Di satu sisi, Jin bersyukur karena semua barang-barangnya sudah dipindah oleh Sisil ke kamar Sam. Karena benar saja, Prama dan Manika, datang sore harinya dan berniat untuk menginap menghabiskan malam minggu, untuk mengakrabkan diri dengan menantu pertamanya.
Jin pun terpaksa harus melakoni sandiwara untuk terlihat mesra di hadapan mertuanya. Menggandeng dan bersikap manja dengan sang suami, meskipun perutnya sudah bergulat mual ingin muntah.
“Oia, Jin, jangan nunda-nunda ya! Mami sama Papi sudah gak sabar mau gendong cucu, soalnya,” ujar Manika setelah makan malam usai. Mereka berempat kini tengah duduk bersama pasangan masing-masing di ruang keluarga kediaman Sam.
Tangan Sam melingkar lembut di perut Jin, yang tengah bersandar di tubuhnya. Melakukan sandiwara yang harus mereka lakoni selama kedua orang tua Sam berada di rumah. Bersikap mesra seolah-olah mereka berdua adalah sepasang suami istri yang benar-benar saling mencinta.
“Kita gak nunda, kan, Hun?” tanya Sam menatap Jin penuh kelembutan. Sedikit memberi remasan ringan pada pinggang sang istri dan memberi desiran tersendiri pada darah Jin.
Jin sedikit mendongak, mempertemukan tatapan mereka, lalu mengerjab dua kali. Melempar sebuah senyum hangat pada Sam, meskipun hatinya kini mengumpat hebat atas sandiwara sang suami.
“Gak nunda, sedapatnya aja, ya, beb,”
Senyuman yang diberikan Jin pada Sam begitu manis. Hingga membuat Sam ingin cepat-cepat menyudahi obrolan keluarga yang ada dan membawa Jin malam ini ke ranjangnya. Menunaikan malam pertama yang sudah tertunda dan meminta haknya sebagai seorang suami pada sang istri. Bagaimanapun juga, Sam adalah seorang pria, terlebih-lebih, statusnya saat ini adalah seorang suami. Jelas saja ia ingin mereguk kehangatan yang memang sudah sah jadi miliknya.
“Hm,” jawab Sam seraya menunduk untuk mencium puncak kepala Jin sebentar. “Yang penting kita usaha,” lanjutnya kemudian mengerling pada sang istri.
Manika dan Prama terkekeh sekaligus bahagia melihat perjodohan yang mereka lakukan ternyata tepat sasaran. Melihat anak dan menantunya sangat akur, serta terlihat mesra seperti ini, tentu menambah rasa bahagia tersendiri di hati mereka.
“Kamu gak mau resign jadi wartawan, Jin?” Prama tiba-tiba menyeletuk di tengah kehangatan keluarga. Tidak terlalu menyetujui dengan status pekerjaan Jin saat ini, karena telah menjadi istri dari keluarga besar Wira.
Seharusnya Jin bisa menjadi ibu rumah tangga yang hanya mengurus dan menemani Sam untuk mengurus perusahaan. Atau jika tidak, Jin bisa terjun langsung bersama Sam di perusahaan dan tidak menjadi bawahan dengan berprofesi sebagai wartawan di luar sana.
Jin memberi senyum manis pada papi mertuanya. “Nanti ya, Pi. Kalau hamil pasti saya resign.”
Jin membatin geli, bagaimana mungkin dirinya bisa hamil, kalau pernikahan yang dilakukannya bersama Sam, hanya sandiwara belaka.
Tangan Sam berpindah ke atas, mengalung pada leher Jin. Menunduk dan membisikkan sesuatu di telinga sang istri. “Malam ini, aku mau bikin kamu hamil.”
Jin menelan ludah, berusaha bersikap tenang, Meskipun hatinya tengah bergolak tidak karuan. Bagaimana jika Sam benar-benar meminta haknya sebagai seorang suami, malam ini?
“Ya sudah kalau gitu, kalian mending ke atas, istirahat,” titah Manika. “Pasti capek, kan, habis bulan madu? Atau bulan madunya kurang?” kekehnya kemudian bersama sang suami.
“Kurang lah, Mi!” seru Sam menimpali membuat Jin menepuk paha sang suami dengan keras satu kali untuk menahan malu. Padahal, mereka tidak pergi ke mana-mana selama satu minggu ini. Hanya berada di rumah dan tidur dalam kamar terpisah. Baru malam ini, keduanya akan berada satu kamar dan mungkin saja berakhir satu ranjang.
Manika kemudian mengajak sang suami untuk pergi ke atas dan beristirahat lebih dahulu. Meninggalkan pasangan pengantin baru, yang menurut mereka masih perlu waktu berdua lebih banyak lagi, untuk menjalin kasih.
Setelah melihat punggung kedua mertuanya menghilang dari pandangan, Jin kontan menjauhkan dirinya dari Sam secepat mungkin.
“Jangan sembarangan kalau ngomong,” Jin berdiri dan meregangkan tubuhnya yang penat, karena bersandar tegang pada tubuh Sam terlalu lama. Meskipun ia tidak menampik kalau Jin merasakan ada sebuah kenyamanan di sana.
“Sembarangan?” satu alis Sam menukik tajam, belum paham dengan arti kata sembarangan yang dimuntahkan oleh sang istri.
“Dengar Sam, aku peringatkan kamu ya, jangan berani-berani menyentuhku barang seujung kuku!” desis Jin penuh dengan penekanan.
“Kamu istriku, dan aku berhak unt—”
“Istri yang kamu tinggalkan di malam pernikahan, demi perempuan yang gak jelas di luar sana! Begitu maksudmu?” potong Jin masih dengan desisan tajam.
“Jin,” hela Sam yang ikut berdiri berhadapan dengan istrinya. “Harus berapa kali aku jelaskan, kalau aku dan Eleanor sudah selesai!”
“Haa,” Jin tertawa sinis di detik selanjutnya. “Jadi namanya Eleanor? Jadi model majalah dewasa itu namanya Eleanor?” ujarnya mengajukan pertanyaan retoris yang sebenarnya tidak perlu lagi untuk diberi jawaban. Karena Jin sudah tahu sebelumnya, mengenai wanita yang telah ditemui oleh suaminya pada malam pertama mereka.
Jin harus berterima kasih kepada seniornya yang bernama Agus. Karena pada malam itu, Agus lah yang terlebih dahulu di telepon oleh Jin untuk mengetahui, siapa-siapa saja teman akrab pria yang sudah berstatus sebagai suaminya itu.
Lalu, dari semua nama, diungkaplah nama Eleanor yang baru saja menginjakkan kaki di Jakarta sore hari sebelum resepsi megah pernikahan Jin dan Sam di laksanakan.
Sam terdiam, menunggu Jin meneruskan kekesalannya.
“Dasar brèngsèk!” maki Jin lalu menginjak kaki Sam sekeras mungkin. Kemudian ia menjauh dan berlari secepat mungkin menuju kamar Sam yang berada di lantai dua dengan kekesalan yang bertubi-tubi. Entah sampai kapan dirinya dan Sam akan melangsungkan pernikahan palsu ini di depan keluarga mereka.
Sam mendesis nyeri sebentar. Lalu mengikuti Jin dengan langkah yang sedikit terpincang-pincang. Menaiki tangga dan langsung bergegas masuk ke kamarnya dan menguncinya.
Tidak terlihat Jin di dalam kamar. Namun, suara gemericik air dari arah kamar mandi menandakan sang istri tengah berada di dalam sana.
Sam menunggu Jin keluar sembari menuju walk in closet untuk mengganti pakaiannya. Keduanya lantas keluar bersamaan. Jin dari kamar mandi sudah memakai piyama tidur, begitupun Sam.
“Kamu tidur di sofa!” titah Jin dengan angkuh.
“Naah, ini ranjangku dan aku berhak tidur di sini,” tolak Sam kemudian mendahului Jin merebahkan tubuh di atas ranjang. Menarik selimut lalu memiringkan tubuh menatap Jin yang masih berdiri kesal.
Sam menepuk sisi kosong di samping tubuhnya. “Tidur di sini, lebih nyaman dari pada di sofa.”
“Aku lebih suka tidur di sofa dari pada satu ranjang sama kamu!” tolak Jin memutar tubuh dan berjalan menuju walk ini closet. Mencari selimut untuk membalut tubuhnya dan membawanya keluar. Jin lalu mengambil bantal dari ranjang kemudian meletakkannya di sofa. Merebahkan tubuh dan membungkus raganya dengan selimut.
“Serius Jin? Kamu beneran tidur di sofa?” tanya Sam tidak percaya.
“Ya! dan jangan coba-coba sentuh aku, atau aku bongkar semua kelakuanmu sama mami waktu malam pernikahan kita! Denger itu, Sam!” ancam Jin lalu menarik selimut sampai kepala. Menutup seluruh tubuhnya dan berusaha memejamkan mata untuk masuk ke alam mimpi. Berusaha melupakan semua luka yang ditorehkan Sam pada malam pertama mereka