Mbah Wongso menarik napas dalam lalu meraih gelas teh hangat di atas meja dan meminumnya. Dia lalu meletakkan lagi gelas minuman itu dan melihat ke arah kebun singkong di luar rumahnya.
“Terkadang, seseorang itu mudah sekali terkagum-kagum oleh sesuatu, Mbah juga termasuk salah satunya,” gumam Mbah Wongso.
“Dulu sekali, saat Mbah masih remaja, Mbah begitu takjub ketika melihat teman-teman seperguruan Mbah yang memiliki berbagai kelebihan dibandingkan orang biasa. Berawal dari ketakjuban itu, Mbah juga merasa ingin memiliki kelebihan itu.”
“Saat itu, Mbah tak berpikir panjang dan tak memikirkan resikonya. Mbah bahkan menempuh berbagai macam cara agar bisa mendapatkan kelebihan yang Mbah anggap menakjubkan itu, hingga akhirnya, Mbah memang memiliki kemampuan linuwih.”
“Tapi, semua ada harganya, Le.”
“Sama seperti ilmu peletmu itu,” kata Mbah Wongso dengan nada datar tapi membuat Udin mengangkat wajahnya dan menatap tak percaya ke arah kakek tua di depannya.
“Menurutmu, bagaimana caranya ilmu peletmu itu bekerja?” tanya Mbah Wongso ke arah Udin.
“Aku ndak tahu, Mbah,” jawab Udin.
“Ilmu peletmu itu bekerja dengan cara yang menyerupai dengan ilmu pelarisan dan sejenisnya. Ada bantuan dari mahluk lain di sana,” kata Mbah Wongso.
“Kalau ilmu pelarisan yang sering dipakai pedagang pasar, jin-jin pelaris itu hanya membisikkan di telinga orang-orang untuk membeli barang yang sebenarnya tak perlu, tapi punyamu…” Mbah Wongso tak melanjutkan kata-katanya.
“Lalu, aku harus bagaimana, Mbah?” tanya Udin.
“Begini, Le. Kita berdua ini sama-sama korban. Seperti yang Mbah ceritakan tadi, untuk bisa mendapatkan bantuan dari mahluk-mahluk itu, kita harus melakukan kekejian dan perbuatan murtad yang dibenci oleh Tuhan. Itu memang tujuan mereka, menyesatkan kita semua,” jawab Mbah Wongso, “istilahnya, jin yang menjadi prewangan ilmu peletmu dan jin yang menjadi prewangan ilmu kesaktianku ini, mereka itu berkawan. Mereka satu tujuan,” lanjutnya.
“Kalau mereka memang tujuannya menyesatkan kita, terus kenapa ada yang menggangguku, Mbah? Bukannya mereka harusnya justru senang kalau kita makin tersesat?” tanya Udin.
“Mengganggu gimana?” tanya Mbah Wongso.
“Ya itu. Dia menakut-nakuti aku, Mbah. Kayak neror gitu. Dia menunjukkan wujudnya sebagai pocong dari orang yang menjadi target ritual ilmu peletku,” jawab Udin.
Mbah Wongso terlihat berpikir lalu bertanya ke arah Udin tak lama kemudian, “Mahluk itu melakukan sesuatu?”
“Ndak, Mbah. Dia hanya berdiri diam tapi ndak ngapa-ngapain,” jawab Udin.
“Udah, gini aja. Kamu diem aja dan jangan dilawan ya?” kata Mbah Wongso tiba-tiba. Udin terlihat bingung tapi dia membiarkan saja ketika si kakek tua itu berdiri lalu berjalan ke arah belakang Udin.
Mbah Wongso lalu menggerakan tangannya seolah sedang menarik sesuatu dan meletakkannya ke dalam tubuh Udin melalui punggungnya. Dia lalu menekan tangannya ke bawah seolah-olah sedang memasang sesuatu ke badan Udin.
Udin yang awalnya tak merasakan apa-apa, tiba-tiba merasakan sesuatu memasuki tubuhnya. Secara tak sadar, Udin ingin menolak kehadiran sesuatu itu dari tubuhnya tapi peringatan dari Mbah Wongso tadi membuat Udin mengurungkan niatnya.
“Pejamkan mata!” perintah Mbah Wongso tak lama kemudian. Dia lalu menggunakan tangannya untuk mengusap mata Udin yang terpejam. Udin sendiri merasakan kedua matanya yang terpejam seperti panas terbakar secara tiba-tiba.
“Sekarang buka matamu!” perintah Mbah Wongso yang tetap berdiri di belakang Udin dan menggunakan tangan kanannya untuk menyokong bagian belakang kepala Udin yang duduk di kursi bambu.
“Lihat ke situ! Jangan lihat ke arah lain!” kata Mbah Wongso.
Saat Udin membuka kedua matanya, dunia di sekelilingnya terlihat berbeda. Suasana temaram sore hari menjelang senja kini mengitarinya. Padahal Udin yakin sekali kalau Matahari masih menyala dengan terang tepat di atas kepala.
Belum sempat memikirkan keanehan yang dialaminya, Udin menolehkan kepalanya ke arah yang ditunjuk oleh Mbah Wongso yang berdiri di belakangnya. Tubuh Udin membeku dan bulu kuduknya berdiri ketika melihat sosok yang berdiri di sana, sosok pocong mendiang Haji Imron yang kemarin malam menjumpai dirinya.
“Dia yang kemarin datang menemuimu?” tanya Mbah Wongso.
Udin menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Setelah mendapatkan jawaban itu, Mbah Wongso menggunakan tangannya untuk mengusap wajah Udin dan membuat Udin reflek memejamkan matanya. Mbah Wongso lalu membuat gerakan seolah-olah sedang mencabut sesuatu dari tubuh Udin dan membuangnya ke arah samping. Di saat yang sama, Udin merasakan sesuatu ditarik keluar dari tubuhnya.
Sesaat kemudian, Mbah Wongso sudah kembali duduk di kursi bambu yang ada di depan Udin. Udin sendiri masih berusaha meredakan ketegangan yang baru saja dialaminya. Mereka berdua terdiam dan larut dalam pikirannya masing-masing.
“Orang kalau sudah meninggal ya sudah. Urusannya tinggal mempertanggungjawabkan perbuatannya semasa hidup kepada Gusti Pangeran,” kata Mbah Wongso memecah keheningan di antara mereka.
“Ini…” lanjut Mbah Wongso sambil menunjuk ke arah di mana tadi Udin melihat sosok pocong Haji Imron, “bukan ruh asli si Imron, tapi jin yang menyerupakan dirinya. Mungkin dulu prewangannya Imron.”
Setelah mengatakan itu, Mbah Wongso terdiam, “Dia itu bukan mau menakuti-nakuti atau menerrormu. Dia itu cuma mau ngasih tahu kalau majikannya mati tak wajar.”
“Dia merasa kalau kamu, sebagai orang yang mengambil keuntungan terbesar akibat kematian Imron dengan ilmu peletmu, setidaknya harus melakukan sesuatu atas kematian Imron sebagai balasan dari amalan ilmumu.”
“Tapi, saya ini cuma buruh, Mbah. Bisa apa saya?” protes Udin.
“Lha yo mbuh,” jawab Mbah Wongso. Setelah itu dia menolehkan kepalanya lalu menggumamkan satu nama dengan suara pelan, “Widya.”
Sesaat kemudian, Mbah Wongso mengusir Udin secara halus tanpa menambahkan informasi apa pun selain nama yang barusan dia ucapkan tadi.
“Setelah ini, apa mungkin, saya masih diganggu lagi sama pocong itu, Mbah?” tanya Udin di depan teras rumah Mbah Wongso.
“Yo ndak tahu. Yang penting, kamu sudah tahu kan tujuan mahluk itu memperlihatkan wujudnya. Masalah nanti dia bakalan sering nakut-nakutin lagi atau ndak, liat saja nanti,” jawab Mbah Wongso.
“Apa ndak bisa kalau mahluk itu diusir saja atau gimana gitu, Mbah?” tanya Udin.
“Kamu mau ngerasain enaknya tapi ndak mau ngerasain pahitnya?” tanya Mbah Wongso balik.
“Mboten Mbah,” protes Udin.
“Sudah, sudah,” jawab Mbah Wongso.
“Nggih pun, Mbah. Kalau gitu saya pamit dulu,” kata Udin menyerah.
Mungkin, usaha Udin kali ini untuk menemui orang pintar untuk menyelesaikan masalah pocong Haji Imron tak membuahkan hasil sesuai keinginannya. Tapi setidaknya, dia tahu alasan mahluk itu menampakkan dirinya.
“Widya…” gumam Udin pelan sambil berjalan pulang. Dia tahu kalau itu adalah nama gadis Haji Imron.
“Apa mungkin Bu Haji yang menghabisi nyawa Haji Imron?” kata Udin pelan kepada dirinya sendiri.