TEN

1272 Kata
~ The saddest thing is when you are feeling real down, you look around and realize that there is no shoulder for you ~ Anonim   "Rae, ceria sedikit, dong!" tegur Elle di sampingnya. "Aku berusaha, El .... Aku udah berusaha sebisa mungkin supaya kelihatan ceria." Ranice memaksakan seulas senyum di wajahnya. Sulit baginya untuk tersenyum, semakin mendekati hari pernikahan, hatinya terasa semakin berat. "Demi Tuhan, Rae. Kalau aku bilang Oscar Lawalata itu udah jadi lurus dan naksir sama aku, apa kamu percaya?" tanya Elle kesal. Mia yang tengah melakukan retouch pada wajah Ranice, terkikik geli mendengar pengandaian yang Elle berikan. "Kayaknya nggak mungkin, El. Lagian belum ada gosipnya 'kan?" tanya Ranice polos. "Nah, sama kayak muka kamu sekarang ini. Nggak akan ada orang yang percaya kalau kamu bilang, kamu lagi ceria!" sungut Elle. "Aku nggak ngerti maksud kamu, El." Ranice menatap Elle penuh tanya. "Udah ah! Capek ngomong sama kamu! Pokoknya jangan kelihatan merana gitu, Rae. Kamu itu mau foto prewed, mana ada calon pengantin mukanya suram begini?" "Siapa juga yang mau pake acara prewed segala, El? Ini semua 'kan ide kamu! Lagian ngapain sih harus pakai acara kayak gini segala? Nikahnya aja-" Elle segera menutup mulut Ranice agar gadis itu tidak melanjutkan perkataannya. Ranice lupa kalau saat itu ada Mia yang tengah memulaskan riasan di wajahnya. "Mia, udah beres belum? Cepetan deh, nanti si Lio ngambek lagi gara-gara telat ngejar sunrise kayak tadi pagi. Kamu mau buat dia nggak dapet sunset juga sekarang?" Elle mengalihkan pembicaraan agar Mia tidak curiga dengan perkataan Ranice yang janggal. "Ihh, Mbak! Galak banget sih! Make up artist dimarahin, photographer dimarahin, sampai calon pengantin juga dimarahin. Gimana mau ceria mukanya kalau dimarahin terus, Mbak?" Mia membela Ranice. "Berisik!" balas Elle sebal. "Udah selesai!" Mia membereskan alat riasnya dan menyingkir memberi jalan untuk Ranice. Ranice berjalan ke luar dari mini bus yang dipergunakan sebagai ruang ganti, karena posisi mereka yang jauh dari hotel. Elle memilih Labuan Bajo sebagai tempat prewedding untuk Ranice dan Leander, karena keduanya tidak ingin repot-repot menyisihkan waktu keluar negeri. Memang tempat ini sangat indah, namun untuk mendapatkan pemandangan indah yang masih alami, tentu mereka harus berjalan jauh meninggalkan hotel. "Senyum, Rae ...," bisik Leander. Ranice merasa sangat tidak nyaman dengan kondisi mereka berdua saat ini. Mereka tengah berdiri berhadapan hampir tanpa jarak sama sekali. Lengan kanan Leander melingkar di pinggangnya, sementara tangan kiri pria itu mendarat di antara ceruk leher dan pipinya. Sementara lengan kanan Ranice sendiri balas melingkar di pinggang Leander, dan tangan kanannya ditumpukan di bahu kiri Leander. Mereka saling bertatapan dengan intens. Berkali-kali Ranice coba menghindari tatapan Leander, tapi Lio sang photographer terus menerus mengingatkan agar mereka saling bertatapan. Mereka tengah menanti sunset, menunggu momen yang tepat menurut Lio. Entah saat seperti apa yang menurutnya tepat, Ranice tidak mengerti. "Ok, sekarang!" teriakan Lio terdengar. Wajah Leander mendekat, kemudian tanpa permisi pria itu mencium bibir Ranice. Mereka terus dalam posisi seperti itu sampai Lio berseru senang karena berhasil mendapatkan gambar yang diinginkannya. Sekarang Lio meminta mereka berjalan bergandengan, mengatakan agar mereka bersikap santai, saling berbincang tanpa beban. Sementara Lio akan mengikuti mereka dari jarak yang cukup jauh dan menangkap siluet-siluet mereka. "Bagaimana caranya kamu bisa bersikap setenang ini, Lee?" tanya Ranice penasaran saat Leander berjalan di depannya, menggenggam erat tangan gadis itu. "Tenang yang seperti apa yang kamu maksud?" Leander balas bertanya. "Terlihat santai dan tanpa beban, seolah-oleh ini memang hal yang membahagiakan buat kamu." "Mudah. Aku hanya perlu membayangkan kalau yang saat ini bersama aku adalah seseorang yang memang aku cintai, karena itu aku bisa melakukannya tanpa beban dan menatap penuh cinta ke arah kamu," balas Leander dingin. "Aku nggak tahu kamu sehebat itu dalam bersandiwara, Lee ...." Terselip rasa tidak nyaman dalam hatinya. "Kalau begitu sekarang kamu tahu. Selamat datang di duniamu yang baru. Dunia yang penuh sandiwara. Dunia yang akan membuat kamu sulit membedakan antara kenyataan dan khayalan. Dunia yang akan membuat kamu sulit mengenali antara ketulusan atau kepura-puraan. Dan dunia yang akan membuat kamu bahkan sulit untuk memilih kapan waktu yang tepat untuk menangis atau tertawa." Perkataan Leander terdengar sangat menakutkan di telinga Ranice. Tanpa sadar gadis itu bergidik ngeri. Bagaimana ceritanya kamu bisa berubah jadi begini? Ke mana perginya Pak Axel yang baik yang aku kenal? Lima tahun harus aku jalani bersama dia. Tapi sekarang, bahkan ketika hitungan itu pun belum lagi berjalan, sudah semenakutkan ini rasanya. *** "Lama nggak ketemu," ujar Becky ketika Ranice mendekat dan duduk berhadapan dengannya. Becky mengajak Ranice bertemu untuk makan siang. Dia memiliki libur beberapa hari setelah menyelesaikan proses rekaman dengan penyanyi asal Thailand, sebelum dia kembali terbang ke Singapura untuk proses pembuatan video klip. "Apa kabar, Mbak?" Ranice bertanya demi kesopanan. Entah mengapa hatinya tidak nyaman ketika Becky memintanya untuk bertemu berdua saja. "Seperti yang kamu lihat, aku sangat baik," ujar Becky penuh percaya diri. "Gimana perkembangan album duetnya, Mbak?" "Rekaman udah selesai, tinggal proses editing. Minggu depan aku kembali ke Singapura untuk pembuatan video klip." "Gimana rasanya mulai menembus pasar luar negeri?" Ranice ingin tahu seperti apa perasaan seorang wanita yang kakinya tengah berpijak di dua perahu. Satu perahu kebahagiaan yang akan membawanya berlayar menuju impiannya. Satunya lagi perahu penuh duka yang akan membawanya pada kenyataan bahwa pria yang dicintainya akan menikah dengan wanita lain. "Luar biasa, Rae! Nggak pernah aku sebahagia ini. Kamu tahu? Ini mimpi aku sejak lama, bahkan sebelum aku memulai karierku sebagai penyanyi, aku udah memimpikan hal ini. Nggak percaya akhirnya hari ini datang juga." Sama sekali tidak terlihat kesedihan dalam diri wanita ini. "Aku ikut senang, Mbak," ujarnya tulus. "Rae, ada hal yang ingin aku bicarakan. Kamu nggak keberatan?" tanya Becky sambil menyesap chamomile tea pesanannya dengan anggun. Siapa pun pasti akan minder jika berhadapan dengan wanita ini. "Hmm ..., silakan," angguknya pasti. Tentu kamu mengajakku bertemu bukan untuk sekadar menceritakan tentang albummu. Aku nggak bodoh, Mbak! "Yah ..., aku yakin kamu juga udah tahu arah pembicaraan kita. Jadi langsung aja ya. Pertama, aku mau tanya. Apa kamu mencintai Axel?" tembaknya tanpa ragu. "Nggak." Ranice menggeleng penuh keyakinan. Dia memang tidak mencintai Leander. Hatinya sudah mati rasa untuk yang namanya sebuah cinta. "Kalau begitu terima kasih karena udah mau menyanggupi permintaan Axel untuk menikah dengannya. Aku menyesal karena kamu harus terlibat dalam permainan ini. Tapi aku juga merasa lega karena Axel memilih gadis seperti kamu. Aku tahu kamu gadis yang baik, yang bisa menjaga Axel dengan baik selama aku nggak bisa menjaganya." Ranice memberikan senyuman manisnya. "Aku titip dia sama kamu ya, sampai saatnya nanti kami bisa sama-sama lagi." Becky menggenggam tangan Ranice, menatapnya penuh harap. "Hmm." Apa lagi yang dapat Ranice lakukan selain menyanggupi permintaan ini? Ada satu perasaan janggal terselip dalam hatinya. Tidak, ini bukan cemburu. Hanya rasa sakit karena mengingat bahwa pernikahan ini memang hanya sandiwara. Perannya sebagai seorang istri hanya sebuah pinjaman yang suatu saat akan berakhir ketika sang pemilik yang asli kembali datang untuk meminta haknya. Tidak. Ranice memang tidak mencintai Leander. Tapi bagi seorang Ranice, pernikahan hanya terjadi sekali untuk seumur hidupnya. Maka dengan ini dia tahu, dirinya akan berakhir sebagai seorang wanita kesepian yang tidak akan memiliki keluarga di hari tuanya. Dia akan memastikan tidak ada seorang bayi pun akan terlahir dari rahimnya untuk Leander. Dia tidak mau menghancurkan hidup seorang anak dengan sebuah perceraian yang tidak mungkin bisa dihindari. "Terima kasih. Jangan sampai jatuh cinta sama Axel ya. Aku bisa percaya kamu, 'kan?" ujar Rebecca bergurau sambil mengedipkan sebelah matanya. Meski terdengar sebagai gurauan, tapi Ranice tahu Becky serius dengan ucapannya. Dan yakinlah Ranice bahwa seorang Becky tidak akan pernah menyerah untuk mempertahankan apa yang sudah menjadi miliknya. Dia tidak akan segan-segan untuk mengambil apa yang memang menjadi miliknya. *** --- to be continue ---
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN