Rumah Mertua Indah

1855 Kata
Proses acara adat ngunduh mantu akhirnya berjalan lancar. Semuanya diikuti dengan khidmat. Banyak undangan yang hadir termasuk teman-teman kampusku. Begitu acara selesai, aku dan Gilang pulang ke rumah orang tua Gilang alias rumah mertuaku. Rumahnya cukup besar dengan dua lantai. Kamarku berada di lantai dua. Si kaku sepertinya capek, jadi dia langsung tidur. Aku sendiri memutuskan untuk berkeliling rumah ini. Dan aku menemukan taman kecil yang indah. Tepatnya di belakang rumah yang langsung terhubung ke dapur. Banyak pohon dan berbagai macam bunga ditanam di sini. Sejuk. Aku duduk di bangku yang ada di taman ini. Ngomong-ngomong mertua, aku hanya punya Papa mertua. Mamanya Gilang sudah meninggal sejak Gilang duduk di bangku SMA. Tapi meskipun begitu, Papanya Gilang alias Om Anwar tidak menikah lagi, atau tepatnya mungkin belum menikah lagi. Rumah ini menurut cerita Mbok Jum biasanya sepi saat siang hari. Semua orang keluar saat siang, dan berkumpul saat malam tiba. Bahkan Gilang yang paling jarang pulang. Gilang malah lebih banyak tidur di apartemen miliknya. Efek dilangkahi kawin eh nikah kali ya? Orang kutub selatan itu jadi malas pulang mungkin gak kuat lihat dedek manisnya lagi mesraan sama istrinya. Hahaha makanya jadi orang jangan beku, kan jadi gak laku! "Lagi ngapain? Sendirian aja." Sebuah suara membuyarkan lamunanku. Aha, ini dia yang namanya Adit. Cakep juga. Eh. "Iya, seger juga duduk di sini. Adem. Bawaannya jadi ngantuk." "Iya, taman ini memang sengaja dibuat Papa, dulu waktu kami masih kecil. Saat Mama masih ada." Aku terdiam. Menunggu Adit melanjutkan ceritanya. "Gilang adalah anak kesayangan Mama. Dia hampir tanpa cela. Cerdas, rajin sekolah, rajin ibadah, dan juga dia yang paling tampan di antara kami." Pernyataan terakhir memang paling benar. Tapi rajin ibadah? Yang benar saja! Pacarnya saja si gadis biola! Mustahil kalo mereka belum pernah ngapa-ngapain! Si gadis biola body-nya sentuh-able gitu! Gak kuat iman juga rupanya. Normal sih, mungkin. "Kenapa kamu kayak kaget gitu?" Adit menatapku dengan mimik menahan tawa. Emang aku lucu? "Ah, gak. Cuma aneh aja sama kakak kamu itu. Orang cerdas biasanya punya kosakata yang banyak saat bicara. Lah ini? Irit banget." Adit tersenyum maklum. "Ya, Gilang memang berubah total saat Mama pergi meninggalkan kami. Dia jadi pendiam. Hanya melaksanakan aktivitas rutinnya setiap hari, sekolah lalu pulang. Di rumah juga begitu, makan, belajar lalu masuk kamar." "Kok bisa gitu?" "Sudah ku bilang,  dia itu anak kesayangan Mama. Dia yang paling dekat dengan Mama. Saat Mama pergi dia begitu terpukul. Yah, dia anak sulung. Segala tanggung jawab berada di pundaknya. Kamu tahu? Saat Mama pergi, Papa berhari-hari mengurung diri di kamar. Bahkan perusahaan yang Papa rintis dari nol dengan Mama hampir bangkrut. Sejak itulah Gilang jadi berubah. Dia kuliah sambil bekerja meneruskan perusahaan Papa. Dia seperti seorang workaholic. Jarang pulang juga." "Hm, jarang pulang macam bang Toyib?" "Hahaha, enggak lah. Kan dia waktu itu belum