Satu bulan setelah surat cerai resmi dikabulkan oleh pengadilan agama, langit Jakarta mendung, tapi hati Prasetyo justru terang. Hujan gerimis yang turun sejak pagi tidak membuat langkahnya goyah sedikit pun. Justru hari ini, ia merasa seluruh langkah hidupnya telah sampai pada titik paling terang pada rumah kecil sederhana di pinggiran kota, tempat di mana hatinya sejak lama menetap diam-diam. Aya membuka pintu dengan wajah penuh tanya, tapi matanya langsung berubah hangat ketika melihat Prasetyo berdiri di depan dengan setelan jas abu-abu yang begitu rapi. Bukan jas kerja. Bukan untuk rapat atau bertemu klien. Tapi untuk sesuatu yang lebih penting. Di tangan kirinya ada sekotak kecil beludru biru. Dan di tangan kanannya, setangkai mawar putih yang tampak kontras dengan hujan yang turun