Ciuman

2076 Kata
Pukul sembilan malam Kayra baru saja sampai di apartemen, ia menjatuhkan diri di atas ranjang tanpa sempat melepas sepatu hak tinggi dan mengganti pakaiannya. Kay terlalu lelah. Hari pertama kerja, Arsen sudah memberinya banyak pekerjaan. Beruntung Kay punya pengalaman kerja jadi sekretaris sebelumnya, sehingga ia tak begitu kesusahan untuk meng-handle beberapa tugas yang Arsen berikan. Baru saja Kay memejamkan mata, suara dering ponsel membuat ia kembali terjaga. Kay mendengkus, merutuki sang penelepon yang menelepon malam-malam. Mengganggu waktu tidurnya. "Halo," ucap Kay ketika sambungan telepon diangkat. "Lo udah sampe apartemen?" Kay mengangguk, matanya kembali terpejam meski ponsel masih menempel di telinga. "Kay, Kayra ... halo, Kay lo tidur?" Hening! Sepertinya Kay sudah memasuki alam mimpinya, mengabaikan telepon yang masih tersambung. Orang di seberang  sana berdecak kesal ketika tak mendapat sahutan. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya berteriak dengan lantang. "KAYRAAA ... KEBO!!!" Kay langsung terhempas dari alam mimpi yang baru saja melayangkan dirinya, mata Kay dipaksa terbuka, bibirnya refleks terbuka. "Iya, Pak Arsen!!" Napas Kay memburu, keringat bercucuran di dahi. Detak jantungnya masih berpacu dengan kencang. "Pak Arsen?" beo sang penelepon, tampak heran saat Kay menyerukan nama itu. "Lo lagi sama pak Arsen? Jangan-jangan ...." Orang itu menggantungkan ucapannya, membuat Kay tersadar dan berdecak kesal. "Kyaa!! Laras! Pikiran lo gak usah traveling ke mana-mana ya!" Terdengar tawa dari sang penelepon yang ternyata Laras. "Lagian lo ngapain si nelepon gue malem-malem, gue capek baru balik abis kerja rodi!" "Lebay lo Kay, kerja jadi sekretaris kan gak seberat kaya kuli bangunan yang musti angkatin batu bata," cibir Laras. "Terserah lo deh, kalo gak ada yang penting gue matiin ya. Gue mau ti————" "Tunggu-tunggu," sela Laras membuat Kay mengurungkan niatnya untuk memutus sambungan telepon. "Gue punya berita penting." "Apa?" Kay merubah posisinya jadi duduk, menunggu Laras mulai bicara. "Lo tahu? Aksa udah kembali ke Jakarta." Kay terdiam, ucapan Laras barusan berhasil membuatnya syok. Jantungnya berhenti sesaat, dadanya sesak ketika nama itu kembali Kay dengar setelah satu tahun berlalu. "Kay," panggil Laras karena tak mendengar sahutan dari Kay. "Kayra, lo baik-baik saja kan?" Kayra menghela napas, kasar, ia kembali sadar. "Udah dulu ya Ras, gue mau mandi dulu. Keringetan nih." "Tapi lo baik-baik aja kan?" "Iya, lo juga jaga diri di sana." Kay memutuskan sambungan telepon, melempar ponselnya asal. Kay mendengkus, ia pikir hatinya akan baik-baik saja. Nyatanya sampai detik ini dia belum bisa melupakan Aksa. Pria itu masih memenuhi rongga hatinya. Meski Kay terus menyangkal, tapi kenyataannya memang seperti itu. Tak ingin  larut memikirkan kesedihannya, Kay memutuskan mandi. Setengah jam ia berendam di kamar mandi, merilekskan pikiran yang begitu penat. Setelah selesai membersihkan  diri, Kay keluar hanya memakai handuk yang melilit tubuhnya. Kay yang baru akan membuka lemari, terkesiap oleh suara ponselnya yang berbunyi. Ia berdecak, merutuki Laras yang masih saja meneleponnya. Apa dia tidak punya kesibukan lain, selain mengganggu Kay? Kay mengabaikannya, ia memilih mengenakan pakaian tidur. Tapi sialnya ponsel itu terus berbunyi nyaring memenuhi ruang kamarnya. Kay yang baru selesai memakai piyama, segera meraih ponselnya di atas kasur. Kay mengernyitkan  dahi, ketika melihat nama Arsen di layar ponsel. Ngapain bosnya telepon malam-malam begini? Kay tak berniat mengangkatnya, dia sudah akan meletakkan ponselnya ke nakas. Namun hati kecilnya terus berteriak, membuat tangan Kay tergerak mengangkat sambungan telepon. "Halo," ucap Kay ketika telepon  tersambung. Kay menjauhkan ponselnya, suara bising membuat telinganya tak nyaman. "Halo, pak Arsen, Bapak di mana? Kok berisik banget?" Tak ada suara, hanya ada suara musik yang berdentum keras memekakkan telinga. Kay jadi gusar, dalam benaknya mengkhawatirkan pria itu. Takut terjadi apa-apa dengannya. "Halo." Kay segera menempelkan kembali ponselnya saat terdengar suara di ujung sana. "Iya, halo." "Apa mba kekasihnya pemilik ponsel ini?" Kay mengerutkan alisnya, ia heran dengan pertanyaan dari sang penelepon. Kay menatap layar ponselnya, memastikan jika yang menelepon benar bosnya. "Ini siapa ya?" tanya Kay. "Saya bartender, pemilik ponsel ini tidak sadarkan diri. Apa mba bisa ke sini?" Kay melongo. Bartender? Gak sadarkan diri? Maksudnya mabuk gitu? Itu artinya pak Arsen ada di club? Astaga! Kay mengusap wajahnya dengan kasar, kenapa harus menelepon dirinya si? Kan pak Arsen punya keluarga dan Kay bukan keluarganya atau pun kekasih seperti yang disebutkan bartender tadi. "Mas kayanya salah sambung deh, harusnya mas menghubungi keluarganya bukan saya. Karena saya bukan kekasihnya," ujar Kay, berusaha menghindar. "Tapi tadi dia nunjukinnya nomor ini, kata dia ini nomor kekasihnya." Kay berdecak, bosnya itu apa-apaan si? Main klaim seenak jidat. Kalau udah begini kan Kay juga yang susah jadinya. Kay menghela napasnya, sebelum akhirnya berkata, "Oke, beliau sekarang di mana? Saya akan segera ke sana." Kay memutuskan sambungan telepon setelah mendapat alamat clubnya. Dia segera memakai cardigan dan meraih tas selempang. Tak ada waktu baginya untuk mengganti pakaian, yang ada di pikirannya keadaan bosnya saat ini. Kay yang panik sejak tadi menghubungi pak Arya, tapi pria itu sama sekali tak mengangkat membuat Kay semakin kalang kabut. "Pak Arsen ngapain si mabuk segala? Nyusahin!" gerutu Kay selama di dalam lift. Kay mendengkus, saat tak menemukan taksi yang melintas. Ia segera memesan ojol, beruntung masih ada driver ojol yang mengambil orderannya. Mengingat waktu sudah pukul setengah sebelas malam. "Mba Kayra ya?" tanya pengendara ojol yang berhenti di depan Kay. "Iya Pak, sesuai aplikasi ya Pak." Kay segera naik. "Cepetan ya Pak, nyawa bos saya taruhannya." Driver ojol itu mengangguk, lalu melajukan motornya dengan  kecepatan penuh. Keadaan jalanan yang sepi membuatnya tak butuh waktu lama sampai di club yang dimaksud Kay. "Makasih Pak, kembaliannya ambil aja," ucap Kay saat turun dari motor. Ia segera berlari memasuki club. Kay yang mengenakan piyama jadi perhatian sebagian pengunjung club. Kay tak peduli, matanya terus jelalatan mencari keberadaan bosnya. "Pak Arsen!" pekik Kay saat melihat Arsen tertidur di meja bar depan bartender. "Pak Arsen, bangun." Kay mengguncang-guncang tubuh Arsen yang tak sadarkan diri. "Ish, Bapak ngapain si di tempat seperti ini?" "Mba yang tadi ditelepon ya?" tanya seorang bartender. Kay mengalihkan pandangannya pada pria itu. "Oh, iya. Saya sekretarisnya," ucap Kay tak ingin orang itu salah paham dan mengira Kay kekasih Arsen. "Ini Mba, ponsel bosnya sama kunci mobil katanya kalau Mba dateng suruh kasih ke Mba." Kay mengernyitkan dahi, merasa aneh. "Mba?" "Oh, iya. Makasih." Kay meraih ponsel dan kunci mobil milik Arsen, memasukkannya ke tas. "Pak Arsen, kita pulang ya?" Kay berusaha mengangkat tubuh Arsen agar berdiri, ia merangkul Arsen. Susah payah membawa pria itu keluar dari tempat laknat itu. "Bapak berat banget si?" gerutu Kay yang baru saja keluar, ia menyeret Arsen yang malah menjatuhkan kepalanya ke ceruk lehernya. "Kayra," gumam Arsen. Kay terdiam, ia terpaku merasakan embusan napas Arsen di ceruk lehernya. Sensasi panas menyengat di sekujur kulitnya. "Pak Arsen, jangan begini." Kay berusaha menjauhkan kepala Arsen dari ceruk lehernya, tapi pria itu kembali limbung ke tubuhnya. "Arggg!!!" geram Kay, frustasi. Akhirnya ia membiarkan Arsen memeluknya dari samping, Kay segera membawa Arsen ke mobilnya yang terparkir di ujung. Setelah membantu pria itu masuk mobil, Kay beralih ke bangku kemudi. "Kayra," lirih Arsen. Kay yang sedang memakai sabuk pengaman, refleks menoleh. Bisa ia lihat mata Arsen terbuka sedikit, pria itu memiringkan tubuhnya menghadap Kay. Kay membeku saat Arsen memajukan tubuhnya ke depan Kay. Arsen menangkup kedua pipi Kay, membuat Kayra tak berkutik. Sorot mata Arsen yang redup menyihir Kay sampai tak bisa beralih dari pandangan Arsen. "Cantik," gumam Arsen, tersenyum lebar. Sungguh manis, untuk pertama kalinya Kayra melihat senyuman Arsen yang membuat jantungnya berpacu cepat. Astaga! Kay menegang saat tangan Arsen mengusap bibir bawahnya. Mata Arsen seolah mendambakan bibir ranum miliknya. Lagi-lagi Arsen tersenyum, membuat Kay semakin tak berdaya dan hilang kesadaran. Terlebih saat Arsen menepis jarak wajah keduanya, Kay bisa merasakan embusan napas Arsen menyapu wajahnya. Aroma minuman laknat begitu menyengat, hingga detik berikutnya Kay hanya bisa melebarkan mata saat Arsen mendaratkan bibirnya di atas bibir Kay. ————————— Pulang mengantar Kayra, Arsen tak langsung ke apartemen. Dia memilih ke club langganannya, memenuhi undangan teman-temannya. Arsen yang baru masuk langsung disambut oleh beberapa wanita genit yang selalu menginginkan dirinya. Tapi tak ada satupun  dari mereka yang mampu membuat Arsen berminat. Pikiran dan hatinya sudah dipenuhi oleh Kayra. Satu-satunya wanita yang selalu membuatnya tegang setiap saat. "Wuihh, bos besar datang juga," celetuk Danil ketika Arsen duduk di sebelahnya. "Nih buat bos," kata Samuel sembari memberikan segelas air laknat kepada Arsen. Arsen menerimanya, meneguk habis sampai gelas ditangannya kosong. "Muka lo kusut amat?" tanya Davin yang sejak tadi memperhatikan Arsen saat datang. "Biasa," jawab Arsen. Tanpa perlu menjelaskan, mereka semua tahu ke mana arah pembicaraan ini. "Gak heran si kalo sampai lo tergila-gila sama tuh cewek, cantik, bodinya juga gak kalah seksi sama cewek-cewek yang ngejar-ngejar lo," sahut Daniel. "Kayra lebih dari mereka. Dia yang paling terbaik," balas Arsen. "Lo udah ketemu?" tanya Davin yang memang penasaran dari dulu dengan sosok Kayra. "Tadi pagi gue ketemu, lo tahu Kimmy gak ada apa-apa nya dibanding Kayra." Daniel terkekeh, menyesap rokok ditangannya. "Gue jadi penasaran," ucap Samuel. "Kenapa gak lo ajak dia ke sini." "Siapa?" Arsen menoleh pada Samuel. "Kayra maksud lo?" Arsen tersenyum kecut. "Mana mau, dia aja ngindarin gue mulu." Terdengar tawa ketiganya, membuat Arsen semakin kesal. Ia menenggak kembali minuman laknat itu. Arsen yang memang tahan dengan alkohol tak gampang mabuk meski sudah menghabiskan satu botol. "Gue punya ide," celetuk Samuel. "Ide apa?" Arsen mengernyitkan dahinya. "Sini gue bisikin." Ketiganya pun mendengarkan apa yang di utarakan Samuel. "Gimana? Jenius kan gue?" Sam menaik turunkan alisnya. "Boleh juga tuh," sahut Daniel. "Gimana Sen." Daniel menyenggol lengan Arsen. "Oke." Dan rencana pun mulai mereka laksanakan, teman-teman Arsen mengamati dari jauh. Mereka berdecak kagum ketika melihat Kayra yang baru datang menghampiri Arsen. "Gila bening banget," celetuk Samuel. "Pantes si Arsen ampe gila nyariin tuh cewek," sahut Davin. Arsen sebenarnya tidak mabuk, dia hanya pura-pura sengaja mencari kesempatan dalam kesempitan. Arsen mengedipkan sebelah matanya pada teman-temannya  yang sedang memandanginya. Hingga sampai di luar pun Arsen semakin gencar melancarkan aksinya, dia sengaja menjatuhkan kepalanya di ceruk leher Kay. Aroma tubuh Kay begitu memabukkan. Sungguh rasanya Arsen ingin menjatuhkan Kayra di atas ranjang saat ini. Arsen tersenyum tipis, mendengar ocehan Kay yang terus mengomelinya. Bukannya menjauh Arsen malah memeluk Kay secara posesif. Memang benar-benar gila Arsen dan penyebabnya karena Kayra. Arsen yang tak mampu menahan hasratnya, langsung mencium Kayra di dalam mobil. Rasa manis yang selalu Arsen sukai dari bibir Kay. Arsen tersentak ketika Kay mendorongnya dengan kasar. "Berengsek!" maki Kay. Tak ingin jadi samsak kemurkaan Kayra, Arsen memilih pura-pura pingsan. Dalam hati Arsen bersorak senang. Harusnya sudah ia lakukan sejak kemarin, jika tahu Kay sepolos ini. Kay mengusap bibirnya dengan kasar, merasa jijik luar biasa. Lagi-lagi Arsen menciumnya. Mungkin ini sudah jadi yang ketiga kalinya. Kay semakin muak dengan bosnya. Kay menghubungi nomor Arya. Lama tak ada jawaban, hingga Kay mulai lelah. Di ujung keputusasaanya, panggilan terakhir akhirnya diangkat oleh Arya. "Halo pak." "Ada apa Kayra? Kenapa kamu telepon saya malem-malem begini?!" Kay mendengkus, mendengar omelan pak Arya. Dia juga tidak sudi telepon  orang itu jika tidak dalam keadaan darurat seperti ini. "Begini pak, pak Arsen ...." Kay melirik Arsen yang sedang tidur di sebelahnya. "Pak Arsen mabuk, saya bingung. Sekarang saya ada di depan club Alexus. Apa bapak bisa ke sini?" "Gak, kamu antar pak Arsen ke rumahnya saja." "Tapi kan saya gak tahu rumahnya," ucap Kayra. "Nanti saya WA, udah ya saya ngantuk. Pokoknya pak Arsen itu tanggung jawab kamu, awas aja kalau sampai  terjadi apa-apa dengan pak Arsen. Kay berdecak karena pak Arya mematikan sambungan teleponnya secara sepihak. Ia mengembuskan napas kasar, merutuki nasib malang yang menimpanya. Kay mendengkus, melirik sebal Arsen. Dasar bos rese! Akhirnya Kay melajukan mobilnya menuju alamat yang pak Arya berikan. Kay termenung, ketika menghentikan mobilnya di depan rumah besar yang begitu mewah. Tiba-tiba datang seorang satpam mengetuk kaca mobilnya. " Cari siapa Mba?" tanya satpam. "Saya nganterin Pak Arsen, disuruh pak Arya." Kay menunjuk Arsen yang ada di sebelahnya. Satpam itu pun segera menyuruh Kay masuk, ia membantu Kay membawa Arsen ke kamarnya. Setelah itu pamit undur diri, meninggalkan Kay dan Arsen di dalam kamar. Kay melepaskan sepatu Arsen, dia tak berhenti mengomel. Bibirnya terus komat-kamit  menyumpah serapah Arsen. "Udah ya Pak, tugas saya udah selesai. Saya mau pulang," ucap Kay sembari menarik selimut sampai d**a. Kay yang sudah berbalik terkejut saat tangan Arsen menahan pergelangan tangannya. "Kayra," gumam Arsen dalam tidurnya. Kay perlahan melepas tangan Arsen, tapi genggaman Arsen lebih kuat. "Pak Arsen, saya mau pulang," cicit Kayra. Tak ada sahutan, Kay yang memang sudah lelah akhirnya berusaha menghempas tangan Arsen, tapi yang terjadi di luar dugaan. Kayra justru terjatuh di atas tubuh Arsen ketika pria itu menarik lengannya. "Pak Arsen!" pekik Kayra. "Jangan pergi," lirih Arsen. Kay memiringkan kepalanya, menghadap wajah Arsen. Ia terdiam, merasakan detak jantung Arsen yang berdegup kencang. "Kayra, jangan pergi."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN