Bab 4 - Sampai Kapan Begini?

1517 Kata
"Bunda marah, ya? Kok dari tadi diem aja?" tanya Elsa tiba-tiba. Saat ini kami sedang dalam perjalanan pulang. Aku memang sejak tadi hanya diam, tapi bukan karena aku marah terhadap Elsa. Aku diam karena pikiranku malah mengingat-ingat pertemuanku dengan Rian terlebih apa yang pria itu katakan. Ditambah nama Risty juga mulai mendominasi pikiranku. "Bunda beneran marah, ya?" tanya Elsa lagi yang berhasil membuyarkan lamunanku. "Bunda nggak marah. Lagian memangnya marah kenapa, Sayang?" "Elsa pikir Bunda marah soalnya Elsa nggak nunggu di sekolah. Maafin Elsa ya, Bunda." "Seharusnya Bunda yang minta maaf, gara-gara bunda terlambat … Elsa jadi cemas nungguin bunda. Maafin Bunda, ya?" "Iya, Bunda. Tapi Elsa nggak marah, kok,” jawab Elsa. “Oh ya Bun, Kinara itu baik banget,” sambungnya. Mendengar nama Kinara membuatku teringat lagi akan nama Risty. Mungkinkah itu Risty yang sama dengan istri Rian? Terlebih tadi Rian mengatakan secara berulang-ulang tentang kebahagiaannya. Lima puluh persen kemungkinan kalau Rian adalah ayah dari Kinara. Jika benar, aku rasa dunia memang sempet. Sangat sempit. Beberapa saat kemudian kami sudah sampai, aku dan Elsa turun dari mobil. Sungguh, ada pemandangan yang sangat mengejutkan. Aku tidak pernah menyangka kalau ibu akan datang ke sini, bahkan kami belum genap seminggu di Jakarta. Elsa langsung berlari menghampiri ibuku. "Nenek," ucapnya setengah berteriak. Mereka berdua langsung berpelukan, aku kemudian menghampiri nenek dan cucu yang baru beberapa hari berpisah itu. "Ibu kenapa nggak bilang mau ke sini?" tanyaku. Ibu melepaskan pelukannya dengan Elsa kemudian beralih menatapku. "Dara … ibu, kan, udah pernah bilang akan menyusul kalian." "Tapi Dara nggak tahu kalau secepat ini. Kalau tahu, kan, Dara bisa jemput Ibu di stasiun." "Ibu naik jasa mobil travell, jadi diantar sampai alamat." "Ya udah yuk, masuk." Aku kemudian mencari kunci pintu lalu membukanya. "Ibu udah lama nungguin kami pulang?” "Belum lama, mungkin baru sekitar dua puluh menitan," jawabnya. "Elsa gimana sekolahnya?" Ibu kemudian menatap Elsa dengan penuh kasih sayang. Setelah pintu dibuka, kami semua duduk di ruang tamu, sementara Elsa menceritakan panjang lebar tentang hari pertamanya masuk sekolah. Aku senang tak ada keluhan putriku di hari pertamanya bersekolah meskipun berbeda denganku. Bagaimana tidak, di hari pertamaku bekerja, begitu banyak kejutan yang aku terima. Dari kejutan bahagia sampai kejutan yang sangat menyedihkan. Ah, seharusnya aku melupakan itu terlebih sedang berada di depan ibu karena wanita yang melahirkanku itu pasti akan mudah membaca ekspresiku. "Dara buatkan minum sebentar ya, Bu," ucapku kemudian direspons anggukan setuju oleh Ibu. Aku kemudian bergegas menuju dapur. *** Ibu dan Elsa, mereka berdua adalah satu paket kebahagiaan yang Tuhan kirimkan untukku. Tanpa mereka, aku tak mungkin bisa kuat seperti sekarang. Semenjak ayahku meninggal saat aku masih duduk di bangku SMP, ibuku mengurusku seorang diri dengan mengandalkan uang pensiunan ayah. Aku adalah anak tunggal. Enam tahun lalu, aku merasa diriku benar-benar terjatuh. Hubunganku dengan Rian yang sudah genap dua tahun harus berakhir karena pengkhianatan yang ia lakukan. Kesalahan terbesarku adalah terlalu memercayainya sehingga tanpa pikir panjang aku menyerahkan segalanya. Untuk ukuran wanita berusia 23 tahun, saat itu aku bisa dibilang bodoh. Bagaimana tidak, aku menyerahkan