi tak fokus karena terus memikirkan kedekatan Ilham dan Sania yang semakin kesini jadi semakin dekat dan lengket saja. Apa mereka benar-benar berniat untuk melakukan komitmen? Traffic light menyalakan sarana merahnya, Alin menghentikan laju motor dan melirik spion untuk melihat keadaan kendaraan dibelakang. Disana, ia melihat mobil Ilham. Aaahh sungguh itu pemandangan yang sangat mengganggunya. Rasa kesal karena melihat kenyataan bahwa Ilham membawa Sania makan siang di restorannya belum sembuh, sekarang ia harus menahan gejolak kemarahannya karena melihat Ilham berangkat kerja bareng bersama Sania. Oke, ini artinya Alin harus semakin ekstra kuat dan giat lagi untuk mendekati Ilham. Tidak ada yang tidak mungkin terjadi di dunia ini. Setibanya di kantor baru, Alin diajak masuk ke ruangannya. Kantor ini masih memakai ruangan kerja kubikel. Disana ia diberi arahan cara kerja di kantor ini. Alin di tuntut untuk mencari para penulis-penulis yang berkecimpung di dunia Wetped—aplikasi untuk para penulis mengekspresikan tulisannya. Ia harus mencari karya yang layak untuk di terbitkan di penerbit ini. Karena Alin masuk ke divisi genre Romance, jadi ia harus mencari karya-karya romance di Wetped. Aaah sial! Bukannya mencari karya untuk di terbitkan, ia malah akan membaca keseluruhan cerita romance itu sambil membayangkan bahwa tokoh romance disana adalah dirinya dan Ilham. Sebenarnya itu bukan cara kerja yang sebenarnya. Penerbit ini meminta Alin mencari karya terbaik di Wetped hanya semata-mata ingin tau prospek kerja Alin. Jika nanti Alin benar-benar memenuhi kualifikasi di penerbit ini, Alin akan mendapat projek sendiri. Ia nantinya akan menangani karya penulis-penulis terkenal. "Jadi gimana Alin, apa kamu sudah paham?" Hardi selaku kepala divisi bertanya setelah selesai memberitahu pada Alin cara kerja disini. Alin menatap yakin pada pria yang berdiri di sebelahnya ini. "Paham Mas," Tidak ada panggilan 'Pak' di kantor ini. Hanya ada Mas dan Mbak. Santai sekali, bukan? Jangankan panggilan yang santai, pakaian kerja mereka saja teramat santai. Lihat wanita yang duduk di kubikel sebelah kanan Alin, dia hanya mengenakan celana bahan dan kemeja lengan panjang bermotif bunga-bunga saja. Bukan rok span seperti dirinya. Apalagi karyawan pria yang duduk di kubikel sebelah kiri Alin, dia hanya mengenakan celana bahan yang dipadukan dengan t-shirt polos. Sungguh, ini kantor idamannya sekali. "Oke kalo gitu selamat bekerja. Kalo ada yang kamu bingungkan, tanya saja sama dua orang yang disebelahmu atau anak-anak divisi ini. Mereka akan membantu kamu. Saya ke ruangan dulu." "Iya Pak, terimakasih." Selanjutnya Alin mulai fokus bekerja setelah ia menyapa dua pekerja yang ada di sebelahnya ini. Yang ternyata bernama Nisa dan Husni. Keduanya sudah bekerja lebih dari empat tahun disini. "Kerja disini enak nggak Mbak?" Tanya Alin pada Nisa disela-sela kesibukannya mencari karya romance. Bisa melirik sekilas pada Alin dan menjawab, "Lumayan Lin. Disini tuh nggak pelit ngasih bonus. Misal nih ya, penulis yang kamu tangani karyanya itu penjualan bukunya laris manis sampai cetakan ke dua puluh lima misal ya, tuh kita juga dapat bonusnya." "Waaah enak ya," "Orang-orangnya juga enak disini. Apalagi Mas Hardi, dia tuh sering banget ngasih makanan ke kita-kita kalo lagi lembur sampai malam." "Kamu jangan cuma ngasih tau enaknya aja Nis. Jadi gini Lin, kerja disini tuh ada enak dan nggak enaknya." Husni menimpali. "Maksudnya gimana Mas?" Tanya Alin yang kini justru fokus pada pembicaraan dan mengabaikan tampilan layar monitor. "Enaknya disini tuh emang sering dikasih bonus, tapi nggak enaknya kalo udah deadline. Disini harus tepat waktu gimanapun caranya." Kini ketiganya malah asyik mengobrol sampai-sampai rekan yang ada didepan kubikel menginterupsi bahwa obrolan mereka terlalu keras dan mengganggu para rekan lain. Alhasil, karena masih ada yang ingin Alin tanyakan, ia akhirnya memilih berbisik pada Nisa untuk menanyakan satu hal. "Mbak, kenapa karyawan disini rata-rata pakaiannya santai-santai banget ya?" "Gimana nggak santai, pemiliknya aja kalo kesini pake celana selutut sama kaos polos." Balas Nisa dengan suara bisikan yang tetap saja terdengar lantang. "Hah? Maksud Mbak, Pak Rivaldo Hendriksen?" "Iya, beliau kalo kesini nggak pernah sekalipun pake jas, Lin!" "Serius Mbak?" "Iyaa.. kamu pasti nggak percaya. Nanti deh kamu lihat sendiri kalo dia kesini. Senin depan kayaknya dia mau kesini." "Emang jarang kesini ya Mbak?" "Jarang Lin, maklumlah ini kan cuma usaha kecil-kecilannya. Penerbit gede begini aja dibilang usaha kecil-kecilan sama dia, gimana yang gedenya ya." "Kaya banget ya dia Mbak." "Bukan kaya lagi, konglomerat dia. Tapi sayang sering ditinggal pacarnya yang rata-rata matre." "Lhoh, kirain udah punya istri dan anak.." "Masih jomblo. Pacarnya kelas kakap semua tapi sering di mainin gitu aja sama pacarnya. Ibaratnya nih, Pak Valdo diporotin doang Lin." Kepala Alin mengangguk paham. Ternyata masih ada yang lebih mengenaskan dari kisah cintanya. Rivaldo Hendriksen, walau tak pernah melihat sosoknya, Alin tau betul seberapa sakitnya hati pria itu saat berkali-kali dihianati oleh cinta.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN