Vartan sontak terdiam, pandangannya beralih pada layar ponsel Neva yang terus bergetar dengan nama Kelay terpampang jelas. Jantungnya berdetak lebih cepat, bukan karena cemburu, melainkan rasa was-was yang tiba-tiba menusuk. “Kelay?” Suaranya terdengar datar tapi penuh tanya. “Iya… Kelay,” jawab Neva pelan, menunduk. Jemarinya gemetar, ragu apakah harus mengangkat atau membiarkannya. Mata mereka saling bertemu—Vartan dengan kebingungan, Neva dengan wajah gelisah. “Bagaimana ini?” lirih Neva, seolah menyerahkan keputusan pada pria di hadapannya. Telepon itu masih berdering, dentingnya memenuhi ruang yang mendadak terasa sesak. Vartan menggenggam tangan Neva, mencoba memberi ketenangan meski dirinya sendiri dilanda kegamangan. Ia tahu Kelay hanyalah rekan kerja Neva, tapi di saat keadaan