segalanya termasuk harga diriku. Aku pikir Rian adalah pria setia yang akan menikahiku, ternyata aku salah. Itu yang membuatku semakin merasa bodoh. Memikirkan ini membuatku ingin menangis, lagi dan lagi. Jika bisa mengulang waktu, mungkin aku tak akan melakukan hal itu. Namun aku sadar, semua manusia pernah melakukan kesalahan, termasuk aku. Meskipun begitu, tidak semua manusia mau mengambil pelajaran dari setiap kesalahannya. Dan aku termasuk yang mau belajar sehingga aku cenderung sangat berhati-hati dalam memilih calon ayah untuk Elsa. Semenjak aku mengakhiri hubunganku dengan Rian, aku memutuskan untuk mengajukan mutasi ke Bandung, ke daerah asalku. Di saat-saat seperti itu, hanya ibu yang mampu membuatku lebih tenang, hanya ia yang bisa membuatku tegar seperti sekarang. Bahkan, ibu mau menerimaku apa adanya, menerima kenyataan kalau aku hamil tanpa suami. Sungguh, ibu benar-benar membuatku bertahan meskipun aku berada di titik terendah dalam hidupku. Apakah aku menyesal? Tentu saja sangat. Bayangkan saja, ibu mana yang tak merasa hancur anak perempuan satu-satunya harus hamil di luar nikah? Aku paham betul ibu sangat kecewa, tapi hebatnya ia sanggup memaafkanku. Berbeda denganku, aku sempat hampir tak bisa memaafkan diriku sendiri. Kehamilan yang belum genap dua bulan itu membuat duniaku terasa hancur. Aku depresi, aku frustrasi, membuatku bertindak lebih bodoh lagi. Aku hampir mengakhiri hidupku dengan meminum obat antidepresan secara berlebihan. Namun, aku tak berhasil membunuh diriku karena Tuhan ternyata masih membiarkan aku hidup. Hanya saja, Tuhan tak mengizinkan bayiku hidup. Bahkan, aku sendiri belum tahu apa jenis kelaminnya, dan aku malah membuatnya pergi untuk selamanya. Sungguh, aku tak bermaksud menggugurkannya. Aku sendiri tak mengerti mengapa bayiku yang meninggal sendirian. Sementara aku sampai sekarang masih hidup. Hal itu membuatku semakin depresi dan dipenuhi rasa bersalah. Aku merasa menjadi wanita paling tak berguna di dunia ini. Aku sangat bodoh. Di sela rasa bersalah dan penyesalanku, ada malaikat yang selalu mendukungku, mendorongku untuk tetap melanjutkan hidup dan berjuang. Ia selalu mengatakan kalau matahari tak selalu bersinar, kadang mendung dan hujan menutupi sinar itu. Tapi, apa matahari tak muncul lagi? Faktanya matahari kembali bersinar, itulah yang harus aku lakukan meski ada sedih, air mata, penderitaan, kepahitan … pada akhirnya aku harus bangkit lagi dengan senyuman dan syukur. Malaikat itu selalu mengajarkanku menjadi wanita tangguh, tanpanya aku akan lemah, tanpanya tak akan ada Dara yang seperti sekarang. Aku harus banyak berterima kasih pada malaikat itu. Ya, ia adalah ibuku. Tak peduli seberapa banyak kekuranganku, tak peduli betapa bodohnya aku, dengan sabar ia membimbingku menjadi tidak lemah lagi. Tentang siapa Elsa, aku masih ingat hari itu…. "Jangan murung terus, Sayang. Ibu sedih lihat kamu begini," ucap ibu sambil mengelus rambutku, sementara pandanganku menatap lurus ke luar jendela kamar entah apa objek yang ditatap karena pikiranku terus memikirkan kesalahan terbesarku yang menghilangkan nyawa tak berdosa, anakku sendiri. "Maaf kalau Dara selalu mengecewakan Ibu, Dara sepertinya nggak pantas menjadi...." Ucapanku terpotong karena ibu sudah memelukku sangat erat, pelukan ini jelas menghangatkanku meski rasa bersalah selalu mengahantui tapi sungguh, pelukan ibu memberikan ketenangan sekaligus rasa nyaman untukku. "Kamu ikut ibu sebentar, ada kejutan buat kamu, Sayang," ucap ibu dengan nada bicara yang penuh kasih sayang. Wanita di hadapanku ini benar-benar berhati malaikat. Meski aku memiliki kesalahan besar, tetap saja ia berbesar hati membukakan pintu maafnya. Aku pun dirangkulnya sambil terus berjalan. Langkah kami tertuju ke kamar ibu, entah apa yang ia maksud sebagai kejutan, aku sungguh tak tahu sebelumnya. Sampai pada akhirnya pintu sudah dibuka, aku terkejut melihat bayi yang tertidur pulas di sana. Bayi perempuan yang sangat cantik dan lucu. "Anak siapa ini, Bu?" tanyaku terkejut sambil menatap sinar mata indah bayi itu. "Cucu ibu, anakmu," jawabnya. "Maksud Ibu?" "Ini amanah untukmu. Ibu harap amanah ini bisa membantumu keluar dari keterpurukan. Mulai hari ini dia putrimu, Sayang." Aku terharu bahkan ingin menangis. Duniaku seakan hidup kembali. Dan aku rasa, pilihan ibu untuk memintaku merawat bayi berumur dua minggu itu sangat tepat karena faktanya mereka berdua yang membuatku kuat sampai detik ini. Elsa memang dari panti asuhan, tapi aku menyayanginya seperti anak kandungku sendiri. Sejak hari itu aku berjanji kalau seluruh hidupku hanya untuk tiga hal, pertama untuk Tuhan, kedua Elsa dan ibu, terakhir untuk bekerja. Itu saja. Aku percaya, apa yang terjadi padaku bukan berasal dari ketidakadilan Tuhan. Itu malah balasan akan tindakan bodoh dan cerobohku. Tuhan malah sudah sangat adil dengan mengirimkan Elsa untukku. Skenario yang Tuhan buat itu akan jauh lebih indah. Aku harap tak ada lagi wanita yang bertindak bodoh sepertiku, karena aku sadar andai aku bisa mengulang waktu, aku tak akan pernah memberikan sesuatu yang sangat berharga pada pria yang belum resmi menikahiku. Sekarang aku hampir berusia 29 tahun dan kejadian itu hampir enam tahun yang lalu. Aku tak mau mengulang kebodohan yang sama, untuk itu aku menjadi selektif dalam memilih pasangan. Mungkin itu sebabnya aku masih sendiri, menjadi orangtua tunggal untuk Elsa. Aku rasa mencari pria yang tak hanya mencintaiku tapi juga mencintai Elsa juga, bukanlah sesuatu yang mudah. Namun aku percaya, suatu saat aku akan menemukan kebahagianku. Kebahagiaan yang bukan sekadar untukku, melainkan untuk Elsa dan ibuku juga. Tanpa sadar, ibu tiba-tiba datang. Wanita itu langsung sigap mematikan kompor kemudian beralih menatapku. "Kamu nangis?" tanya ibu. Ya Tuhan, aku begitu larut mengenang masa lalu sampai aku lupa kalau sedang memasak air untuk membuat teh hangat. Bisa-bisanya aku malah mengingat masa laluku enam tahun silam sehingga air yang aku masak hanya sisa seperempatnya. Sungguh, aku benar-benar larut mengenang kesalahan terbodohku dulu bahkan air mata ini mengalir deras tanpa aku sadari. Aku rasa, aku selalu ingin menangis jika mengingat kejadian itu. "Maafin Dara, Bu. Dara masak air aja nggak becus." Aku juga mengucapkannya dengan susah payah karena tangis ini benar-benar pecah. Ibu langsung memelukku erat, sangat erat seperti yang ia lakukan dulu saat aku rapuh. Tangisku malah makin menjadi. "Menangislah, Sayang, lepaskan. Lepaskan semua, ada Ibu di sini," ucapnya teduh. Ibu selalu membiarkanku menangis dulu daripada langsung banyak bertanya. Aku semakin menangis, selalu ada kepedihan yang tak bisa aku jelaskan. Juga, kepahitan yang hanya aku rasakan. Aku merasa begitu lemah jika mengingat kenangan itu. Aku tahu aku sebenarnya rapuh, sangat rapuh. Aku terus menangis sambil memeluk ibu. Sampai kapan aku akan terus begini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN