SELAMAT MEMBACA, SELAMAT BERSELANCAR DI DUNIA ALICE....
____________________________________
Aku tidak bisa berkata-kata lagi saat dihadapanku ada pria tampan yang sejak tadi tidak mau menurunkan sudut bibirnya. Hal yang bisa kulakukan hanya lah terus terpaku padanya seolah senyuman Smith adalah karya Tuhan paling indah.
Aku tidak mau menyembut Smith seperti siapapun. Dia tampan dan tidak seperti siapapun. Dia hanya seperti dirinya sendiri.
Dengan jelas, dari tempatku duduk dengan sedikit kegelisahan karena ada rasa malu menumpuk di wajahku yang entah datangnya sejak kapan padahal aku adalah tipe perempuan yang sangat percaya diri ketika bertemu lawan jenis---aku bisa melihat senyum manis yang merekah di pahatan wajahnya yang tegas.
Kenapa laki-laki dengan wajah tegas semakin menampar ketampanannya ketika tersenyum? Atau karena Smith memang seleraku? Jadi, tidak perlu mencari cela terlalu banyak untuk mematahkan presepsiku.
Meski tidak jauh berbeda dengan Benjy. Maksudku, Benjy juga sedikit tampan tapi Smith punya kadar ketampanan yang jauh di atas Benjy. Entah sejak kapan pula aku menyukai laki-laki dengan kulit sawo matang. Entah sejak kapan pula aku menyukai laki-laki dengan rambut-rambut yang menutupi sebagian rahang.
Dan alisnya ....
Sepertinya aku harus berhenti mengagumi betapa tampannya Smith karena ternyata ketika aku sadar dia juga menatapku dan aku langsung memutuskan tatapan kami. Oh! Sungguh tak bisa lepas dari aura Smith. Tapi sepertinya, semua orang di restoran ini terpaku pada ketampanan Smith juga.
"Apa kau sudah tahu namaku, Alice?" Smith membuka obrolan di waktu yang tepat.
Oh tentu saja, dari Amanda dan Aldrich yang sekarang entah kemana. Kupikir mereka akan tinggal lama, menemaniku berbincang dengan Smith. Rupanya mereka berdua pergi setelah menanyakan kabar Smith sekitar 2 menit. Singkat sekali dan aku langsung dibuat lemas, ditinggal sendirian.
"Jika belum, perkenalkan aku Smith." Dia mengulurkan tangannya, Smith tersenyum ramah. Sialnya aku malah memperhatikan otot-otot di tangannya yang seolah ingin keluar melalui kulitnya. Kutebak dia suka berolahraga, mengangat beban, kemungkinan paling mungkin.
"Kau sudah tahu namaku, jadi aku tidak perlu menyebutkan namaku, Smith," jawabku berguyon tak lupa terkekeh untuk mencairkan suasana.
Smith juga terkekeh dan melepas jabatan tangan kami. Sejak kapan pula aku suka dengan suaranya? "Benar sekali. Kalau begitu, silakan dimakan atau jika kau ingin minum." Smith mempersilakan seperti pramusaji restoran.
Aku mengangguk dan mempersilakan dia juga.
"Alice." Smith memanggil ketika aku baru saja menyendok spageti.
Aku menegakan kepala dan melihat ke manik cokelat miliknya. Aku tidak bertanya 'Kenapa'. Semoga tatapanku bisa menjelaskan bahwa aku sedang bertanya.
"Mungkin kita bisa makan sambil sesekali bertanya tentang satu sama lain?"
Aku langsung mengangguk. Anggap saja ajakan untuk berkenalan lebih lanjut. Kusetuji perkataannya dengan garpu yang kugerakan di tanganku.
Smith menelan makanannya. Lalu bertanya, "Maaf, apa kau bekerja?"
Aku mengangguk lagi, sesekali menyuapi mulutku. Kurasa tidak ada sekat lagi di antara kami. Berkenalan dengan orang seramah Smith memang menyenangkan. Tidak perlu membangun percakapan yang sulit.
"Kau kerja di mana? Kemungkinan aku bisa mengantarkanmu ke tempat kerja."
Dahiku mengernyit tapi mulutku masih penuh dan mengunyah. "Kau ingin tahu aku kerja di mana atau kau ingin tahu alamat rumahku?" terkaku, menggodnya.
Saat Smith mengatakan dia ingin mengantarku ke tempat kerja, bukankah itu sama dengan dia menanyakan alamat rumah? Iya, itu hanya pemikiran ku. Aku tidak masalah jika dianggap terlalu percaya diri.
Smith terkekeh. "Sepertinya aku ketahuan."
Aku juga tergelak. Benar dugaanku, 'kan? Permainan lelaki yang mudah ditebak.
Nyaman berbincang dengan Smith membuatku lupa kalau kita baru saja berkenalan. Kami sudah seperti orang yang sudah kenal lama.
Setelah dia bertanya mengenai pekerjaanku, aku juga bertanya serupa. Ternyata Smith juga bekerja di bidang yang lumayan sama denganku. Dia punya toko pakaian yang cukup besar di kota ini. Ah, ini semakin meyakinkanku bahwa kami memiliki kecocokan.
Banyak hal yang kami bicarakan, termasuk tentang masalalu masing-masing dari kami. Tapi tidak mau terburu-buru, aku tidak mengatakan perihal Benjy. Menurutku, itu hal memalukan untuk diceritakan ke orang lain.
Lalu, kami juga tertawa karena guyonan satu sama lain. Smith juga orang yang humoris. Leluconnya tidak seperti Aldrich, dan aku suka dibuat tertawa olehnya.
Dan tawa selesai oleh lelah rahang dan otot perut yang seakan tegang. Kami berdua terdiam terpaku saling tatap. Makanan dalam piring pun habis, bersisa minuman separuh gelas. Tak ada yang hening dan canggung daripada tatapan mata dan mata yang tak pernah bertatap sebelumnya.
Karena kami sepertinya masih normal, aku cukup mendengar degupan jantungnya di tengah keramaian. Tidak perlu terkejut juga, karena aku pun melakukan yang sama.
Dan tiba-tiba saat kami sedang mengisi suasana dengan keheningan memabukan ini, Smith semakin membungkamku dengan perkataannya dan membuat semburat yang tak mau pudar di pipiku sampai aku pulang ke apartemen semburat itupun masih ada.
"Entah sejak kapan aku menyukai tawamu, Alice. Kuharap, aku bisa melihatnya besok dan besoknya lagi."
Kalimat sederhana Smith terus berputar di benakku hingga aku tiba di apartemen.
__________________________________________
"DAISY!!" Aku memanggil nama Daisy dengan suara keras. Daisy yang baru akan menuruni tangga berhenti sebentar untuk melihatku yang ada di anak tangga paling bawah. Dia lanjut melangkah dengan terburu.
"Ada apa Alice, kau terlihat bahagia? Apa yang sudah terjadi?" Daisy terlihat penasaran, entah bagaimana juga rasa bahagiaku mengalir padanya.
Aku mengamit lengannya dan mengajaknya naik ke atas tangga. Melupakan dia yang sebenarnya ingin turun ke bawah. "Sepertinya, aku sudah mendapat pengganti Benjy," kataku dengan intonasi senang. Tanganku pun semakin erat mengamit lengannya.
Kami berhenti di depan pintu apartemenku. Kulepas tanganku dari tangannya dan aku berdiri di hadapan Daisy masih dengan senyum yang tidak pudar dari wajahku. Sepertinya aku jatuh cinta lagi untuk kesekian kaliannya.
"Apakah Smith orang yang baik?" Daisy sudah menebak lebih awal.
Apakah Smith orang yang baik?
Belum, aku belum bisa menjawab untuk itu. Tapi jika Daisy bertanya apakah Smith orang yang asik? Aku akan menjawab 'iya' dengan lantang.
"Aku belum bisa mengatakan bahwa dia baik, Daisy."
"Lalu? Apa yang membuatmu sebahagia ini, Alice?"
Setelah memasukan kunci ke lubangnya, aku masuk bersama Daisy. Dia setia mendengar ceritaku. Hingga dia duduk di sofa dan menungguku masuk ke kamar untuk berganti pakaian sebentar.
"Bagaimana menjelaskannya? Aku mendapat pria lebih baik dari Benjy!" kataku senang, lalu menjatuhkan diriku di sebelah Daisy.
Daisy tersenyum, merangkulku. "Bagus! Tapi, apa kalian sudah resmi menjadi sepasang kekasih?"
Kulihat Daisy menunggu jawabanku karena aku malah terdiam dengan senyum yang langsung luntur. Benar juga, status kami berdua belum menjadi apa-apa. Maksudku, masih ada kemungkinan Smith pergi dan meninggalkanku. Atau paling mengenaskan, Smith membuatku mencintainya dan setelah itu dia meninggalkanku.
"Hei, jika belum tidak apa-apa," ucap Daisy seakan tahu apa yang terjadi tanpa harus kujelaskan. "Masih ada hari esok. Kau bisa membangun hubungan yang lebih intens, kalian memang masih perlu waktu."
Kalimat Daisy menenangkanku, aku langsung memeluknya. Daisy selalu memberiku semangat.
"Terima kasih Daisy. Tolong doakan aku. Besok aku akan bertemu lagi dengan Smith."
"Pasti!" Daisy berseru yakin.
Aku melepas pelukan kami dan bertanya, "Tadi kau ingin kemana?"
"Saat aku sedang mengerjakan berkas dari Pak Sjhon, tiba-tiba perutku lapar. Jadi, aku berniat keluar sebentar untuk mencari makanan." Daisy menjelaskan dengan wajah tak marah sedikitpun.
Mungkin jika aku adalah Daisy aku sudah marah karena Daisy membuatku semakin kelaparan hanya untuk mendengar ceritanya.
Rasa bersalah langsung terpupuk dan tumbuh subur dalam jiwaku. Berulang kali aku meminta maaf dan Daisy dengan besar hati memaafkanku.
"Sebagai permintaan maaf yang sesungguhnya, aku akan menemanimu mencari makanan. Apa aku mau?"
Daisy melihat ke arah jam dinding. "Tapi Alice, sekarang sudah sangat larut."
Aku menggeleng pelan. "Tidak apa-apa Daisy. Aku akan menamanimu. Dan lain kali, kalau aku bertemu dengan Bos mu itu aku akan protes padanya karena telah membuatmu harus bekerja di malam hari!" Aku menampilkan ekspresi seolah marah.
Daisy terkekeh. "Tidak perlu Alice. Pak Sjhon tidak sejahat yang kaupikirkan."
"Aah ... baiklah. Kalau begitu ayo!" Kemudian, aku dan Daisy berdiri dan kami keluar dari apartemen milikku untuk mencari makanan di malam hari yang sudah larut.
_______________________________________
MENURUT KALIAN, SMITH COCOK SAMA ALICE?
YA!!!
ATAU
TIDAK!!
KOMEN YA GUYS!
SALAM HANGAT, ZAYNRIZ.