Kecelakaan

1172 Kata
Alisha memasukkan kue yang baru saja dihias ke dalam display cake. Semenjak tinggal bersama Karina, gadis itu semakin pandai membuat bermacam-macam cake. Banyak yang memuji cake buatannya tak kalah nikmat dari buatan chef-chef ternama. Selain pandai mengolah cake, Alisha juga cantik dan memiliki daya pesona yang menarik kaum adam. Tak heran, banyak pelanggan dari mulai mahasiswa dan pegawai kantoran pun terhipnotis oleh cake buatan dan kecantikan gadis itu, tak terkecuali Evan. Tetapi sayangnya, hati gadis itu seakan membeku akibat cinta masa lalu yang membuatnya trauma untuk membuka hati lagi. Dia masih membutuhkan waktu untuk menyembuhkan luka hatinya. Pagi ini Karina sedang ingin mengantar Kyara ke sekolah, jadi Alisha yang menjaga toko hingga menjelang siang karena Ibu angkatnya itu tidak akan pulang lebih dulu melainkan menunggu Kyara sampai jam pelajaran habis. Karina dan Alisha hanya memiliki satu pegawai yang membantu di toko mereka. Sejauh ini mereka mampu menghandle toko hanya dengan tiga orang, bahkan Kyara pun bisa sangat membantu di kala toko sedang sibuk. "Pagi," sapa seorang pria yang langsung memilih duduk di depan konter cake. Alisha sudah tak merasa kaget lagi dengan siapa yang datang di awal hari. Tanpa menoleh pun, gadis itu sudah hapal dengan si pemilik suara berat dan serak itu. "Kopi dan pai buah?" tawar Alisha dengan senyum cerah secerah langit pagi hari ini. "Aku ingin mencoba sesuatu yang lain," ujar pria pemilik rahang tegas itu seraya menopang tangan di dagunya. Alisha melirik cake yang ada di dalam display dan mulai mengabsen. "Pagi ini kami punya, Chese cake, Lava cake, Brownies marble, dan pai buah mini." "Aku ingin sekali pan cake yang disiram madu, lalu ditaburi gula halus, dan dihias dengan buah beri di atasnya," ujar pria itu menawar yang lain. "Oke, tunggu dua puluh menit lagi, aku kembali!" kata gadis itu ketus. Pria itu tertawa terbahak-bahak melihat gadis pujaan hatinya mencebik kesal. Ya, Evan paling ahli membuat gadis itu kesal. Tak lama, Alisha kembali ke depan dengan membawa nampan berisi sepiring pancake pesanan Evan. "Silakan dinikmati, Tuan muda," ucap Alisha dengan senyum miring. "Terima kasih, Sayang," balas Evan sumringah. Evan meletakan ponselnya di sebelah piring yang berisi pancake miliknya. Pria itu memotong pancake ukuran sedang, lalu menyuapkan ke mulutnya. "Um, manis sekali, seperti pembuatnya," goda Evan. Alisha mencubit lengan pria yang saat ini memakai kemeja berwarna biru navy yang di gulung. Bersamaan dengan dua orang pelanggan yang masuk ke cafe. "Aw! Sakit, Sayang," ringis Evan berpura-pura. Alisha melotot tajam dan meninggalkan pria itu, lalu keluar dari konter untuk menanyai pesanan pelanggan yang baru masuk. "Ada-ada saja!" sungut Alisha seraya melangkah menghampiri ke meja pelanggan. "Selamat pagi, apa sudah siap memesan?" sapa Alisha ramah. "Boleh, Kak," ucap gadis berkuncir dua yang datang bersama temannya seraya menyebutkan pesanannya. ** "Kenapa bercerai?" tanya Robby pada putranya, Adrian, yang tengah menikmati makan siang di rumahnya. "Dia tidak bisa memberikan keturunan," jawab Adrian tanpa menoleh ke arah Robby yang menatapnya tajam. Robby menoleh ke arah Sofia, istrinya, wanita itu hanya menggeleng tanda tidak tahu lagi harus berkata apa. "Lagi pula aku juga tidak mencintainya," tambah Adrian lagi. Robby menaruh sendok dan mendorong piring yang masih berisi sisa makanan itu sedikit ke depan. Kemudian melipat tangan di meja, mulai serius dengan percakapan dengan putra semata wayangnya. "Kenapa tidak membicarakannya pada kami lebih dulu?" tanya Robby tak terima. "Untuk apa? Aku yang menjalani pernikahan ini, lalu untuk apa aku meminta pendapat Mama dan Papa," balas Adrian sengit. "Adrian!" teriak Sofia tidak terima dengan balasan putranya. Robby mengusap lengan istrinya lembut seraya menggeleng pelan. Pria paruh baya itu tidak ingin ada ketegangan di meja makan. "Jadi, kau sudah mantap bercerai dengan Tania?" Kembali