Kay mulai terusik ketika tangan kekar itu menyelinap ke perutnya, memeluk erat dirinya. Perlahan mata Kay terbuka, ia memperhatikan sekeliling ruangan.
Kay melebarkan mata, menyadari ini bukan kamar yang ia sewa. Kay semakin tersentak, ketika pria di belakang menduselkan kepalanya ke ceruk leher Kay. Menimbulkan sensasi aneh pada tubuhnya.
Sangat menegangkan. Berada di kamar seorang pria asing di ranjang yang sama. Kay menurunkan pandangan, badannya seketika melemas. Melihat tubuh polosnya yang hanya berbalut selimut.
Gak bisa, dia gak bisa berada di sini. Ini salah! Kay terus mensugesti dirinya sendiri. Dia memejamkan matanya sejenak, tangannya mencoba menyingkirkan lengan pria itu.
Kay turun dari ranjang perlahan, memastikan pria itu tak terganggu dengan pergerakannya. Kay segera memungguti pakaiannya, bergegas pergi sebelum pria itu terbangun.
"Bodoh!" Kay terus merutuki diri sendiri. "Lo emang gak waras Kay!" Ya, wanita mana yang dalam keadaan waras bisa jatuh di ranjang pria asing. Bahkan Kay baru pertama bertemu dengannya.
Seandainya Aksa dan Nadira tidak muncul, ini semua tidak akan terjadi. Kay terus berjalan cepat menjauh dari bungalow pria itu. Saking paniknya, Kay sampai tidak memperhatikan jalannya.
"Awww!" Kay terperanjat, ketika tubuhnya terbanting ke atas pasir. Dia mendongak, menatap orang yang menabraknya.
"Jalan tuh pake mata!" bentak wanita di depannya.
"Kay?"
Pagi yang sangat buruk, ketika Kay harus bertemu dua mahluk terkutuk.
"Wow, leher lo kenapa? Abis di cupang om-om?" cibir Nadira, dia memperhatikan penampilan Kay yang acak-acakan.
"Kay kamu ...?" Aksa terdiam, menatap Kay yang tampak kacau.
Kay lupa jika pakaiannya terbuka, dia tidak menyadari dengan tanda kepemilikan yang memenuhi dada dan lehernya.
Sial!
"Kenapa? Lo iri? Karena suami lo gak bisa buat kaya gini?" Kay tersenyum miring, ia bangkit berdiri. Mendekat pada Nadira yang merapatkan tubuhnya ke lengan Aksa. "Menurut lo, apa gue sama Aksa gak pernah ngelakuin kaya gini?" bisik Kay.
Wajah Nadira berubah merah padam. Dia menoleh pada Kay dengan mata melotot. Siap menerkam Kay, jika saja Aksa tak menahan lengannya.
Kay menghela napasnya dengan kasar. "Pagi yang sial karena harus bertemu kalian, padahal semalam begitu indah. Kalian mengacaukan suasana pagi gue saja!" Kay melangkah pergi setelah mengatakan hal itu.
Sementara Aksa berbalik memandangi punggung Kay yang mulai menjauh, rasa kesal dan kecewa bercampur aduk memenuhi benak Aksa.
———————
Suara dering ponsel, begitu memekakkan telinga. Mengusik seorang pria yang tengah terlelap, tangannya menggapai-gapai sebelahnya. Ia terperanjat, menyadari sebelahnya kosong.
Pria itu langsung bangun, mengucek-ngucek matanya. Dia memandangi sekitar kamarnya, semua masih sama seperti semalam.
Lalu, ke mana wanita itu?
Bunyi ponselnya mengalihkan perhatian pria itu, ia segera meraih ponselnya di atas nakas. "Halo."
"Woy, Arsen! Lo di mana? Dari semalem ngilang."
Semalam?
Ingatan Arsen berputar pada kejadian semalam.
Arsen pamit dengan teman-temannya, berniat mencari udara segar di pantai. Nasib jomblo yang liburan tanpa pasangan, sementara teman-temannya membawa pasangan. Membuat Arsen tak nyaman berada di dekat mereka. Terlebih ketika suasana memanas, tanpa rasa malu mereka beradegan mesra di depannya.
"Aisssh!" Arsen meluapkan ke kesalananya dengan menendang botol. Seandainya Monika tidak memutuskannya, mungkin ini akan jadi liburan terindahnya.
Arsen berjalan ke pantai, entah sudah seberapa jauh dia berjalan. Hingga netranya tanpa sengaja melihat seseorang berjalan menerobos ombak.
"Hey!" teriak Arsen. Namun sepertinya orang itu tak mendengarnya. "Hey, jangan ke sana!" Arsen mulai panik ketika melihat orang itu terjatuh karena diterjang ombak.
Arsen berlari menghampiri, ia terus berteriak memanggil orang itu. "Hey, lo gila?" Arsen menyeret wanita itu ke tepi pantai.
"Lepas!" Wanita itu menghempas tangan Arsen.
Arsen tidak menyangka jika pertemuannya dengan wanita mabuk itu akan berakhir di atas ranjang. Dia yang butuh belaian, seolah mendapat durian runtuh saat wanita itu dengan pasrah menerima tawarannya.
Arsen menjatuhkan wanita itu ke atas ranjang. Matanya yang sayu, tak sedikit pun mengurangi kecantikan wanita itu. Entah haruskah Arsen bersyukur, ketika harus melepas keperjakaannya dengan wanita asing yang sangat cantik itu. Bahkan ini kali pertama ia bertemu.
Arsen tersenyum tipis, saat melihat mata wanita itu yang menatap tubuhnya penuh damba. Tak perlu menunggu lama, bagi Arsen melucuti pakaiannya begitupun pakaian wanita itu.
Wanita itu tampak pasrah di bawah kungkungannya, bibir ranumnya begitu menggoda untuk dijamah. Arsen mencium rakus bibir wanita itu, ia semakin menuntut lebih saat lidah wanita itu bergerak liar di dalam mulutnya.
"Bibir lo bikin gue kecanduan," bisik Arsen, kembali mencium wanita itu. "Gue suka tubuh lo."
Arsen bergerak ke bawah, mengecupi leher jenjang wanita itu. Turun menelusuri dada yang begitu menantang. Tak menyia-nyiakan kesempatan, Arsen melahapnya. Membuat tanda kepemilikan di sekujur tubuh wanita itu.
Arsen sudah tak tahan lagi, ia sudah bersiap ke bagian paling inti. Betapa terkejutnya ia ketika mendengar pekikan kesakitan wanita itu, dibarengi dengan darah mengalir dari sela-sela pahanya.
"Lo masih perawan?" Arsen melongo, entah harus senang atau bagaimana. Setidaknya dia melepas perjakaannya di tempat yang aman.
"Awww!"
"Sakit?" Wanita itu mengangguk. "Gue bakal pelan-pelan, gue bakal buat malam ini jadi malam paling indah buat lo," bisik Arsen kembali menghujami wanita itu.
"Siapa nama lo?"
"A ... Kayra," gumamnya pelan.
"Nama gue Arsen, desahin nama gue," perintah Arsen.
"Aa ... Arsen." Arsen tersenyum puas, melihat wajah wanita itu membuatnya semakin ingin terus menghujaminnya.
"Woy Arsen!!"
Arsen tersentak ketika suara dari ponselnya menggetarkan gendang telinga, ia menjauhkan ponselnya sesaat.
"Gue di penginapan. Abis ini ke situ." Arsen menutup panggilannya. Dia mengusap bibir bawahnya, membayangkan tubuh wanita itu membuatnya kembali tegang.
"Gue bakal temuin lo Kayra. Apa pun yang terjadi lo bakal jadi milik gue." Seringai Arsen tercetak jelas di sudut bibirnya.
———————
Kay memandangi pantulan diri di depan cermin. Menatap nanar pada dada dan lehernya. Kay menghela napasnya yang begitu berat.
"Bahkan gue gak tahu siapa dia?" gumam Kay.
Kay segera melilitkan handuk ditubuhnya, siang ini juga dia harus pulang. Tak ingin berlama-lama di sini, terlebih ada Aksa dan Nadira. Membuat liburannya memuakkan.
Kay keluar dari kamar mandi, ketika suara ketukan pintu terdengar. Awalnya Kay enggan membukanya, namun ketukan itu bertambah kencang berubah jadi gedoran. Akhirnya Kay berjalan menuju pintu.
"Aksa!" pekik Kay saat membuka pintu, ia segera menutup kembali pintu itu.
Tapi terlambat, Aksa menahan pintunya. Tenaga Kay tak sebanding dengan Aksa, membuatnya terdorong mundur ketika Aksa menerobos masuk.
"Mau apa lo?"
Aksa terdiam, menatap Kay yang terjatuh di atas lantai kayu. Handuk yang dipakainya melorot, membuat belahan dada Kay terliha jelas menantang.
Aksa meneguk ludahnya, hasrat memiliki Kay begitu menggebu. Terlebih saat melihat bercak merah di sekujur tubuh Kay, membuat emosi Aksa memuncak ke ubun-ubun. Aksa mengunci pintu, hal itu membuat Kay panik.
"Mau apa lo?" Kay merangkak mundur, saat Aksa mendekatinya. "Jangan mendekat!" jerit Kay.
"Why?" Aksa mengunci pergerakan Kay di dinding. Dia mengungkung Kay. "Siapa yang lakuin ini ke kamu?"
Kay memalingkan wajahnya, ketika tangan Aksa menyentuh lehernya. "Bukan urusan lo? Emangnya lo siapa? Bahkan lo bukan siapa-siapa gue." Kay mendesis, menatap sinis Aksa.
"Aksa!" pekik Kay karena Aksa mencengkram rahangnya. Tatapan pria itu menggelap, terlihat jelas kemarahan Aksa di wajahnya.
"Lo milik gue Kay, sampai kapan pun lo milik gue." Aksa langsung menyerbu bibir Kay. Bibir yang selalu membuatnya kecanduan.
Kay terus berontak, menggelengkan kepalanya. Tangannya berusaha mendorong dada Aksa. Dia benci berada di situasi seperti ini.
Apa takdir selalu begini?
Menempatkan dirinya dalam kesalahan, menjerumuskannya ke lubang penyesalan.
"Aksa berhenti!" Kay mendorong tubuh Aksa, hingga pria itu terjengkang.
Kay bangkit, namun Aksa dengan cepat menarik kakinya. Kay terjatuh dengan handuk terlepas dari tubuhnya. Kini tubuh polos Kay terpampang jelas di depan mata Aksa.
"Aksa, please. Jangan," rengek Kay, air matanya bercucuran membasahi pipi.
Tapi tak membuat Aksa iba sedikit pun, ia mengangkat tubuh Kay. Tak peduli dengan pemberontakan Kay, Aksa menjatuhkan Kay di atas ranjang. Kay merangkak naik, merapatkan tubuhnya ke sandaran ranjang.
"Gue bakal hapus semua itu, menggantikannya dengan milik gue," ucap Aksa sembari melucuti pakaiannya.
Apa takdir semenyakitkan ini?
Bukankah sudah cukup Aksa menyakitinya? Haruskah dia menambah luka lagi untuk Kay?
Mampukah Kay bertahan kali ini? Atau justru mati jadi pilihannya setelah ini.