beristri." Aku tertawa sumbang. Iya juga sih. Tapi bodo amatlah! "Dit, kamu belum mau nyusul nih?" "Maksudnya?" "Ya, ke KUA gitu, biar ada yang ngurusin, ada yang nemenin juga." "Oh itu. Iya, rencananya aku mau melamar calonku bulan depan." Eh busyet! Udah ngebet juga rupanya nih anak. Baru aja kakaknya kelar ijab kabul. Bulan depannya langsung tancap gas pengen ngelamar. But its ok  lah! Anak ini punya nyali buat mengikat janji. Daripada pacaran yang gak ada ujungnya, malah nambah banyak dosa. "Wow! Keren juga. Udah lama berhubungan?" "Begitulah. Udah lama sih. Sejak aku masuk kuliah tingkat satu." Aku hanya mengangguk. Jadi si Adit ini usianya sama denganku. Masih mahasiswa semester 6. "Ehm. Kalian di sini rupanya?" Sebuah suara membuat aku dan Adit menoleh.  Om Anwar alias Papa mertuaku. Beliau lalu ikut duduk bersama kami. "Eh, Om maksudku Papa. Iya nih, di sini adem. Jadi betah duduk berlama-lama." "Di sini memang sejuk. Sengaja Papa buatkan untuk sekedar berkumpul. Tapi ya begitulah, anak-anak sudah dewasa. Mereka sepertinya pada lupa jalan pulang. Tempat ini jadi sepi." "Wah sayang, Pa. Padahal di sini sangat nyaman." "Papa senang kamu betah di sini. Seringlah berkunjung kemari. Rumah ini saat siang hari seperti tak berpenghuni." "Pasti, Pa. Saya juga suka di rumah ini." "Papa lega akhirnya anak keras kepala itu memilihmu untuk pasangan hidupnya." "O ya? Memang kenapa, Pa?" "Papa sangat mengenal Gilang. Papa sangat yakin, bersamamu dia akan menemukan kebahagiaannya lagi." Aku melongo. Ha? Gak salah? Si beku itu bisa bahagia sama aku? Orang kutub itu bahkan bilang bahwa pernikahan kami hanya untuk membahagiakan orang tua. Dan dalam hal ini tentu saja untuk membahagiakan Om Anwar. Jadi rumit, sebenarnya siapa yang dibahagiakan di sini? "Kamu lucu. Ceria, ringan tanpa beban dan bisa membawa suasana menjadi lebih cair. Papa yakin, Gilang lambat laun akan kembali ceria seperti dulu lagi." Aku tertawa garing. Lucu katanya? Emang aku badut? Ringan? Seperti kapaskah? Hehehe. "Papa ada-ada saja. Aku tidak seperti itu. Malah mungkin banyak ngeselinnya daripada ngebahagiain." "Hehehe. Tapi Papa sangat yakin, kamu bisa mencairkan Gilang suatu hari nanti. Bersabarlah menghadapi anak Papa. Sebenarnya dia sangat lembut." Om Anwar mengacak rambutku. Ada rasa hangat menjalar ke hatiku. Rasanya seperti disentuh Papaku sendiri. Ah, aku jadi rindu rumah! *** Aku kembali masuk ke kamarku, bukan, maksudku ke kamar kami, aku dan Gilang. Saat masuk, kulihat tempat tidur sudah kosong. Si kaku sudah bangun rupanya. Giliran aku yang rebahan. Hah... nyamannya! Aku tidur terlentang. Dari tadi aku ingin tiduran seperti ini. Tapi malah si beku yang duluan tidur. Dasar dodol! Akhirnya aku mengalah keluar dari kamar. Dan akhirnya... Aku dapat giliran buat rendahan seben-- "Aaaaa....!!!" Dasar Doyok!!!! Beruang kutub menyebalkan!!! Aku kaget setengah mati! Si Gilang keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang melilit di pinggangnya! Haduh, mataku tercemar sudah! "Kamu kenapa?" Dan wajah datarnya semakin menjengkelkan! Aku