2

749 Kata
Aya terbangun dengan cahaya matahari yang menembus celah tirai hotel. Detik pertama kesadarannya dipenuhi oleh kehangatan yang masih melekat di kulitnya, oleh aroma maskulin yang samar masih tersisa di seprai. Lalu, seketika itu juga, kesadaran menghantamnya seperti ombak besar—Prasetyo. Malam tadi. Ia mengerjap, menoleh ke sisi ranjang yang kini kosong. Hanya ada jejak keberadaannya—sedikit kusut pada bantal, sisa aroma cologne yang menguar lembut. Aya mendesah panjang. Ini bukan dirinya. Ia bukan tipe perempuan yang bermain api dengan lelaki beristri. Tapi kenapa ia begitu terhanyut? Kenapa ia tak mampu menolak Prasetyo? Ia meraih ponselnya. Layar menyala, menunjukkan pesan yang masuk satu jam lalu. Prasetyo: Aku harus pergi lebih dulu. Maaf, tidak bisa menunggumu bangun. Kita harus bicara. Aya menggigit bibirnya. Ia menaruh ponsel itu kembali, lalu duduk di tepi ranjang dengan pikiran yang penuh. *** Prasetyo duduk di balik meja kerjanya, tangannya mengepal di atas permukaan kayu yang mahal. Ia nyaris tidak bisa fokus sepanjang perjalanan dari hotel ke kantornya. Di pikirannya hanya ada wajah Aya—mata perempuan itu yang berbinar dalam cahaya remang, sentuhannya, suaranya yang berbisik namanya. Ia merasa seperti pengecut. Seharusnya ia tetap tinggal, menghadapi konsekuensi perbuatannya. Tapi ia takut. Bukan hanya takut ketahuan, tapi juga takut pada perasaan yang mulai tumbuh dalam dirinya. Aya bukan sekadar selingan. Prasetyo tahu itu sejak awal. Ada sesuatu dalam diri perempuan itu yang membuatnya ingin lebih dari sekadar pertemuan singkat. Aya bukan seperti perempuan lain yang pernah mendekatinya—Aya tulus, cerdas, dan penuh semangat. Bersama Aya, Prasetyo merasa seperti dirinya yang dulu, sebelum ia tenggelam dalam dunia bisnis dan segala tuntutannya. Dan rasa bersalah itu. Widhi. Istrinya. Perempuan yang telah menemaninya selama bertahun-tahun, yang setia mendukungnya sejak awal kariernya. Istrinya yang memberinya stabilitas dalam hidup. Widhi adalah rumah, tempat ia kembali setelah lelah berjuang. Lalu bagaimana dengan Aya? Sebelum pikirannya makin kacau, Prasetyo menghela napas dalam. Ia tahu dirinya telah melangkah terlalu jauh. Seharusnya ia tidak membiarkan hal ini terjadi. Seharusnya ia menghindari Aya sejak awal sejak pertemuan di ruang rapat itu, sejak pandangan mereka bertaut lebih lama dari seharusnya. Tapi semua sudah terjadi. Pintu ruangannya diketuk, lalu asistennya masuk. “Pak, ada Miss Aya di luar. Katanya ingin bertemu.” Jantungnya berdegup kencang. Aya datang. Tanpa banyak berpikir, ia mengangguk. “Suruh dia masuk.” Pintu terbuka, dan di ambang pintu, berdiri perempuan yang sejak tadi memenuhi pikirannya. Aya tampak ragu, tetapi matanya menatapnya dengan begitu banyak pertanyaan. “Kita harus bicara,” kata Aya, suaranya pelan tapi tegas. Prasetyo berdiri dari kursinya. “Iya, kita harus bicara.” Aya berjalan mendekat, lalu duduk di kursi di depan meja Prasetyo. Tangannya saling menggenggam di atas pangkuannya, mencoba menenangkan kegelisahan yang menggerogotinya sejak pagi. "Apa yang kita lakukan semalam..." Aya menatap mata Prasetyo, mencari jawaban di sana. "Aku nggak tahu harus ngomong apa, Pras." Prasetyo menatapnya lama, sebelum akhirnya menjawab, "Aku juga nggak tahu, Aya." Hening. Aya menghela napas. "Kita nggak bisa begini." Prasetyo mengusap wajahnya, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan. "Aku tahu. Tapi aku juga nggak bisa pura-pura kalau aku nggak peduli sama kamu." Aya tersenyum pahit. "Kamu punya istri." Prasetyo diam. Kata-kata itu menamparnya lebih keras daripada yang ia bayangkan. "Aku nggak mau jadi perempuan yang merebut suami orang, Pras," lanjut Aya. "Aku nggak mau menjadi bagian dari pengkhianatan." "Tapi kita nggak bisa memungkiri apa yang kita rasakan." Aya menggeleng. "Perasaan itu nggak bisa mengubah fakta bahwa kamu sudah menikah." Prasetyo meraih tangan Aya di atas meja, menggenggamnya dengan lembut. Aya menegang, tapi tidak menarik tangannya. "Aku nggak tahu harus bagaimana, Aya. Aku nggak bisa bohong kalau aku menginginkanmu." Aya menutup matanya sejenak, mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak. Ia tahu Prasetyo tulus. Ia tahu ada sesuatu di antara mereka yang lebih dari sekadar ketertarikan sesaat. Tapi apa artinya semua itu jika pada akhirnya akan menyakiti orang lain? "Aku butuh waktu," kata Aya akhirnya, menarik tangannya dari genggaman Prasetyo. "Aku nggak bisa langsung memutuskan. Tapi yang jelas, aku nggak mau jadi perempuan yang menyakiti orang lain, Pras." Prasetyo menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ada keteguhan di mata Aya yang membuatnya sadar bahwa perempuan ini berbeda. Aya berdiri. "Aku pergi dulu." Prasetyo ingin menahannya, ingin mengatakan sesuatu yang bisa membuatnya tetap tinggal, tapi ia tahu itu tidak adil. Jadi ia hanya menatap punggung Aya yang menjauh, membuka pintu, lalu menghilang di baliknya. Saat pintu tertutup, Prasetyo bersandar di kursinya, menatap langit-langit dengan perasaan yang bercampur aduk. Ini belum selesai. Dan ia tahu, semakin ia mencoba melawan perasaannya, semakin kuat keinginannya untuk memiliki Aya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN