"Selamat pagi rekan-rekan guru yang terkasih ..."
Luna duduk tertunduk di kursinya, menahan kantuk yang menderanya sejak memasuki Devotional Room pagi ini. Luna sengaja memilih untuk duduk di barisan paling belakang dan kursi paling ujung agar tidak akan ada yang menyadari jika dia jatuh tertidur. Setiap pagi, sebelum memulai semua rangkaian aktivitas sepanjang satu hari, semua guru memang akan berkumpul untuk melakukan ibadah bersama.
"Ada tujuh pokok doa yang akan kita doakan pagi ini ..."
Luna memang bukan gadis yang rohani, tetapi bukan berarti dia juga termasuk gadis yang sesat. Biasanya Luna akan mengikuti ibadah pagi dengan ikhlas, namun kali ini dia benar-benar sulit berkonsentrasi. Salahkan Domi yang menahannya hingga pukul empat tadi subuh. Hingga Luna baru kembali ke apartemennya pukul setengah lima, dan hanya memiliki waktu untuk memejamkan matanya selama satu jam. Maka saat ini, matanya terasa sangat berat dan kepalanya berdenyut-denyut minta diistirahatkan.
"Yang pertama mari kita berdoa untuk ..."
Cobaan pagi ini semakin bertambah karena hari ini jadwal Mr. Mardiono yang memimpin ibadah pagi. Beliau adalah guru senior yang terkenal senang berbicara, kalau sudah bicara tidak bisa berhenti meski lawan bicaranya sudah lenyap.
"... biarlah kiranya ..."
Suara Mr. Mardiono yang mendayu-dayu sukses menghantarkan Luna sedikit terbang ke alam mimpi. Kepala Luna bergoyang ke kanan, kemudian ke kiri dan berhenti ketika terantuk pada bahu kurus Jenny.
"... agar kiranya mereka ..."
Luna kembali tersadar ketika lengan Jenny menyikut rusuk kirinya, dan menimbulkan sensasi nyeri. Namun efek terkejut itu hanya bertahan sekitar 17 detik, karena di detik yang ke 18 kepala Luna mulai kembali bergoyang ke kanan dan ke kiri lagi. Dan kepalanya yang bebal begitu menyukai bahu Jenny yang kurus dengan tulang yang menonjol itu.
"... mari kita doakan juga untuk ..."
Luna kembali tersadar ketika pelipis kirinya beradu dengan tulang Jenny yang tajam mencuat. Aduh, Tuhan ... Maafin Luna ya, tapi Luna ngantuk banget. Luna janji gak akan begadang di hari kerja lagi.
Diliriknya jam tangannya. Waktu ibadah sudah berjalan sekitar dua puluh menit, namun Mr. Mardiono baru sampai pada pokok doa nomor 3. Bagaimana caranya menyelesaikan empat pokok doa lainnya dalam lima menit ke depan? Mustahil.
"Khusyuk banget doa lo, Lu!" bisik Jenny dengan nada mengejek ketika akhirnya penderitaan itu berakhir.
"Iya, dong!" Luna hanya cengar-cengir menanggapi sindiran Jenny.
"Untung gak ketauan sama Madam lo, Lu. Bisa kena ceramah soal integritas de-el-el," Jenny memasang mimik wajah ngeri.
"Rese, lo. Masuk kelas sono, udah telat tuh!" Luna mendorong bahu Jenny dan berbalik meninggalkannya.
***
Siksaan hari itu terus berlanjut hingga siang. Luna harus terus mengajar dengan kepala yang berdenyut-denyut dan telinga yang berdengung.
"Jadi menurut kalian, hewan ternak itu yang seperti apa?" Luna bertanya setelah menjelaskan materi tentang kegiatan ekonomi dalam bidang agraris.
"Yang bisa dipake, Miss." Niel menjawab dengan bersemangat.
"Hmm, dipakai? Sepertinya kurang tepat, tapi terima kasih sudah mencoba Niel. Ada yang punya jawaban lain?" Luna mengedarkan pandangannya ke sekeliling. "Ya, Sammy?"
"Yang bisa dimanfaatkan hasilnya, Miss." Sammy menjawab dengan malu-malu.
"Oke! Ini lebih tepat. Thank you, Sammy. Sekarang Miss Luna mau tanya lagi. Kalian tahu tidak peternakan apa saja yang ada di Indonesia?" Sebagai guru, Luna harus banyak-banyak melemparkan pertanyaan dan menanggapi respon anak-anak.
"Peternakan sapi, Miss." Kini giliran Sasha yang menjawab.
"Good. Kalau sapi apa saja yang bisa dimanfaatkan hasilnya, Sha?" pancing Luna.
"s**u, Miss. Dagingnya juga," jawab Sasha lagi.
"Kulitnya juga, Miss." Gerry menimpali.
"Selain sapi, apalagi?"
"Ayam, Miss!" Livy berteriak keras dari belakang.
"Kalau ayam diambil apanya?"
"Banyak, Miss. Bulu, daging, telur." Livy ini memang selalu bersemangat, tetapi untungnya jawabannya hampir selalu benar.
"Ada yang tahu lagi?" Luna melirik jam tangan dan melihat waktu tinggal tersisa lima menit lagi.
"Singa, Miss!" jawab Raffa dengan yakin.
"..." Zinggg! Seketika kelas hening.
Luna mengernyit seketika. Apakah pendengarannya salah karena sudah terlalu pusing menahan kantuk? Luna mengedarkan pandangannya dan mendapati tatapan kebingungan yang sama dari para murid lainnya. Sepertinya dia tidak salah dengar. "Singa? Raffa, kan tadi sudah dibahas, kalau hewan ternak itu yang dapat diambil hasilnya. Kalau singa itu diambil apanya?"
"Kulitnya," jawab Raffa yakin.
"..." Sabar Luna, sabaarr ...
"Memang kulitnya dijadikan apa, Raffa?"
"Itu, Miss. Yang diawetin itu." Raffa mulai terdengar tidak sabar.
"..." Ni anak maksudnya singa yang mati terus kepalanya diawetin gitu apa ya?
"Setelah diawetkan terus dibuat jadi apa?" Luna masih penasaran.
"Ya banyak, Miss. Misalnya itu lho, jadi tas. Jadi mantel." Kini Raffa mulai frustasi karena semua temannya memandangnya dengan kebingungan.
"..."
Jrengg!!! Whatt?! Ya kali. Ini gue yang kudet apa gimana ya?
"Bentar, Miss. Raffa, emang kulit singa yang kayak apa?" Chris yang duduk tepat di depan Raffa tiba-tiba menyela.
"Itu lho, yang loreng-loreng. Masa kamu gak tahu sih?" seru Raffa jengkel.
Jederrr!!! Seketika suasana kelas riuh dengan suara gelak tawa karena ulah Rafa. Rupanya anak ini salah membedakan antara singa dengan macan. Lengkaplah sudah kelelahan Luna sepanjang hari ini.
Kepala Luna seakan siap meledak dan pecah. Beruntung bel tanda pergantian pelajaran berbunyi, dan Luna segera melesat melarikan diri. Luna berjalan menuju studio tari, tempat persembunyiannya, berharap bisa mengistirahatkan kepalanya untuk sejenak.
Luna membuka pintu studio tari, dan terkesima dengan pemandangan di hadapannya. Pemandangan indah yang menggoda iman dan jarang ditemukan di sekolah ini. Seorang pria muda nan tampan tengah menari dengan sangat luwes.
Pria muda itu berputar dan menyadari ada penghuni lain di sana yang tengah memandanginya. Dia segera menghentikan kegiatannya dan tersenyum ramah.
"Hai!" sapa pria itu ceria sambil melambaikan tangannya.
Luna terpaku di tempatnya berdiri, menatap makhluk Tuhan paling seksi yang pernah ditemukannya di Nada Pesona. Ini gue mimpi apa halusinasi? Atau gue digoda setan centil sore-sore?
"Hmm. Maaf saya mengganggu." Luna berdiri kikuk di depan pintu. Ada hal-hal yang dapat membuat Luna menjadi gugup, salah satunya adalah pria berwajah tampan dengan senyum menawan seperti ini.
"Tidak masalah. Kamu siapa? Murid sekolah ini?" Pria itu berjalan mendekat.
"Bukan. Saya guru di sini." Luna menggeleng cepat. Entah dia harus merasa senang atau tersinggung. Senang karena berarti wajahnya awet muda, atau tersinggung karena dirinya dianggap masih bocah. Ternyata orang beneran! Ya, Lord! Menggoda iman banget ini orang. Cepet banget doa Luna dikabulin, baru semalem make a wish, sekarang udah nongol jawabannya!
"Wow! Sorry. Muka kamu imut banget, saya kira murid SMA." Pria itu menggaruk kepalanya merasa tidak enak.
"Nggak apa-apa." Luna tersenyum manis, menikmati pemandangan indah di hadapannya. Jarang-jarang ada makhluk Tuhan yang indah model begini di sini, biasanya lecek kucel semua.
Pria itu mengulurkan tangannya. "Nate. Pelatih modern dance di sini."
Luna menyambut uluran tangan Nate. "Luna."
"Kamu guru baru?"
"Ya. Baru beberapa bulan. Kamu juga?" Maklum, ini pertama kalinya Luna melihat Nate di sini. Padahal radar Luna selalu berfungsi dengan baik kalau berurusan dengan pria tampan.
"Nggak, saya udah tiga tahun ngajar di sini."
"Ohh ..." Tanpa sadar wajah Luna mendadak terlihat bodoh.
Nate segera menangkap kebingungan Luna. "Tapi saya cuti semester lalu, ikut short course di Singapura. Btw, kamu kenapa ke sini?"
"Nggak ada urusan penting sih. Saya cuma suka aja duduk-duduk di ruangan ini sendirian kalo udah sore begini."
"Kok aneh?"
"Haha ... Melarikan diri dari kekusutan di lantai bawah. Tiap kali lagi stress, pasti ke sini. Tapi baru pernah ketemu kamu. Maaf ya ganggu kamu latihan."
"It's okay! Kamu mau ditinggal sendiri di sini?" Nate menawarkan diri.
"Ditemenin juga boleh," sahut Luna jahil.
"With a pleasure, Lady! Lagi butuh temen buat cerita ya?"
"Mungkin." Luna mengangkat bahunya.
"Suntuk kenapa?" Nate memiringkan kepalanya memperhatikan Luna.
Ini anak nggak ada tampang banget buat jadi guru. "Stress ngajar."
"Emang gak suka ngajar?"
"..." Luna terlihat berpikir. Apakah aman jika mengatakan yang sejujurnya pada Nate?
"Cerita aja. Saya orang luar kok di sini, bukan guru. Tenang aja." Nate berkata menenangkan.
"Pusing sama tanggung jawabnya. Bosen sama rutinitasnya."
"Kenapa dong mau jadi guru?" tanya Nate heran. Kalau dia sendiri, karena statusnya bukan buru, jadi tidak terikat beban tanggung jawab yang besar.
"Terpaksa." Luna menyeringai.
"Lho?"
***
--- to be continue ---