BAB 22

1182 Kata
Lord Richard mengadakan makan malam khusus untuk menyambut kedatangan George dan Mia, rencananya mereka akan tinggal beberapa hari sebelum melanjutkan perjalanan ke Leeds. Lord Richard juga mengundang keluarga Ethan Harris untuk ikut bergabung, Lady Annelies juga ikut hadir bersama mereka. Sang Lady duduk di sebelah bibinya dan berhadapan dengan sepupu laki-lakinya Natan Harris yang duduk di samping Ayahnya. Mereka sengaja mengatur tempat duduk berpasangan demikian pula dengan Mia dan George yang duduk saling berhadapan, dan siapapun pasti iri jika melihat pasangan suami-istri itu. Sang Earl memang tidak pernah sungkan untuk menunjukkan perhatiannya pada sang Countess yang entah bagaimana masih selalu terlihat awet muda. Jeremy yang datang terlambat sepertinya baru menyadari jika dirinya tidak akan memiliki pasangan. Pemuda itu hanya coba tersenyum pada beberapa tamu yang masih belum dia kenal. "Duduklah, Nak, aku akan memperkenalkanmu pada mereka semua," kata Lord Richard ketika mendapati kekikukan cucunya. Jeremy memilih duduk di ujung meja seolah acuh dengan kesendiriannya, padahal dia sempat beberapa kali diam-diam memperhatikan Lady Annelies yang justru terlihat asik dengan lawan bicaranya. Bukannya sang Lady tidak sadar dengan sepasang mata yang selalu coba memperhatikannya, bahkan saat tanpa sengaja mata mereka bertemupun Anne selalu berusaha berpaling lebih dulu untuk mengacuhkannya. Akhirnya Lord Richard memperkenalkan cucunya secara resmi sebagai penerus keluarga Harington. Semua terlihat menyambut gembira kedatangan Jeremy, George juga terlihat begitu bangga dengan keponakannya itu. George yakin Jeremy akan segera bisa menggantikan nya kelak, bisnis Harrington yang begitu pesat di bidang perkeretaapian dan peleburan baja sangat membutuhkan seorang pemuda yang cekatan seperti Jeremy. Lady Annabeth juga memperkenalkan putra dan keponakannya kepada Jeremy. "Lady Annelies Stanley," ulang Jeremy yang sepertinya memang baru sadar siapa gadis yang baru di perkenalkan padanya itu. Lady Anne tetap berusaha tersenyum sopan menanggapi keterkejutan putra James Winston tersebut. Mia meraih punggung tangan Lady Annelies dan tersenyum hangat padanya. "Kita sudah lama tidak bertemu, Lady, bagaimana jika kita berkuda besok sore?" "Tentu, Mam, sepertinya itu menyenangkan," Lady Anne menyambut gembira tawaran sang Countess, layaknya hadiah tak terhingga karena Anne juga sudah sangat merindukannya. Selama ini Mia memang sudah menganggap putri Nicholas itu seperti putrinya sendiri, dia tau bagaimana wanita yang sangat di cintai putranya itu masih sangat berduka. Jika ada sesuatu yang bisa di tukarnya untuk bisa mengembalika kebahagiaan sang Lady, Mia rela mencarinya hingga sampai ke ujung dunia sekalipun. Sungguh malang, bahkan wajahnya yang indah ternyat tak selalu bisa menjamin keberuntungannya, Mia masih ingat apa yang selalu dikatakan Lady Annelies selama beberapa hari setelah kepergian William. "Aku akan ikut, jika aku bisa ikut!" katanya masih sambil memandang keluar jendela seolah masih menyaksikan rombongan kereta yang membawa tubuh kekasihnya ke tempat peristirahatan terakhir. Sebagai seorang ibu yang juga sedang kehilangan seorang putra, Mia juga merasa seperti kehilanga dua kehidupan, itulah yang dia rasakan tiap kali menatap Lady Annelies Stanley yang malang. Kepergian Will mungkin memang tetap tidak akan bisa di lupakan oleh siapapun, tapi keluarganya tetap harus baik-baik saja, dan kali ini Mia melihat Jeremy Winston, putra James itu adalah harapan baru bagi keluarga Harrington. Seperti matahari yang terbit kembali setelah gelap, Mia yakin bisa ikut merasakan aura yang ikut dibawa pemuda itu. Makan malam masih berlanjut pada obrolan keluarga, percakapan-percakapan ringan dan beberapa saran untuk Jeremy untuk lebih sering berkeliling Estate. Ethan sempat menawarkan putranya untuk menemaninya jika ingin berkeliling. Jeremy pun mulai terlihat antusias setelah mendengarkan beberapa cerita Ethan mengenai jenis-jenis kuda pacuan yang sedang mereka kembangkan. Jeremy adalah pemuda yang sangat terbuka dan tidak pernah membatasi apapun dengan lawan bicaranya, bukan hal yang aneh jika sepertinya dia bisa dengan sangat mudah menemukan kecocokan dengan semua orang. Obrolan itu sempat mengalihkan perhatian Jeremy untuk tidak memikirkan Lady bersurai merah yang ternyata Putri dari Nicholas Stanley, musuh besar keluarganya, Jeremy pun bisa maklum jika sang Lady selalu bersikap begitu acuh padanya. Memang sangat di sayangkan jika ternyata jika gadis seindah itu harus menjadi seorang Stanley, meski jujur bagaimanapun Lady Annelies Stanley tetap terlalu menarik untuk di abaikan. *** Tanah Ethan harris yang memang hanya berbatas pagar rendah dengan tanah Harrington menjadikan bangunan rumah mereka pun terlihat seperti hanya bersebelahan. Meski tak semewah mansion Harington yang sudah di pugar sedemikian rupa sejak putranya William menempatinya, tapi bangunan tiga lantai yang di bangun Etthan harris di tanahnya sendiri itu juga terlihat megah sebagai tempat tinggal yang sangat layak bagi keluarga kecilnya. Setelah makan malam, Lady Anne kembali ke kediaman sang bibi meskipun sang Countess sempat memaksanya untuk menginap. Malam itu halaman keluarga Harrington terlihat lebih terang karena bulan yang sedang sempurna, dari balkon kamarnya Lady Annelies memperhatikan bangunan yang sekarang sudah menyerupai sebuah kastil itu dengan perasaan pedih yang masih sulit di ungkapkannya. Melihat kamar utama yang kembali menyala membuat sang Lady juga teringat kembali dengan apa yang dulu sering dilakukannya, tapi rasanya sangat sakit ketika sadar jika bukan Will lagi yang ada di sana. "Orang lain yg sekarang menempati kamar kekasihnya." Lady Anne mematikan lilin di kamarnya sebentar kemudian menyalakan nya lagi, sang Lady mengulangnya dua kali seperti apa yg sering di lakukannya dulu bersama William Harrington untuk saling memberi tau jika mereka masih saling memikirkan dan belum bisa memejamkan mata. Tapi kali ini kamar di sebrang sana sama sekali tak bergeming, mungkin memang hanya kebodohan yang membuatnya selalu ingin meyakinkan berulang-ulang jika Will sudah tiada. Entah harus seberat apa lagi rindu yang harus di tanggungnya untuk pemuda yang dia tau sudah tidak akan bisa lagi kembali padanya, Anne yakin Will pasti juga sangat ingin kembali intuknya andai saja bisa. Entah harus seberat apa lagi rindu yang harus di tanggungnya untuk pemuda yang dia tau sudah tidak akan bisa lagi kembali padanya, Anne yakin Will pasti juga sangat ingin kembali intuknya andai saja bisa *** Pagi harinya Lady Annelies sengaja mendatangi taman mawar. Hari masih agak gelap dan berkabut, sepertinya para tukang tamanpun belum ada yang turun bekerja. Dia hanya sendirian di tengah taman bungan berduri itu tanpa ingin memetik satu kuntum bungapun, Anne hanya berdiri menyaksikan uap kabut yang mulai terurai dari kuntum bungan yang mulai mekar, dan hanya ada warna merah sepanjang mata memandang. Will memang sengaja membuat taman itu untuk gadis bersurai merahnya. Air mata mulai membanjiri sudut mata sang Lady, meski selalu terlihat tegar bukan berarti Anne tidak pernah menangis. Bahkan saat saudara laki-laki nya Brandon menekannya sedemikian rupa pun Anne tidak pernah merasa seterpuruk ini. Kali ini Anne hanya ingin menangis benar-benar menangis setelah sekian lama, jari-jarinya sampai bergetar karena beberapa kali menghapus air mata yang masih terus meluncur dari sudut matanya. Entah sudah berapa lama dirinya hanya berdiri sendiri di tengah taman tersebut hingga kakinya yang dingin mulai terasa kebas. Sang Lady terkejut dan buru-buru kembali membersihkan air matanya dengan ujung lengan gaunnya, entah bagaimana Anne seperti bisa merasakan kehadiran orang lain yang sedang memperhatikannya. Anne segera melihat ke sekeliling yang masih berkabut, jarak pandangnya tak lebih dari lima belas meter tapi Anne bisa melihat jelas siluet pria yang sedang berdiri memperhatikannya dari tepi jalan setapak. Begitu kabut sedikit memudar barulah dia bisa melihat lebih jelas, Jeremy Winston juga sedang berdiri menatapnya. Mereka sama-sama diam untuk beberapa saat, sampai Jeremy memutuskan untuk berjalan lebih dulu mendekatinya, tapi sang Lady buru-buru berpaling dan memilih pergi. LIKE YA
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN