“Halo, ya, Bu, ada apa?” ucap Vartan segera setelah menekan tombol hijau di ponsel.
“Kamu sudah pulang dari penerbangan? Nanti malam pulang ke rumah, ya. Ibu ingin bicara denganmu.” Suaranya lembut tapi terdengar tegas dari seberang.
Vartan menarik napas panjang. “Ada apa, Bu? Bicarakan saja sekarang.” Nada suaranya terdengar setengah memohon, setengah enggan, karena pikirannya hanya ingin tetap di kafe ini bersama kekasihnya.
“Tidak bisa dijelaskan di sini, Sayang. Lebih baik kamu pulang saja. Nanti kamu akan tahu sendiri,” jawab ibunya, tak memberi celah bagi Vartan untuk menolak.
Hening sesaat, lalu Vartan terpaksa mengangguk meski ibunya tak bisa melihat. “Baik, Bu, nanti malam.” Panggilan pun berakhir, menyisakan rasa berat di dadanya.
Neva yang sejak tadi menatapnya penuh tanya akhirnya bersuara pelan. “Ada apa ibumu menelepon?”
Vartan memejamkan mata sejenak, kemudian membuka dengan sorot letih. Tangannya kembali menggenggam jemari Neva, seakan mencari kekuatan. “Aku juga tidak tahu. Katanya aku disuruh pulang nanti malam, entah ada apa.”
“Kamu kelihatan gelisah,” ucap Neva lirih, jantungnya ikut berdebar karena firasat aneh yang menggelayut.
“Tidak, Sayang. Aku hanya berpikir ada apa sebenarnya ibu memanggilku, apa ada sesuatu yang penting? Ah, sudahlah! Tak perlu pikirkan itu sekarang. Yang penting saat ini adalah kita berdua.”
Neva hanya mengangguk saja tanpa ada pikiran negatif sama sekali.
Setelah cukup lama mengobrol, keduanya menyadari waktu sudah bergulir cepat. Vartan menatap Neva dengan lembut lalu berucap, “Aku akan antar kamu pulang.”
Neva sempat ragu, matanya menoleh ke kanan dan kiri seolah takut ada yang memperhatikan. “Bagaimana bila yang lain tahu hubungan kita?” paniknya dengan bibir bergetar menahan resah.
Namun Vartan hanya tersenyum tenang, jemarinya menyentuh punggung tangan Neva dengan penuh keyakinan. “Tenang saja, Neva. Selama ini tidak ada seorang pun yang tahu mengenai hubungan kita. Aku tidak akan membiarkan siapa pun mengungkap rahasia kita. Percayalah.”
Tatapan itu membuat Neva sedikit luluh. Ia mengangguk pelan, meski tetap ada sisa kekhawatiran yang di hatinya. Mereka pun berdiri, merapikan pakaian, lalu keluar dari kafe dengan langkah tenang, seolah mereka hanya rekan kerja biasa yang kebetulan pulang bersamaan.
Sore itu udara terasa sejuk. Vartan membuka pintu mobil dan mempersilakan Neva masuk. Begitu pintu tertutup, seakan dunia luar kosong dan hanya ada mereka berdua saja.
Mobil pun melaju perlahan meninggalkan area kafe, melewati jalanan yang agak lengang. Neva duduk diam menatap keluar jendela, mencoba mengendalikan degup jantungnya. Sementara Vartan, sesekali melirik ke arahnya dengan senyum tipis yang menyiratkan betapa ia sangat merindukan momen-momen sederhana seperti ini.
“Kamu lelah sekali, ya?” tanya Vartan lirih, mencoba memecah keheningan.
Neva mengangguk pelan. “Ya, tapi bersamamu rasanya semua lelah itu sedikit hilang.”
Mobil akhirnya berhenti di depan apartemen Neva. Hening sejenak menyelimuti mereka sebelum akhirnya tatapan penuh makna kembali mengikat, tatapan rahasia yang hanya mereka berdua yang tahu.
Neva menatap intens ke dalam mata Vartan. Tatapannya bukan hanya sekadar rindu, tapi juga menuntut, seakan ingin memastikan apakah lelaki itu benar-benar serius mempertahankan cinta mereka. Ada cinta yang membara, ada kerinduan yang sulit dibendung, namun ada kecemasan yang tak bisa dipungkiri karena hubungan rahasia mereka.
“Jadi setelah ini kita batal keluar?” tanyanya lirih dengan suara bergetar.
Vartan menggeleng pelan, senyum tipis terukir di bibirnya. “Nggak. Kita akan tetap keluar.”
Neva terdiam sejenak, namun kegelisahannya belum hilang. “Lalu bagaimana dengan permintaan ibumu? Bukankah dia ingin bicara denganmu malam ini?”
“Itu bisa diatur,” jawab Vartan mantap. Tatapannya tidak goyah sedikit pun. “Nanti setelah pergi bersamamu, aku akan pulang ke rumah Ibu. Aku nggak mau mengorbankan waktu kita sekarang. Bersiaplah, satu jam lagi aku akan datang menjemputmu.”
Jawaban itu membuat da-da Neva berdegup kencang. Ada rasa bahagia, ada rasa takut, yang bercampur menjadi satu. Ia ingin protes, ingin menyuruh Vartan memikirkan segala risiko, tapi hatinya terlalu lemah untuk menolak.
Saat itu, Vartan mencondongkan tubuhnya mendekat. Napas hangatnya meniup wajah Neva, membuat tubuhnya bergetar. Tanpa banyak kata, Vartan memagut bibir kekasih rahasianya dengan penuh kerinduan.
Ciuman itu bukan hanya sentuhan bibir. Ada luapan emosi, ada janji manis yang mengikat mereka. Neva memejamkan mata, membiarkan dirinya hanyut dalam dosa manis hubungan rahasia yang mereka ciptakan tanpa ada yang tahu.
Waktu terasa berhenti di dalam mobil. Seakan dunia luar tidak berarti apa-apa, hanya ada dua hati yang berusaha saling menggenggam meski terhalang larangan. Dan dalam ciuman itu, Vartan berjanji bila mereka tidak akan mudah menyerah pada takdir yang mungkin mencoba memisahkan mereka.
Satu jam kemudian, Vartan datang menjemput Neva. Malam itu mereka memutuskan pergi ke sebuah mall baru yang ada bioskop modernnya, tempat yang ramai namun tetap memberi mereka ruang untuk bersembunyi dalam kerumunan. Lampu-lampu neon berkilau, aroma popcorn memenuhi udara, dan suara tawa bercampur musik latar menciptakan suasana hangat.
Mereka memilih film romantis, duduk berdampingan di kursi paling pojok. Dalam gelapnya ruangan, Vartan menggenggam tangan Neva erat, seakan tak mau melepas. Sesekali tatapan mereka bertemu, melukis senyum kecil, merasa dunia hanya milik mereka berdua. Di sana, mereka bukan pilot dan pramugari yang terikat oleh segala aturan, bukan pula pasangan yang terhalang takdir, mereka hanyalah dua insan yang saling mencintai.
Waktu terasa singkat. Setelah film usai, Vartan kembali mengantar Neva pulang. Di depan paviliun, ia menatap Neva lama, penuh rindu, sebelum akhirnya berpisah dengan janji akan segera bertemu lagi.
“Cepat masuk, di luar dingin. Aku tidak mau kamu masuk angin,” desak Vartan.
“Ya, tentu saja meski sebenarnya aku masih rindu padamu.”
“Masih banyak waktu bagi kita untuk bertemu dan bersama.” Vartan mengecup singkat bibir Neva lalu kembali ke mobil.
Mobil Vartan lalu melaju tenang menembus jalanan malam hingga akhirnya berhenti di depan sebuah rumah mewah bergaya klasik. Lampu halaman terang benderang, menandakan orang tuanya sudah menunggu.
Dengan langkah berat ia masuk, disambut hangat namun penuh wibawa oleh ibunya, lalu ayahnya menyusul dengan tatapan serius.
Mereka duduk bertiga di ruang tamu yang megah, nuansa hening begitu menekan. Vartan mencoba tersenyum, meski hatinya gelisah. “Ada apa sebenarnya? Sampai harus memanggilku pulang malam-malam begini?” tanyanya hati-hati.
Ibunya menatapnya dalam, kemudian membuka suara. “Vartan, kami ingin kamu segera menikah. Tidak boleh ditunda lagi. Dalam waktu satu bulan ke depan, semuanya harus dipersiapkan.”
Degup jantung Vartan berdetak kencang. Kata-kata itu berat menghantam dadanya. Ia tahu arah pembicaraan ini, dan hatinya langsung tertuju pada Neva. Gadis yang dicintainya kini terancam oleh keputusan keluarga.
“Menikah?”