Saya Sudah Dewasa

1034 Kata
Rumah Pak Indra ternyata cukup besar. Dia tinggal dengan ayahnya, Pak Kohar. Fakta lainnya adalah ibu kandung Pak Indra sudah pergi dan ayahnya tidak menikah lagi. Kakeknya Pak Indra bersahabat dengan Eyang. Mungkin karena itulah Eyang berwasiat agar aku dan Pak Indra dijodohkan. Dan pihak keluarga Pak Indra sudah menyiapkan seorang pria berpakaian rapi. Aku yakin, ini orang terpandang di daerah ini. "Pak RT, kita mulai saja ya? Semuanya sudah siap," ucap Pak Kohar dan disambut persetujuan yang hadir di sini. Rupanya pria itu Pak RT setempat. Ada juga beberapa orang yang menjadi saksi. "Maksud dan tujuan kami bukan apa-apa, pertama untuk melaksanakan wasiat dari mendiang kedua orang tua kami. Jadi yang namanya wasiat harus segera dilaksanakan. Kedua, berhubung Caca masih duduk di bangku sekolah, maka kita akan melakukan pertunangan terlebih dahulu. Adapun pernikahan secara agama akan dilaksanakan setelah Caca lulus SMA. Hal ini dilakukan menjaga kehati-hatian. Dan untuk mengikat keduanya." Pak Kohar memberikan penjelasan panjang lebar. Mama hanya mengangguk membenarkan apa yang dikatakan ayahnya Pak Indra. Sebenarnya otakku sudah gak bener sejak tadi. Mataku jelalatan tanpa bisa ku cegah. Karena gak dibolehin main ponsel selama acara ini, alhasil aku memilih melihat sekitar. Tentu saja sajian di depanku adalah Pak Indra yang malam ini tampil beda dari biasanya. Di sekolah aku lihat orang ini pakai baju olahraga. Sekarang dia memakai baju yang resmi. Jasnya bagus. Ah, bukan jasnya, tapi orangnya yang bagus. Rahangnya tegas. Alisnya tebal tapi rapi. Bibirnya sumpah, segar dan seksi. Sepertinya tidak suka merokok. Sialan! Otakku makin bertamasya ke alam durjana. Telingaku berdenging dan gak mendengar suara orang-orang yang sedang berbicara resmi. Dan satu lagi, otakku memaksa untuk membayangkan bagaimana kalau beneran aku nikah resmi sama dia ya? Sumpah, aku penasaran bagaimana rasanya dipeluk pria berdada bidang itu. Baru tunangan lho ini, tapi otak semprulku sudah lepas landas kemana-mana. "Maaf, kami tidak bisa menyambut dengan baik, hanya hidangan seadanya saja," ucap Pak Kohar yang sukses membuyarkan lamunanku. Acara tunangan dan tukar cincin sudah selesai. Satu hal yang membuatku merasa heran adalah kenapa Bang Fatih tidak hadir ya? Malah Bang Zein yang cengengesan itu. Ah aku juga baru sadar, Bang Fatih kemana? Kok gak ada? Mungkin nanti aku tanyakan ke Mama saja. "Wah ini sih sudah lebih dari istimewa, apalagi saya dengar Nak Indra pandai masak ya?" tanya Mama. "Benar, Indra sering membantu mendiang ibunya masak saat menyiapkan makan malam." Pak Kohar tersenyum hangat. Beda banget ya sama putranya, udah kaku, pendiam, gak ada senyum-senyumnya sama sekali. Palingan senyum juga bentar banget cuma buat menanggapi ucapan Mama saat mengajaknya bicara. Emang hanya cocok buat bahan berimajinasi nih orang. Kalau buat yang nyata sih kayaknya gak mungkin. Kulkas segede gaban begitu mana mau diajak bersenda gurau kan? Tamu dan Pak RT sudah pulang setelah selesai makan. Mama berdiri lebih dulu, memeriksa jam tangannya, "Aduh, sepertinya saya tidak bisa berlama-lama. Sudah larut malam, terimakasih jamuannya, Pak Kohar. Sangat enak." "Lho, kok buru-buru? Nak Fatih belum kembali?" tanya Pak Kohar. "Tadi katanya ada hal penting yang harus diurus, biasalah masalah kerjaan." Mama memberikan penjelasan. Jadi begitu rupanya Bang Fatih gak ada di sini karena urusan kerjaan ya? "Bu Wida punya anak-anak yang hebat ya? Fatih sudah sukses di usia mudanya, Zein juga tak kalah suksesnya dari Fatih. Dan saya harap juga nanti Caca bisa mendampingi Indra untuk sukses seperti abang-abangnya." "Ah, Pak Kohar terlalu berlebihan." Mama tersenyum malu. Bah, padahal aku tahu dalam hati Mama pasti udah terbang tuh. Anaknya dipuji setinggi genteng. "Oh ya, biar anak kita bisa menjalin kedekatan, biarkan Caca diantar sama Indra saja pulangnya ya?" ucap Pak Kohar. Aku bengong. "Apa?" Mama refleks menyikut lenganku. "Ekspresi kamu berlebihan!" bisik Mama. "Ah, Anda benar, Pak Kohar. Ca, kamu pulang sama Indra ya?" Bang Zein ikut bicara. Matanya meledekku. Dia tahu aku sebenarnya gak mau pulang sama Pak Indra. Kebayang berasa di kuburan kayaknya, huhu. Dengan dorongan semua orang, akhirnya aku benar-benar diantar sama Pak Indra. Dan sumpah, aku sudah menduganya. Suasana di mobil Pak Indra sangat sepi. Dia gak ngomong sama sekali. Aku juga malas ngomong duluan. Ya walaupun dia ini guruku, tapi malam ini kan statusnya lain. Eh tunggu, kok ini bukan jalan ke rumahku? "Pak, kita mau kemana?" tanyaku saat mobil Pak Indra menepi di depan sebuah kafe. "Kita perlu bicara." Singkat banget jawabnya. Mana tanpa ekspresi lagi. Aku gak nyahut lagi. Mending diam dan ikuti saja. Setelah beberapa menit kami hanya duduk berhadapan dalam diam, Pak Indra berdehem kecil. "Ekhm, kamu gak menyesal mengikuti wasiat ini?" tanyanya. "Saya hanya nurut orang tua aja, Pak. Mana berani saya melawan? Apalagi Mama sudah kehilangan Ayah dan juga Eyang. Rasanya saya tidak tega membuatnya kembali bersedih." Pak Indra mengangguk, "Kamu benar. Begitu juga dengan saya. Hanya ingin membuat ayah saya bahagia." "Saya ngerti kok. Anda juga sebenernya tidak menginginkan perjodohan ini kan?" Pak Indra diam. Ia tidak langsung menjawab. "Nanti di sekolah, tolong rahasiakan status kita. Bisa kan?" Pak Indra malah mengalihkan pembicaraan. "Tidak masalah. Lagian itu bagus, Pak. Kalau semua orang tahu kalau saya sudah tunangan, mana ada cowok yang mau deketin saya kan?" "Kamu punya pacar?" "Gebetan banyak, Pak." "Sudah saya duga sih, kamu pasti gak punya pacar." Anjay! Dia meledekku! "Anda salah, Pak. Saya bukan gak laku. Tapi saya punya Abang yang bikin semua teman cowok saya merasa segan." "Fatih?" tanya Pak Indra. "Anda kenal Bang Fatih?" "Dia teman saya waktu SMA." "Ya bagus kalau tahu. Bang Fatih selalu menjaga saya." "Wajar, namanya juga Abang sama adiknya." "Anda sendiri pasti sudah punya kekasih ya?" "Saya pria normal dan sudah dewasa. Kamu pasti mengerti." "Iya saya tahu kok, saya masih anak-anak. Anda sudah dewasa. Ya terserah sih, Anda mau pacaran juga saya gak masalah. Toh, kita hanya tunangan kan?" Kesal, sumpah! Berasa diremehkan sama ini orang! "Intinya, selama kita belum menikah secara resmi, saya gak akan menghalangi kamu untuk berteman dengan siapapun. Tapi satu hal yang harus kamu ingat, jangan coba-coba untuk pacaran melewati batas." "Misalnya?" "Saya yakin kamu sudah mengerti." "Ya kan Anda tahu saya masih anak-anak. Mana mungkin saya tahu kalau gak dikasih tahu dulu?" "Ck, ya intinya pacaran saja yang wajar. Nonton, main atau apalah. Jangan sampai pacaran di hotel atau di kamar. Faham kamu?" "Iya tahu. Anda sendiri bagaimana?" "Saya sudah dewasa." Lah jawabannya cuma itu?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN