BAB 7. Stevi

1350 Kata
Aku baru mau mulai menulis ketika Argan masuk kamarku tanpa permisi dan mematikan komputerku. “Bonus kamu udah hangus kan? Jadi sekarang gak usah nulis sekalian dan nulis lagi bulan depan.” Ucap Argan seenaknya. “Nggak bisa gitu dong, aku kan masih bisa ngejar jumlah kata.” Sungutku kesal. Ngomong-ngomong kenapa Argan memakai aku dan kamu dalam pembicaraan tanpa ada siapapun ini? Mencurigakan! “Kapan sih kamu dengerin mas Stevi? Kamu pikir kenapa kemarin kamu sampai pingsan huh? Begadang, kecapean, stress. Kamu tahu kan kalau ketiga hal itu harus kamu hindari?” Omelnya mulai terasa aneh karena kebiasaan kami berbicara seenaknya sehingga panggilan aku-kamu yang sekarang kami gunakan terasa terlalu formal tapi sebenarnya tidak buruk juga. Karena selama ini sekalipun menyebalkan aku yang paling tahu seberapa sayangnya Argan padaku. “Apaan sih pakai aku-kamu? Geli banget.” Cibirku berusaha mengusir raut wajahnya yang terlihat menyebalkan itu karena seperti tidak ingin di bantah. “Kita sudah dewasa tapi Janu belum. Belakangan ini dia mengikuti cara kita bicara dan penempatannya kadang tidak tepat karena itu kita yang harus berubah agar dia bisa ikut berubah.” Jawaban Argan membuatku terdiam sembari tersenyum tipis. Argan yang selalu mendahulukan adik-adiknya dari dirinya sendiri, Argan yang selalu memikirkan adik-adiknya melebihi memikirkan dirinya sendiri, Argan yang selalu diinginkan oleh banyak wanita dan membuat banyak orang iri padaku karena menjadi adiknya. Dia memang menyebalkan, suka mengatur dan jahil tapi di rumah ini dia yang paling dewasa dan bisa diandalkan. Aku tidak berani membayangkan hidup tanpa memiliki Argan. “Siap boss!!” Ucapku patuh dan Argan tersenyum. “Kita nonton Spons kuning aja yuk! Lupain dulu kerjaanya kalau pembaca kamu gak terima kamu libur bilang sama mereka suruh teror mas aja.” Ujar Argan menggiurkan dan membuatku tertawa. “Oke tapi buatin minuman hangat.” Aku memberi syarat dan Argan mengangguk setuju. “Tapi gendong juga ke ruang Tvnya.” Tambahku lagi dan Argan mulai mendengus. “Banyak maunya kalau sekali di turutin heran!” Protesnya membuatku tertawa tapi tidak menolak ketika aku naik ke punggungnya. Punggung Argan yang selalu menampungku di saat-saat paling sulit di dalam hidupku. Punggung hangat yang suatu hari nanti akan dimiliki oleh wanita beruntung calon kakak iparku. “Mas, kalau aku nggak ada mas har—” “Nggak usah ngomong yang aneh-aneh. Selama mas masih hidup kamu nggak akan kemana-mana.” Potongnya tegas. Padahal aku hanya ingin membahas bahwa jika aku tidak ada di rumah dia dilarang masuk ke dalam kamarku dan mencuri makanan ringanku. Tapi pembahasan tentang ‘aku tidak ada’ bagi Argan sangat sensitif. Aku lupa tentang itu dan merasa menyesal mengatakannya karena suasana hatinya tampak buruk. “Maksudnya kalau aku nggak ada mas jangan masuk kamarku karena makananku pada ilang.” Ucapku memperjelas dan berusaha mencairkan suasana. “Makanan kamu siapa yang beliin?” Tanyanya membuatku terkiki. “Mas Argan sih.” Kekehku. “Tapi kan kalau udah di kasih ke aku itu artinya udah jadi milikku dan mas nggak boleh nyuri dong.” Tambahku lagi meneruskan protes. Argan tertawa mendengarnya. “Dasar pelit.” “Biarin.” Kekehku. Sesaat setelah itu Argan menurunkan aku di sofa ruang tv dan merenggangkan tubuhnya karena aku akui menggendongku cukup berat. “Payah, gendong bentar doang udah encok. Mas udah tua nih! Buruan nikah keburu nggak laku.” Cibirku sembari terkikik. Janu yang biasa datarpun ikut tertawa tapi Argan hanya menatapku malas. “Gimana mau nikah kalau kamu aja belum bisa sendirian.” Balas Argan yang seketika langsung membuatku terdiam dengan pura-pura tidak peduli. Kadang aku merasa bersalah karena di umur Argan yang sekarang dia masih harus menjagaku dan tidak bisa bergerak bebas menikmati masa-masa mudanya. Aku tahu Argan tidak pernah tidak tulus dan tidak pernah marah karena keadaanku. Tapi aku seharusnya bisa lebih kuat dan tidak merepotkan banyak orang terus bukan? “Mas nggak lagi nyalahin kamu, mas Cuma becanda.” Tambahnya lagi. Argan memang sangat peka, dia akan langsung tahu perubahan perasaanku sekalipun aku berusaha menutupinya. “Aku tahu kok mas, nggak usah di pikirin.” Kekehku. “Aduhh indah banget yang aku-kamu-an.” Cibir mama kemudian ikut duduk di ruang Tv. Ayah juga datang dengan senyuman gelinya. “Katanya di suruh akur, mama gimana sih.” Protesku membuat mama tertawa. “Tumben nggak mengeram di kamar sambil nyalain musik keras?” Goda ayah. Aku meringis kemudian mendekat ke arah ayah dan memeluknya dengan manja. “Nggak boleh kerja sama mas Argan Yah,” Adu-ku. “Ya bagus dong, coba kamu pikir deh. Waktu kamu buat keluarga jadi kurang loh Stev gara-gara kamu berjam-jam di depan komputer dan mengeram di kamar. Coba diingat lagi, kapan terakhir kamu peluk-peluk Ayah kaya gini?” Jawaban ayah kembali membuatku terdiam. Tersadar bahwa untuk memenuhi harapan semua pembacaku selama ini aku telah kehilangan waktu kebersamaan dengan keluarga. Aku tidak bermaksud seperti itu tapi memang untuk membuat satu BAB cerita kadang di butuhkan waktu berjam-jam apalagi jika di sertai riset. Dan untuk semua yang sudah aku korbankan itu termasuk waktu untuk keluargaku, kadang masih ada orang-orang yang tidak menghargai tulisanku. Jika di pikir ulang, menjadi penulis memang pekerjaan yang sangat menguji mental, kesehatan dan kesabaran. “Maafin Stevi yah, Ayah kangen yah dimanjain Stevi kaya gini?” Ucapku semakin mengeratkan pelukanku pada ayah. “Mas kan selalu bilang, kamu harus punya jadwal tetap dan konsisten jika masih ingin menulis. Pertama kamu nggak boleh begadang jadi jadwal menulis kamu harus siang. Kedua kamu nggak boleh terlalu stress jadi tidak perlu mengejar target yang berlebihan. Dan yang ketiga kamu tidak perlu menyenangkan semua orang Stev! Tulis apa yang kamu suka, apa yang kamu ingin. Kritik dan saran itu penting tapi bukan berarti harus kamu pakai semuanya kan? Kamu juga punya selera kamu sendiri, kamu punya standar kamu sendiri jadi berhentilah mendengarkan orang lain dan berujung membebani kamu dan menguras waktu kamu yang seharusnya bisa kamu gunakan untuk hal yang lebih berguna." Ujar Argan panjang lebar dan aku setuju dengan ucapannya itu sekalipun tidak mudah untuk langsung menerapkannya. “Mama setuju sama Argan Stev, kondisi kesehatan kamu juga kan nggak sama dengan teman-teman kamu. Jadi memang kamu yang harus lebih pintar berurusan dengan waktu supaya bisa terus sehat. Nggak suka kan bikin kami semua khawatir terus?” Mama menanggapi kemudian diangguki oleh papa tanda setuju. Jika sudah seperti ini maka aku sudah tidak bisa lagi membantah. “Iya Stevi akan mulai menulis lagi bulan depan dan berusaha agar tidak begadang dan tidak stress supaya selalu sehat.” Ucapku menjawab semua wejangan berguna dari keluargaku. Di dunia ini memang tidak ada tempat paling nyaman selain rumah dimana di dalamnya ada keluarga yang hangat. Dan aku merasa beruntung karena memilikinya. “Iya, mbak Stev juga jadi jarang bantuin Janu bikin PR sekarang.” Adik kecilku ikut memprotes membuatku tersenyum geli kemudian bergeser ke sampingnya dan mengapit kepalanya hingga dia berteriak protes. “Mbak males bantuin kamu bikin PR, soalnya mbak yang mikir kamu malah main game kan? Adik siapa sih ini nakal banget huh?” Omelku dengan keadaan Janu yang terus berusaha melepaskan diri dari capitan lenganku di lehernya. “Aku adiknya mas Argan bukan adik mbak Stev.” Teriaknya kesal membuatku semakin semangat meledeknya. Jika aku tidak pingsan seperti kemarin dan membuat Argan berubah menjadi monster posesif yang melarangku menulis aku tidak akan tahu bahwa kesibukkanku menulis yang bisa berjam-jam di depan komputer itu ternyata membuat keluargaku merasa kehilangan. Bukankah setiap hal selalu ada yang bisa kita syukuri? Seburuk apapun hal itu? Tapi kemudian aku teringat mengenai si Rein menyebalkan itu yang sepertinya sudah berhasil mengambil hati Argan yang pemilih itu untuk menjadi dokterku setelah dokterku yang sebelumnya pindah ke luar kota. Memikirkan akan sering bertemu dengannya kelak entah kenapa terasa menyebalkan sekaligus membuatku penasaran. Ada perasaan aneh yang cukup mengangguku tentang si Haters tampan itu. Yaitu rasa penasaran yang berlebih. Mungkinkah sebelumnya aku pernah mengenal Rein? Dimulai dari sikapnya yang aneh ketika bertemu denganku di kafe, kemudian kenyataan bahwa Rein mengenal Argan ditambah perasaanku yang memang seperti pernah mengenalnya itu semakin meningkatkan rasa penasaranku akan sosok yang aku tidak menyangka ternyata seorang dokter itu. Siapa sebenarnya Rein? Dan apa hubungannya denganku dulu? Kenapa aku tidak mengingat apapun? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN