Kamar itu sunyi, diterangi hanya oleh cahaya bulan yang menyelinap melalui celah tirai. Saskia tidak menangis. Air matanya sudah kering, digantikan oleh sebuah dingin yang membeku di dalam dadanya. Rasa sakit di tubuhnya—jejak-jejak tangan Geonando, sensasi perih yang ditinggalkannya—sudah memudar menjadi nyeri tumpul. Bukan itu yang membuatnya terjaga. Yang membuatnya terjaga adalah mimpi buruk yang kembali hidup. Setiap kali dia menutup mata, yang terlihat bukanlah Geonando, tapi wajah Paman Robby yang berminyak, senyumnya yang menjijikkan, dan bau alkoholnya yang menusuk. Dia merasakan lagi rasa takut yang sama seperti gadis kecil berusia tiga belas tahun yang terkunci di kamar gelap. Tapi kali ini, ada lapisan kebencian baru: kebencian terhadap Geonando yang dengan keji mengorek kubu