memalingkan muka. Duh Gusti! Kuatkan imanku! "Ke-kenapa Om keluar tanpa baju?!" Dahinya berkerut. Sesekali aku meliriknya. Dia masih setengah telanjang. Rambutnya basah. Percikan air bertebaran di d**a bidangnya membuat dia nampak... seksi. Bego! Kenapa saat seperti ini otak mesumku bekerja sangat cepat? "Saya baru selesai mandi. Kenapa? Ada yang salah? Ini kamar saya. Kalau kamu mau lihat saya ganti baju juga gak apa-apa. Tidak berdosa kan? Kamu melihat tubuh suami kamu sendiri." Aku gelagapan. Aduh nih beruang sakit gigi kenapa malah sengajain sih? Oke. Tenang, Vir. Mari singkirkan si otak m***m sialan itu! "Kalau begitu, saya keluar dulu. Setelah Om selesai, baru saya akan masuk." Aku meiliriknya sekilas. Godaan berat ini mah! Dia hanya mengangkat bahu. Lalu aku langsung keluar kamar. Aku mengelus dadaku. Ini juga kenapa jantungku semakin berlomba sih? Seperti udah maraton saja. "Kenapa? Kok di luar? Gak masuk?" Aku menoleh. Aha, kalau yang ini mungkin Evan. Yang katanya udah cerai dari istrinya itu. Evan ini sedikit berbeda dengan dua saudaranya. Kalau si patung liberty dan Adit terbiasa rapi dan formal, nah kalau yang satu ini agak slebor. Rambutnya juga agak panjang. Wajahnya? Sebenarnya tampan, hanya sepertinya Evan terlalu cuek. Dia membiarkan jambang tumbuh berserakan di wajahnya. Penampilannya seperti seorang seniman. "A-aku baru mau masuk. Hehe." Sial! Maksud hati ingin kabur, malah begini jadinya. Aku tidak mungkin menjawab kalau aku di luar kamar karena si manusia kutub sedang ganti baju. Nanti Evan curiga kalau pernikahan kami tidak normal. Evan menatapku. Risih juga sih. Aku berusaha tersenyum ramah dan mengangguk sopan. Iya lah, meski posisiku kakak iparnya, tapi si Evan ini usianya lebih tua dariku. "Kamu lucu! Kalau tidak mau tersenyum jangan dipaksakan. Aku gak akan bertanya kenapa malam hari seperti ini pengantin wanita malah ada di luar kamar." Ucapnya sambil menahan tawa. "Ah, begitu ya? Maksudku aku mau masuk sekarang." "Tidak perlu. Kalau kamu masih ingin di luar juga gak apa-apa. Mau melihat lukisanku?" "Wow! Kamu suka melukis?" "Yah, sekedar melepas penat." Menarik. Si Evan ini pelukis? "Boleh. Kalau kamu mengijinkan." "Ikut aku!" Evan menarik tanganku. Hei! Anak ini berani sekali! Aku kan kakak iparnya? Ya, meskipun usiaku 5 tahun lebih muda, buka berarti dia bisa seenak jidat kan? Kalimat protes hampir keluar dari mulutku. Namun detik berikutnya mulutku menganga. Aku dibuat kagum dengan pemandangan di depan mataku. Indah. Evan membawaku ke ruangannya. Letaknya agak jauh dari kamar tempat aku dan Gilang tidur. Ruangannya luas. Banyak lukisan tertempel di dinding. Bahkan ada beberapa lukisan yang belum terpasang, masih tersusun rapi dengan disandarkan ke dinding. "Kamu melukis sebanyak ini?" Evan mengangguk cepat. Dia sangat antusias memperlihatkan semua lukisannya padaku. Meski aku tidak mengerti seni, tapi semua lukisan Evan sangat indah. "Keren." "Itu saja?" "Memang apalagi? Aku gak ngerti soal seni. Tapi aku suka melihat lukisan walaupun tidak tahu apa makna yang ingin disampaikan pelukisnya." "Hm, begitu rupanya. Aku senang kamu menyukainya. Kamu mau mencoba untuk kulukis?" "Ha? Apa?" "Dilukis, kamu mau?" "Boleh. Tapi yang bagus yah, ditambahin apa gitu, biar bagus. Soalnya aku gak PD." "Hahaha. Ini bukan edit photoshop di handphone. Hasilnya murni. Tampilan wajah kamu." "Yah.... jelek dong!" "Kenapa jelek? Kamu meragukanku?" "Maksudku, bukan lukisan kamunya, tapi kalau aku dilukis tanpa editan ntar jelek. Kan kalo di handphone mah orang jelek juga bisa jadi cakep kayak artis." "Hahaha. Kamu ada-ada saja! Siapa bilang kamu jelek? Kamu sangat cantik. Dan juga sangat menggemaskan!" "Cantik dari Hongkong! Ya udah. Ayo lukis aku kalo gitu." "Oke. Kamu duduk di sini." Evan menyodorkan kursi padaku. Mimpi apa aku semalam, ngerasain dilukis seniman kayak gini. "Jangan lihatin aku kayak gitu dong! Kan aku jadi malu." "Hahaha.. Kamu lucu banget sih? Si Gilang nemu kamu di mana ya?" "Kok lucu? Aku malu, Evan. Bukannya lagi ngelucu!" Aku manyun. Sebel juga sih, orang lagi malu malah dibilang lucu. "Ya kan lucu aja! Aku gak boleh lihatin kamu. Terus aku lukis kamu kayak gimana coba? Masa sambil merem?" Aku nyengir. Iya juga sih. Otak lemotku kadang kumat tidak pada tempatnya. "Iya juga ya, hehehe. Sorry. Oke. Sekarang kamu bebas mau lihatin aku juga. Yang penting lukisannya bagus yah?" "Nah, gitu dong. Sip. Jangan banyak gerak ya? Cari posisi nyaman saja." Aku diam. Sesekali melihat Evan yang nampak serius melihat wajahku. Dasar nih otak! Kadang GR datang tidak diundang. Si Evan melihatku sebab dia sedang melukis wajahku. Kadang wajahnya serius, kadang tersenyum. Baiklah aku harus diam. Dia bilang aku jangan banyak bergerak biar cepet selesai. Ceklek. Suara pintu ruangan terbuka. Seseorang masuk. Aku ingin menoleh, tapi aku kan sedang dilukis. Jadi aku lawan rasa penasaranku tentang siapa yang masuk. "Di sini rupanya. Ayo masuk kamar!" Suara itu. Bukannya itu suara dinginnya si patung liberty? "Kupikir kau yang membuatnya keluar dari kamar." Evan mewakiliku untuk menjawab. Sebentar, kenapa auranya jadi mencekam gini? "Ayo masuk." Suara dingin Gilang terdengar lagi. Aku masih diam dengan posisiku. Aku tersentak kaget saat sebuah tangan menarikku dengan paksa. "Jangan terlalu kasar padanya!" Suara Evan sedikit naik satu oktav. Ini kakak-adik kenapa sih? Gilang berhenti menarikku. Tapi tangannya belum melepaskanku. Ia menjawab Evan tanpa menoleh sedikit pun. "Aku tidak suka milikku disentuh orang lain!" What??? Apa aku tidak salah dengar? Gilang mengatakan aku miliknya? Lalu aku ditariknya kembali. BLAM!!! Gilang menutup pintu dengan kasar lalu mendorongku masuk ke kamar kami dan menguncinya. Sumpah! Aku takut sekali. Gilang mendekatiku. Ya Tuhan! Dia mau apa?! Aku mundur. Siapa pun tolong aku! Sepertinya ada beruang kutub lagi marah di sini! Aku terpojok. Dia semakin mendekat. Dan sialnya aku tidak mendapatkan celah untuk kabur. Aku hanya meracau dalam hati. Sumpah serapah di benakku seolah berlomba dengan debaran jantung yang makin menggila.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN