Satu jam sudah Neva berdiri di balik jendela dengan tirai tertutup rapat. Tubuhnya bersandar pada dinding, seolah mencari penopang agar tidak runtuh oleh berat perasaannya sendiri. Air mata yang sempat ia tahan kini jatuh tanpa bisa dicegah, mengalir di pipi sembari dadanya sesak oleh rindu bercampur amarah. Sesekali ia menutup wajah dengan kedua tangannya, berusaha menenangkan hati, namun bayangan wajah Vartan yang duduk di depan pintu terus saja menghantui pikirannya. “Kenapa kamu tidak bisa bersikap tegas, Vartan?” bisiknya lirih, penuh getir. Ia mencintai pria itu dengan seluruh hati, namun hatinya juga terluka berkali-kali. Vartan terlalu lembut, terlalu menurut pada keadaan, terutama pada ibunya, hingga Neva merasa dirinya selalu menjadi pilihan kedua. Ia ingin percaya, ingin berta