Robby bertanya tenang. "Pengacaraku sudah mengurus semua, kami tinggal menunggu surat keputusan saja. Tania pun sudah setuju," ungkap Adrian. Adrian dan Tania menikah atas dasar perjodohan antara sahabat lama antara orang tuanya dan orang tua Tania. Papa dan Mama Adrian menginginkan Tania untuk menjadi menantu mereka dan berharap wanita itu memberikan cucu-cucu cantik dan tampan. Secara Adrian adalah anak tunggal mereka, Robby dan Sofia menginginkan bibit, bebet, dan bobot yang terbaik pilihan mereka. Ternyata mereka salah. Pernikahan sudah berjalan dua tahun, Tania pun belum ada tanda-tanda untuk hamil. "Tidak bisakah kalian mencari solusi lain, untuk mendapatkan anak? Menurutku bercerai bukanlah pilihan yang terbaik, apa lagi pernikahan kalian baru berjalan dua tahun. Itu masih baru sekali," ucap Robby yang kecewa dengan keputusan sang putra. Entah apa yang akan keluarga Tania katakan nanti tentang perceraian putra putri mereka. Sejujurnya Robby sangat malu bila nanti berhadapan dengan Irwan, Papa Tania, yang merupakan sahabat kentalnya dulu semasa kuliah. Perjodohan Adrian dan Tania, di harapkan untuk mempererat tali kekeluargaan antara dua keluarga. "Mengadopsi anak, begitu?" balas Adrian. "Bukankah ada cara lainnya," elak Robby skeptis. "Kami sudah melakukan semua, dan Dokter mengatakan bahwa Tania tidak bisa hamil!" ucap Adrian tegas. Robby dan Sofia terkejut dengan ucapan putranya. "Benarkah?" tanya Sofia tak percaya. "Mama bisa tanyakan langsung padanya." Adrian mengambil gelas yang berisi air mineral dan meneguknya hingga tersisa setengah. Sofia masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh putranya. Bisa jadi ini hanya akal-akalan Adrian untuk bercerai dari Tania. Memang setahu dirinya putranya itu tidak mencintai gadis pilihannya, tapi apakah waktu dua tahun yang mereka lewatkan sama sekali tidak menumbuhkan rasa cinta di antara keduanya? "Aku pergi dulu, Ma," ucap Adrian sembari mengecup pipinya. "Hati-hati, Sayang," balas Sofia yang menatap kepergian putranya dengan wajah yang sulit dimengerti. Adrian menerima perjodohan yang diatur oleh orang tuanya tak lain karena sebuah jabatan yang dijanjikan oleh sang Papa. Walaupun dia tahu, banyak dari saudara dan keponakan Papanya yang dengan bangga memamerkan gelar terbaiknya untuk mengincar posisi di perusahaan yang di kelola oleh Papanya sejak dulu. Jalanan siang ini lumayan ramai dengan didominasi oleh kendaraan roda dua. Setelah membahas perceraiannya dengan kedua orang tuanya, Adrian sedikit lega, pasalnya bila dia mengutarakan keinginannya sebelum mengurus semuanya Mama dan Papanya pasti akan menentang keputusannya. Ponsel yang ada di saku jasnya bergetar tanda panggilan masuk. Adrian mengambil benda pipih itu, lalu menekan warna hijau di layarnya. "Ya?" sapanya pada si penelepon di sebrang sana. "Di mana?" tanya si penelepon. "Di jalan, kembali ke kantor," balas Adrian. "Oke." Sambungan telepon terputus, ketika akan menaruh ponsel di dashboard benda pipih itu tak sengaja terlepas dari tangannya dan jatuh ke dekat kakinya. Tangannya mencoba meraih ponsel yang jatuh di bawah, tapi ... "s**t!" umpat Adrian, lalu menepikan mobil di trotoar jalan raya. Adrian keluar dari mobilnya dan berjalan cepat ke arah motor yang tergeletak di jalan akibat tersenggol oleh mobilnya tadi. Beberapa orang sudah berkerumun untuk membantu korban yang ternyata seorang Ibu dan anaknya. "Tanggung jawab, Mas! Bawa si Ibu sama anaknya ke rumah sakit," kata salah seorang saksi mata. "Bener tuh, awas jangan sampe kabur!" teriak salah seorang lainnya yang ada di situ. "Tolong bawa ke mobil saya," pinta Adrian berusaha tenang. Seorang warga membawa motor milik si Ibu ke rumah sakit yang akan di tuju. Adrian mengarahkan mobilnya mengikuti motor di depannya. "Seharusnya tidak perlu ke rumah sakit. Kami tidak apa-apa, hanya luka gores saja," ucap Karina seraya mengusap wajah Kyara yang sempat menangis tadi akibat terkejut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN