Dua Puluh Sembilan

1159 Kata
"Ham, ayo pulang." Ajak Esa sambil menepuk rekan satu timnya itu. Yang diajak justru masih saja sibuk dengan laptop, masih mengutak-atik pekerjaan, padahal jam kerja sudah berakhir lima menit lalu. "Lo pulang aja, gue mau beresin ini dulu." Jawabnya tanpa menatap si lawan bicara. Paham Ilham adalah sosok workaholic maniak, Esa lantas menuruti perintah Ilham. Biarlah Ilham dengan dunianya sendiri. Temannya itu pasti tidak akan pulang sebelum pekerjaannya selesai. Setelah Esa sudah benar-benar tidak terlihat lagi di ruangan yang sepi ini, Ilham lantas menyimpan data pekerjaannya dan mulai membereskan peralatan kerja. Ia sengaja mengulur waktu agar tidak seperti menunggu seseorang. Dan Alin adalah alasan mengapa dirinya harus bersikap seperti ini. Ya, ia menunggu Alin. Tentu. Wanita itu berangkat bersamanya pagi tadi, jadi pulang pun juga harus sama-sama, bukan? "Hah! Mana sih dia? Masa gue harus nyamperin ke ruangannya?" Kesalnya dengan posisi masih duduk di kursi kubikel. "Apa gue telpon aja ya?" Tanyanya pada diri sendiri. Akhirnya ia memilih untuk menghubungi Alin. Ya, lebih baik telpon saja dulu, daripada menghampiri ke ruangan wanita itu yang pasti akan berdampak tidak baik pada kebucinan Alin. Dua kali Ilham mencoba menghubungi nomor Alin, namun selalu tidak ada jawaban. Bahkan sampai lima kali pun masih belum diangkat oleh si pemilik nomor. Andai Jika Alin ia tinggal begitu saja tidak akan berdampak menjadi masalah, pasti sudah ia tinggal wanita itu. Sayangnya, ia malas jika harus berdebat dengan sang Bunda karena telah meninggalkan anak tetangga kesayangannya itu. Terpaksa. Bahkan dengan sangat terpaksa ia mengayunkan kakinya menuju ruang kerja Alin. "Permisi..." Sapanya setelah masuk ke ruang divisi tempat Alin bekerja. Disana masih ada empat karyawan yang belum juga beranjak dari duduknya padahal jam kerja sudah lama berakhir. Semua pasang mata menoleh ke sumber suara kecuali Nisa. "Cari siapa ya, Mas?" "Alin." Ucap Ilham langsung sambil melangkah menghampiri kubikel Nisa agar bisa lebih jelas. Mendengar nama sahabatnya disebut lantas Nisa ikut menoleh. Rupanya Ilham. "Eohh? Ilham? Kamu cari Alin?" Tanyanya tak percaya yang hanya dibalas dengan anggukan kecil dari Ilham. "Tadi jam satuan dia ada tugas untuk disuruh ke rumah Pak Rivaldo. Terus sampai sekarang belum kembali. Kayaknya sih sekalian pulang." Jelas Nisa. Tugas kerumah Pak Rivaldo? Untuk apa? Ilham menautkan kedua alisnya. Ia merasa janggal dengan penjelasan Nisa. "Bisa tolong telponin dia?" Pintanya. Nisa mengangguk. "Boleh. Tapi dia kayaknya tadi pagi nggak bawa hape." Katanya sembari mencoba menghubungi nomor Alin, "kalau ini diangkat berarti Alin udah pulang." Lanjutnya. Panggilan pertama gagal. Nisa mencoba untuk kedua kalinya. Namun tetap tidak diangkat. "Kayaknya dia belum pulang deh, Ham." Sekalinya ngerepotin tetap akan selalu ngerepotin. Ilham menghembuskan napas kesal. Setelah berterimakasih pada Nisa ia bergegas pulang. Ia tinggalkan saja Alin yang keberadaannya entah dimana. Dirumah Rivaldo, Alin tengah dibuat khawatir karena suhu tubuh Rivaldo yang tiba-tiba saja demam. Padahal sore tadi tubuh pria itu bereaksi biasa saja. Menjelang malam, entah kenapa menjadi demam tanpa sebab. "Kita ke rumah sakit aja ya Pak?" Ajaknya untuk kesekian kali. Dan jawaban Rivaldo tetap sama. Menggelengkan kepala. Sudah berkali-kali Alin mengompres dahi Rivaldo tapi sepertinya tindakan itu sia-sia. "Yaudah, saya buatkan bubur dulu ya. Terus nanti minum Paracetamol." Pamitnya. Rivaldo kembali mengangguk. Ia pandangi setiap langkah Alin dan mengulas senyum kala wanita itu lenyap keluar dari kamarnya. Ia pikir Alin akan merengek meminta untuk pulang, tapi wanita itu justru menemaninya dan duduk disisi ranjangnya hingga petang ini. Alin kembali membawa nampan. "Saya suapi deh, biar cepet." Katanya mulai mengaduk bubur dan menyendokkan makanan itu. "Pak, bangun dong... Jangan tiduran terus. Ayo makan, biar nggak lemas." Perintahnya. Rivaldo membuka mata. Sesuai perintah Alin, ia mengubah posisinya menjadi duduk. "Buka mulutnya, Pak." "Anak pintar..." Puji Alin ketika mangkuk di tangannya sudah tidak tersisa sedikit bubur pun. "Kamu nggak pulang?" Tanya Rivaldo. Tidak tega juga jika harus mengurung Alin sampai larut malam seperti ini. Posisi Alin yang tengah membereskan mangkuk dan gelas untuk dibawa kembali ke dapur sontak berhenti. Ia melirik Rivaldo dengan raut muka seolah bilang 'beneran boleh pulang?'. "Memangnya Bapak sudah agak baikan?" Rivaldo menggeleng. Tubuhnya masih tidak enak, apalagi demam yang masih menjalar ini. "Kamu pulang aja, sopir saya yang akan mengantar kamu. Besok jangan lupa kesini lagi." Katanya. Sembari mengangkat nampan, Alin meraih tas selempang yang diletakkannya di sisi ranjang Rivaldo. "Oke, kalo gitu saya permisi." Merelakan kepergian Alin dari kamarnya, Rivaldo mengangguk lirih dan mengulas senyum kala mengingat betapa baiknya Alin hari ini. Disela perjalanan menuju pintu keluar, beruntungnya Alin menemukan Cecep sedang sibuk menonton siaran televisi. Sebenarnya Alin agak sedikit bingung dengan jabatan Cecep disini. Pria itu bilang dirumah ini sebagai pembantu tapi Alin seringkali melihat Cecep berlaku seenaknya sendiri seperti rumah sendiri. Tadi siang saat ia ke dapur untuk membuat bubur, dilihatnya Cecep tengah mengambil beberapa buah di lemari pendingin. Saat ditanya buah itu untuk apa, pria itu menjawab dengan entengnya untuk rujak sendiri. Dan sekarang, ia melihat Cecep dengan santainya menonton televisi. Bahkan tanpa ragu kedua kakinya selonjoran di sofa. Kepala Alin menggeleng dan mengabaikan posisi Cecep yang sebenarnya disini. Ia menghampiri Cecep. "Cep!" Mendengar suara asing itu sontak membuat Cecep seketika meloncat berdiri. "Eh cep, eh cep! Eh, Mbak Alin... Duh, ngagetin aja. Udah selesai ngurus Pak Bos, Mbak?" Tanyanya diawali dengan latah. Alin mengangguk. "Eeumm... Saya boleh pinjam hape nggak, Cep?" "Hape? Boleh Mbak, boleh. Ini." Alin menerima ponsel canggih Cecep dengan senang hati. "Ada aplikasi ojek online kan?" Tanyanya lagi untuk memastikan. Karena tujuan awal ia meminjam ponsel Cecep untuk memesan ojek online, agar tidak usah diantar pulang oleh supir Rivaldo. Bukan apa-apa, hanya saja ia takut kalau-kalau Mamanya melihat anak sulungnya pulang kerja malam-malam pakai mobil pribadi. Pikiran orang bisa berbeda-beda menerka apa yang dilihat matanya. Jadi, daripada terjadi kesalahpahaman lebih baik ia menggunakan ojek online. "Ada dong. Saya kan juga langganan aplikasi itu. Hehehe." "Oke. Saya pinjam ya." Cecep mengangguk sumringah. Dia menunggu Alin selesai memainkan ponselnya untuk memesan ojek online. Sembari menunggu, mulutnya yang tak bisa lama-lama diam lantas berbasa-basi. "Betewe, Pak Bos kan punya Sopir, kenapa nggak minta antar sopir aja, Mbak?" Alin mengerahkan ponsel Cecep. "Nih, makasih ya. Tadi kamu tanya apa? Kenapa nggak minta diantar sopir Pak Rivaldo aja? Eumm... Saya lagi pengin naik motor aja. Hehehe. Sekali lagi makasih ya. Saya pamit dulu. Besok kita ketemu lagi." "Oke Mbak..." "Oiya satu lagi. Jangan lupa sebelum kamu tidur, tolong cek kondisi Pak Rivaldo di kamarnya ya? Cek suhunya juga. Kalo masih panas, nggak usah panik. Kompres aja. Oke?" "Okeee Mbak Alin. Siap!" Tak lama suara klakson ojek yang Alin pesan telah tiba. Ia buru-buru keluar. Pikiran Ilham masih belum tenang sampai saat ini. Ia masih memikirkan tentang Alin yang bahkan sampai saat ini belum pulang. Kenapa Ilham tahu sekali Alin belum pulang? Tentu saja pria ini tahu, karena sejak selesai sholat Maghrib dirinya sudah memantau kepulangan Alin dari balkon kamar. Ilham menghela napas panjang untuk kesekian kali. Sekarang, haruskah ia menghubungi nomor Rivaldo hanya untuk bertanya apakah Alin ada disana dan kenapa belum pulang padahal jam kerja sudah lewat sekali. Kepala Ilham menggeleng tegas. Tidak. Ia tidak boleh sebodoh ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN