Mengingat Masa Lalu

2148 Kata
Karina memutar anak kunci, lalu membuka pintu kaca. "Tante apa kabar?" sapa Adrian ketika Karina muncul di hadapannya.. "Baik, silakan masuk," kata Karina sembari membuka pintu agak lebar agar pemuda itu bisa masuk. Karina kembali menutup pintu kaca itu, dan berjalan ke satu set meja dan kursi. "Silakan duduk. Tunggu sebentar, saya akan buatkan kopi," ucap Karina seraya melangkah menjauh. "Tidak perlu repot-repot, Tan," sela Adrian, tapi sayang Karina sudah lebih dulu bergerak ke ruangan yang lebih dalam. Adrian mengamati ruangan yang berfungsi sebagai toko dan cafe itu. Ada sebuah rak display yang berisi roti dan cake. Lukisan dinding dengan banyak kata estetik, juga sebuah pot yang berisi tanaman hias berada di sudut ruangan, lalu ada beberapa meja dan kursi yang tersedia di sini. Mungkin awalnya ini hanya sebuah toko roti, lalu seiring berjalannya waktu merangkap menjadi cafe. Adrian selesai memindai ruangan setelah melihat tuan rumah datang dengan membawa sebuah nampan. Karina menaruh kopi dan sepiring cake tiramisu di meja, lalu duduk di seberang Adrian. "Terima kasih, kemarin motornya sudah diantar," ucap Karina tulus. "Saya juga mohon maaf, karena tidak bisa mengantarnya sendiri sehingga harus menyuruh orang lain," ujar Adrian menyesal. "Tidak apa-apa." "Bagaimana keadaan Tante dan putri tante? Saya sangat menghawatirkan kalian berdua," tanya Adrian ingin tahu. Sejujurnya dia tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi, takut bila dia akan terkena imbasnya bila yang dia pikirkan benar-benar terjadi. "Kami baik-baik saja, hanya perlu istirahat yang cukup," ujar Karina. "Ini untuk ganti rugi kemarin, mohon diterima," ucap Adrian seraya menyodorkan selembar kertas berisi cek ke hadapan Karina, Wanita itu sontak terkejut. "Eh ... tidak perlu. Itu terlalu berlebihan," tolak Karina halus. "Kami tidak apa-apa. Sungguh." Adrian mengembuskan napas pelan. Wanita di depannya memang hobi menolak sejak kemarin. Pria itu meraih cangkir kopi, lalu meneguknya setelah itu dia pun memotong cake dan menyuapkan ke mulutnya. "Hm, ini enak sekali, Tan," puji Adrian seraya mengunyah pelan cake yang ada di mulutnya. "Oh, benarkah?" tanya Karina antusias. "Teksturnya lembut, rasanya pas," ucap Adrian lagi, memuji cake tiramisu buatan Alisha. "Itu cake buatan putriku," kata Karina. "Wah, hebat!" "Dia memang hebat," puji Karina. "Um, kenapa saat ini sepi?" "Kami tutup hari ini." "Oh, begitu." "Astaga!" Adrian menepuk dahinya keras. "Ada apa?" tanya Karina khawatir dengan apa yang dilihatnya. "Aku baru sadar, kalian tutup hari ini karena Tante kecelakaan kemarin. Benar kan?" "Oh, itu ...." Karina merasa tak enak untuk menjawab. "Itu sebabnya, Tante harus menerima ini." Adrian kembali menyodorkan cek ke hadapan Karina. "Please, Tan. Jangan menolak lagi," mohon pria itu mengiba sekali lagi. Karina tak bisa berkata-kata lagi selain menerima cek yang disodorkan oleh pria di depannya. "Terima kasih ... um, maaf aku belum mengenal namamu," ucap Karina malu. "Adrian," balas pria itu cepat. "Oh, ya. Terima kasih, Adrian. Aku Karina dan putriku Alisha dan Kyara," ucap Karina memperkenalkan diri. "Alisha?" Adrian merasa terkejut mendengar nama yang baru saja diucapkan oleh wanita di depannya. "Dia putri angkatku, saat ini dia sedang keluar," terang Karina lagi. Ucapan Karina barusan membuat memori yang telah lama terkubur di dasar hatinya kini mencuat kembali keluar. Alisha adalah masa lalu terkelamnya, entah bagaimana dengan gadis itu sekarang. Apakah ini Alisha yang sama atau berbeda? Karena setahu Adrian, Alisha-nya masih memiliki keluarga lengkap dan setiap kali dia berkunjung ke rumah gadis itu beberapa tahun lalu selalu mendapat perlakuan buruk. Diusir dan dimaki. Adrian kembali memutar kejadian yang terjadi beberapa tahun lalu. Tak lama pintu kayu jati berwarna cokelat itu terbuka menampilkan wajah wanita setengah baya yang masih terbilang cantik. "Ada apa?" tanya wanita itu yang tak lain adalah Widya, Ibunda Alisha, kekasih yang dia tinggalkan setahun belakangan ini. "Saya ingin bertemu dengan Alisha, Tante," ucap Adrian tanpa basa basi. "Alisha?" tanya Widya. Tiba-tiba raut wajah wanita di depannya berubah sedih. "Siapa yang datang, Bu?" Terdengar suara berat dari dalam rumah bertanya. Seorang pria paruh baya muncul di belakang tubuh Widya. Wajah pria itu terlihat tegas. "Ada apa?" Kembali pria itu bertanya dengan suara lantang, kali ini kepada Adrian. "Saya mencari Alisha, Om," jawab Adrian. Perasaannya mulai tak enak. "Kamu?" Sofyan menunjuk wajah pemuda di depannya dengan tatapan nyalang. Pria itu yakin sekali kalau pemuda di depannya adalah kekasih yang telah menghamili putrinya. Adrian tersentak dengan ucapan pria yang merupakan Ayah Alisha itu. "Pergi kamu dari sini! Jangan injak rumah ini lagi!" hardik Sofyan pada Adrian yang masih terkejut dengan bentakan pria paruh baya itu. "Boleh saya bertemu dengan Alisha, Om? Saya ingin memohon maaf padanya," pinta Adrian mengiba, dilihatnya Ibunda Alisha yang berdiri di belakang tubuh suaminya mulai menangis sesenggukan. "Ada apa ini?" batin Adrian bertanya. "Saya bilang pergi, sekarang juga!" Kembali Sofyan berkata tegas dengan suara menggelegar. "Om tolonglah, saya ingin meminta maaf pada Alisha," ucap Adrian lagi, mengiba. "Pergi! Dasar b******k! Laki-laki tidak bertanggung jawab!" "b******n! Tidak tau diri!" Sofyan kembali mencaci maki pria muda di depannya. Adrian tak membalas semua hinaan dan caci maki yang dilontarkan oleh Ayah Alisha ke padanya. Dia menerima semua itu karena itulah hal yang pantas dia dapatkan setelah menelantarkan Alisha dan calon bayi mereka. Adrian sadar apa yang telah diperbuatnya pada Alisha adalah hal yang tak bisa dimaafkan. Namun, saat ini dia ingin menebus semua kesalahannya dan berharap gadis itu masih mau memaafkan dirinya. Adrian tersungkur di depan teras karena Sofyan mendorong tubuhnya kasar. "Dasar budeg! Disuruh pergi malah tidak pergi-pergi!" hardik Sofyan kasar. "Masuk, Bu!" titah Sofyan kepada istrinya yang masih sesenggukan. Widya pun menurut tanpa membantah sedikit pun perintah suaminya. Terdengar bunyi pintu yang dibanting kasar oleh tuan rumah. Adrian masih terduduk di atas lantai teras, masih berpikir keras. Dia akan kembali ke sini besok untuk mendapatkan maaf dari Alisha, itu tekadnya. Akan tetapi, setiap kali datang ke rumah ini di hari selanjutnya yang dia dapatkan hanya sebuah pengusiran dan hinaan dari Ayah Alisha. Sampai-sampai pria paruh baya itu berkata sesuatu yang membuat Adrian tercengang. "Kalau kamu mau cari Alisha, cari kuburannya sendiri jangan datang lagi ke sini!" "Apa?" Adrian tercengang dengan ucapan pria itu. "Apa yang telah dikatakan pria itu?" batin Adrian berteriak. "Apa anda telah bergurau, Om?" tanya Adrian hati-hati. "Apa saya terlihat sedang bercanda?" Sofyan bertanya balik kepada Adrian. "Anda tidak sepantasnya mengatakan seperti itu, apa lagi pada putri anda sendiri." "He! Bocah! Mau mengajari saya, ya?" hardik Sofyan. "Maaf, Om. Bukan maksud saya seperti itu ...," ujar Adrian membela diri. "Kamu lupa apa yang telah kamu perbuat pada Alisha, ha?! Bukankah perbuatan yang kamu lakukan lebih-lebih tidak pantas!" Memang benar apa yang dia lakukan kepada Alisha tidaklah pantas. Dia pun menyadari sudah menjadi laki-laki yang pengecut. "Adrian!" Adrian tersentak dengan panggilan dari Karina. Pria itu kembali mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu. Kejadian yang selalu membekas dan tak akan pernah dia lupakan. "Maaf, Tan. Saya malah melamun," ucap Adrian menyesal. "Kau tak apa? Mau ku ambilkan air mineral?" tanya Karina. "Boleh, maaf kalau merepotkan," ujarnya sungkan. "Tidak apa-apa. Tunggu sebentar." Karina melangkah menuju kitchen. Adrian kembali memindai ruangan yang tidak begitu luas ini. "Alisha," lirih pria itu. Nama putri Karina kembali mengingatkan akan cinta masa remajanya dulu. Tak lama berselang Karina kembali menemui Adrian dengan membawa segelas air mineral di tangannya. "Silakan," ucap Karina ramah menaruh gelas di hadapan Adrian. "Terima kasih, Tan," balas Adrian seraya meraih gelas yang di sodorkan Karina dan meneguknya hingga tersisi setengah gelas. ** Alisha masih berdiri mematung di halaman rumah orang tuanya sejak gadis itu turun dari taksi tadi. Dia masih mengumpulkan keberanian untuk kembali mengetuk pintu jati itu. Setelah dia benar-benar meyakinkan diri, barulah dia mulai membawa kakinya untuk melangkah ke teras rumah. Kembali jantung gadis itu berdetak lebih cepat dari biasanya. Alisha mencoba membuat dirinya setenang mungkin. Tak lama setelah Alisha mengetuk, pintu di depannya terbuka menampilkan sosok wanita yang disayanginya. "Alisha." Widya tercengang begitu tahu siapa yang kini berdiri di depannya. "Masuk, Sayang," ajak Widya lagi seraya meraih tangan putrinya. Alisha pun menurut dan berjalan di belakang Ibunya yang mengandeng tangannya. Pagi ini rumah orang tuanya terlihat lengang, sudah pasti sang Ayah sedang berada di pabrik begitu juga dengan Revan, Kakaknya. Jadi, Alisha bisa bebas bercengkrama dengan sang Ibu. Keduanya duduk di sofa ruang tamu, Alisha menaruh paper bag berisi cake kayu manis yang dia buat Subuh tadi. Dia membuat dua, satu untuk Kyara dan satunya lagi untuk dibawa ke rumah orang tuanya. "Apa itu, Sayang?" tanya Widya ketika Alisha menaruh paper bag di meja. "Sha membuat cake kayu manis tadi sebelum ke sini, dan ingat kalau Ayah sangat suka cake itu. Entah sekarang masih suka atau tidak," ucap Alisha. "Tentu saja cake itu masih cake kesukaannya, Ayah pasti suka," ujar Widya meyakinkan. "Semoga saja, Bu." Harap Alisha. "Revan mengatakan pada Ibu kemarin." "Mengatakan apa?" "Tentang ... Kyara," ucap Widya hati-hati. Beberapa malam lalu ketika Revan mengantar Alisha pulang, pria itu menceritakan tentang kehidupan Alisha bersama putri dan Ibu angkatnya. Widya sangat antusias ketika mendengar penuturan dari putra sulungnya itu. "Ibu ingin sekali berjumpa dengan cucu Ibu, Sha," ucap Widya lirih. Alisha mendekap sang Ibu. Gadis itu ingat benar ketika melewati hari-hari kehamilan tanpa dukungan keluarga hanya ada Karina seorang, itu pun Alisha masih terlalu canggung karena belum begitu mengenal Karina. Banyak hal-hal buruk yang berputar-putar di kepalanya kala itu. Ketakutan bila tiba saatnya melahirkan, atau takut bila bayinya dicu lik oleh Karina, sebab yang dia tahu Karina adalah wanita yang ditinggalkan suaminya karena tak bisa punya anak. Akan tetapi, semua itu hanya sebuah over thinking semata. Ekspektasi Alisha terhadap Karina terbantahkan, realitanya Karina sangat banyak membantu dan terlebih menyayangi dia dan putrinya. Bahkan, menyerahkan toko kue pada Alisha, gadis itu benar-benar menyesal dengan semua prasangka-prasangka negatif yang sempat diyakininya. "Kapan-kapan, Sha, bawa Kyara ke sini. Tapi ...," ucap Alisha ragu. Takut bila Kyara terkena imbas dari kekecewaan Ayahnya. "Tidak apa-apa, Sha, tidak mungkin Ayah akan mengusir cucunya sendiri," sergah sang Ibu menenangkan Alisha agar tidak menyerah untuk terus meluluhkan hati Ayahnya. "Baik, Bu, Sha akan bawa Kyara nanti kalau dia sudah sembuh benar." "Dia sakit, Sha?" Alisha menyesali perkataannya barusan yang main asal ceplos tanpa berpikir dulu. "Eh, itu ... kemarin Tante Karina dan Kyara kecelakaan." Alisha berucap jujur. "Ya, ampun. Benarkah, bagaimana keadaan mereka?" tanya Widya kaget. "Beruntung tidak ada luka serius hanya beberapa luka gores di lutut dan tangannya saja, begitu juga dengan Tante Karina," ungkap Alisha. "Oh, syukurlah. Ibu ingin segera bertemu dengan Kyara dan Karina, untuk mengucapkan banyak terima kasih karena sudah hadir untukmu, Sha." Alisha menggenggam jemari Ibunya, senyum terbit dari bibirnya yang tipis. "Pasti, Bu. Ibu akan bertemu dengan mereka secepatnya," ucap Alisha dengan senyum merekah. "Kamu lagi!" Alisha dan Widya terkejut mendengar suara lantang dari arah pintu yang sengaja terbuka sejak tadi. Wajah Alisha berubah sendu, dia akan kembali terusir kali ini. Sofyan berjalan cepat ke arah sofa yang tengah diduduki oleh Widya dan Alisha. "Yah, biarkan Alisha di sini." Widya berdiri menghalang Alisha ketika suaminya sudah berada di depan mereka. "Tidak bisa! Dia sudah bukan lagi bagian dari keluarga ini. Minggir!" hardik Sofyan kasar pada istrinya. "Kali ini aku tidak akan diam saja, melihat putriku dikasari!" seru Widya dengan amarah yang meradang. "Aku tidak peduli kamu mau melindungi dia atau semacamnya, yang jelas aku tidak sudi dia berada di rumahku!" "Bu," panggil Alisha di belakang Widya. Gadis itu merasa buruk melihat pertengkaran yang ada di hadapannya akibat ulah dirinya. Sofyan berhasil mencengkeram pergelangan tangan Alisha dan menyeretnya kembali seperti beberapa waktu lalu. "Ayah, maafkan Sha, Yah," rintih Alisha ketika Sofyan menyeret tubuhnya. Widya menahan tubuh Alisha agar suaminya kesulitan menyeret putrinya keluar rumah. "Tidak tahu diuntung! Pergi!" Kembali Sofyan mencaci Alisha. Widya masih menahan tubuh Alisha di sampingnya, kedua wanita itu saling merangkul dan menangis bersamaan. Kemudian, Sofyan menarik tangan Alisha dengan paksa sehingga rangkulan tangan Widya di pinggang Alisha sontak terlepas. Alisha jatuh terjerembab di lantai ruang tamu, secepat kilat gadis itu melingkari tangannya di kaki sang ayah dan memohon maaf. "Lepaskan sialan!" maki Sofyan murka. Alisha masih memeluk kaki Sofyan tanpa mau melepaskannya walaupun sang Ayah terus mendorongnya agar menyingkir. Tangis gadis itu terdengar pilu, Widya pun tak sampai hati membiarkan putrinya diperlakukan seperti layaknya penjahat. Napas Sofyan naik turun, amarah masih berkobar di dadanya. Entah sampai kapan kemarahan untuk putrinya hilang dalam dirinya, mengingat kejadian sepuluh tahun lalu membuat dirinya merasa murka. "Sudah, Yah, cukup!" raung Widya terduduk di belakang Alisha. "Sampai kapan menyimpan kebencian pada putrimu sendiri? Ingat dia putri kandungmu, darah dagingmu, Yah." Sofyan bergeming di tempatnya. Tak bisa dia pungkiri bahwa hatinya pun merasakan sakit yang luar biasa ketika dia mengusir bahkan mencaci anaknya sendiri. "Ampuni Alisha, Yah, sudah cukup dia mendapat hukumannya selama sepuluh tahun ini. Aku mohon, Yah, ampuni putrimu ...." Widya memohon dengan suara bergetar. "Lepaskan," ucap Sofyan dengan suara lemah. Emosi yang sempat menguasai dirinya kini menguap entah ke mana. Alisha melepas pelukan tangannya dari kaki sang Ayah. Gadis itu menatap wajah sang Ayah yang kini telah berbeda, tak ada kemarahan di wajah tua itu. "Kau boleh datang ke sini sesuka hati dan menemui Ibumu." Sofyan melangkah pelan meninggalkan ruang tamu, lalu masuk ke ruang kerjanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN