Chasing Memory 2a

1227 Kata
Satu hari yang cerah bagi kebanyakan orang, sama dengan satu hari kelabu bagi Aaron. Di saat rasa sepi begitu kuat menyerangnya, Aaron akan memutuskan untuk mengenang hari-hari bahagianya bersama Zea. Ia akan berjalan tanpa arah di jalan-jalan kota Verz, berhenti di satu titik tertentu dan membuka memori indah yang pernah tercipta dari tahun-tahun yang lalu. Hari ini, tanpa sadar kakinya melangkah menuju kafe tempat pertemuan pertamanya dengan Zea. Ia membeli secangkir kopi, membawanya ke meja di luar ruangan, lalu duduk di sana selama berjam-jam hingga kopinya berubah dingin. Tidak ada hal yang Aaron lakukan selain memandang jauh tanpa arah, dan mengenang pertemuan pertamanya yang sampai hari ini masih demikian segar dalam ingatan. >>> Siang itu, seperti biasa Zea Muller tengah duduk di tempat favoritnya, sebuah kafe yang berada di jalan tersibuk kota Verz. Zea selalu memilih tempat duduk di area outdoor, ditemani secangkir kopi dan kamera di tangan, serta notebook lusuh miliknya. Gadis itu terlihat seperti orang yang tengah melamun, namun sebenarnya matanya tengah bekerja mengawasi orang yang berlalu lalang di sekitar. Sesekali tangannya akan bergerak dan membidikkan kamera jika perhatiannya tergugah. "Hari yang sia-sia," gumam Zea bosan. Setelah hampir tiga jam duduk tanpa hasil, Zea mulai kesal. Tepat ketika Zea akan beranjak dari kursi, sesuatu yang tidak biasa menarik perhatiannya. Dari kejauhan, Zea melihat sesosok pria berpenampilan eksentrik. Urakan, garang, namun memiliki pesona yang sulit diabaikan.  Tubuhnya tinggi tegap, garis wajahnya keras, rambutnya dicepol asal namun bukan membuatnya terlihat berantakan malah memberi kesan maskulin. Pakaiannya tidak mencolok, namun membalut sempurna tubuhnya. Sepatu bot kulit berwarna hitam, celana kulit hitam yang membalut sempurna kaki jenjangnya, serta  kaus tanpa lengan yang mempertontonkan gambar ular di sepanjang lengan kanannya. Satu kata yang dapat menggambarkan situasi Zea saat ini. Terpesona. Mata Zea tidak bisa berhenti menatap sosok itu, sampai ia lupa untuk mengambil kamera dan membidikkannya. Barulah ketika pria itu melewatinya, Zea tersadar. Cepat-cepat ia berdiri dan membuntuti pria itu dari belakang. Mencoba mengimbangi langkah cepat pria itu  sambil memfokuskan bidikan kameranya. Zea terus mengikuti sosok itu, sampai berbelok di ujung jalan. Tiba-tiba langkahnya terhenti karena sosok itu menghilang dari jarak pandangnya. "Aaa!" jerit Zea tertahan. Gadis itu begitu terkejut ketika sosok yang ia buntuti tiba-tiba menarik pinggangnya dari belakang, menyekap mulutnya, lalu menyambar kamera miliknya. "Kembalikan kameraku!" seru Zea ketika ia sudah berhasil melepaskan diri dari sosok itu. "Akan kukembalikan setelah kupastikan isinya," sahut pria itu dingin. Tangannya bergerak cepat menekan tombol-tombol di kamera untuk membuka galeri foto. "Tidak sopan melihat isi kamera orang lain tanpa izin!" seru Zea marah sambil menerjang maju untuk merebut kameranya. Pria itu mengelak cepat dan mengacungkan kamera Zea tinggi-tinggi. "Lalu apakah menurutmu sopan mengambil foto seseorang tanpa izin?" balas pria itu tajam. Zea tercengang. Selama ini ia selalu berhasil menjalankan pekerjaannya tanpa menimbulkan kecurigaan dari orang lain. Namun hari ini berbeda.  "Katakan siapa dirimu dan apa tujuanmu?" tanya pria itu. "Aku rasa itu bukan urusanmu," balas Zea berani. "Kalau begitu, bukan urusanmu juga jika kubawa kamera ini?" ancam pria itu kejam. Setelah itu ia langsung berbalik dan berniat meninggalkan Zea. Cepat-cepat Zea berlari mengejar pria itu dan menyambar kausnya sambil berteriak keras, "jangan!"  Pria itu berbalik, menaikkan sebelah alisnya, lalu bertanya kaku, "kenapa?" "Kamera itu hidupku. Kalau kau mengambilnya, aku bisa mati." Kini Zea tidak lagi bertingkah sekeras tadi. Sadar bahwa perkataan pria ini sepertinya bukan sekadar ancaman belaka. "Katakan padaku siapa yang menyuruhmu?" "Hah?" Zea melongo mendengar pertanyaan yang diajukan pria itu. "Kau bekerja untuk siapa?" tanya pria itu lagi. Zea semakin melongo saja. "Siapa yang kau incar?" desaknya tidak sabar. Zea menggeleng cepat-cepat. "Aku tidak mengerti yang kau bicarakan." "Jangan berlagak polos!" sentak pria itu. Dicekalnya lengan Zea kuat-kuat hingga membuat gadis itu meringis. "Katakan di sini atau kubawa kau ke markas! Kalau sudah di sana aku tidak tahu yang akan terjadi denganmu." "Sir, sepertinya ada kesalahpahaman di sini." Zea meringis akibat nyeri di pergelangan tangannya. "Aku tidak bekerja untuk orang lain. Aku bekerja untuk diriku sendiri dan atas kehendakku sendiri. Targetku tidak terbatas, siapa saja yang memiliki selera fashion bagus, bisa menarik perhatianku dan berpotensi untuk menarik perhatian banyak orang juga, maka profilnya akan muncul dalam blog milikku." "Menarik? Selera fashion? Blog?" ulang pria itu bingung. "Kau ini sedang bicara apa? Jangan bercanda denganku!" "Aku serius!" "Katakan padaku profesimu yang sebenarnya!" cecar pria itu. Kali ini Zea terpaksa menyerah. Akal sehatnya mengingatkan bahwa keadaan saat ini tidak menguntungkan baginya. Saat ini ia sedang berada di jalanan sepi dengan seorang pria yang marah karena merasa terancam olehnya. Jadi akan sangat bijak bagi Zea untuk mengatakan yang sebenarnya saja. "Aku seorang fashion blogger." Jawaban Zea membuat pria itu mengernyit, karena berbeda jauh dari dugaannya "Dan untuk apa kau membuntutiku?" "Hanya kebetulan saja kau menarik perhatianku," aku Zea jujur. Ia memang tidak pernah bisa mengendalikan arah ketertarikannya pada seseorang. Zea bisa saja tiba-tiba tertarik memotret seorang gadis cantik, pria tampan, gadis kecil yang lucu, bocah lelaki yang mungil, bayi-bayi yang menggemaskan, kakek yang kharismatik, nenek yang anggun, atau siapa saja. "Sekarang kembalikan kameraku," pinta Zea setengah memohon. "Katakan padaku kenapa juga aku harus memercayai bualanmu itu?" balas pria itu dingin.  Zea menggeleng lelah. "Tidak ada yang memintamu percaya." "Jawaban yang salah, Nona!" desis pria itu lalu tangannya segera bergerak kembali memeriksa isi galeri foto dalam kamera Zea. "Jangan!" seru Zea panik. Ia takut pria itu akan menghapus hasil jepretannya. "Biar kubuktikan dulu kebenaran ucapanmu itu," balas pria itu tidak peduli. Setelah memeriksa seluruh isi galeri dalam kamera dan tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan, akhirnya pria itu mengembalikan kamera milik Zea. "Sudah puas? Sudah percaya padaku?" ujar Zea lega. Pria itu hanya mengedik tidak peduli. "Lain kali janganlah cepat berburuk sangka," gumam Zea sebal. "Salahmu sendiri kenapa bertingkah seperti penguntit," balas pria itu sebelum menjauh dan meninggalkan Zea. Zea masih terdiam lama setelah pria itu menghilang. Masih terkejut oleh kejadian yang baru saja menimpanya. Selama tiga tahun menjalani profesinya, belum pernah satu kali juga ia mengalami kejadian seperti tadi. Berpetualang di jalan-jalan kota besar di berbagai belahan dunia sudah cukup sering dilakoninya, dan itu merupakan surga dunia bagi pemburu fashion seperti Zea Muller. Zea sudah terbiasa berjalan tanpa arah atau duduk selama berjam-jam dengan kamera di tangan, mengamati orang-orang yang berseliweran di dekatnya, lalu membidikkan kamera ke arah mereka yang penampilannya menarik perhatian. Itulah pekerjaan Zea sehari-hari, mengabadikan gambar seseorang dengan selera fashion tinggi, lalu mengulas dalam blognya.  Di usinya yang baru menginjak 22 tahun, Zea sudah menjadi seorang fashion blogger terkenal yang namanya diperhitungkan dalam dunia fashion internasional. Banyak perancang busana terkenal yang meminta Zea mengulas pakaian-pakaian hasil rancangan mereka. Hal itu terjadi karena biasanya tidak lama setelah ulasan Zea muncul, pakaian yang diulas akan segera menjadi hot topic dan banyak diburu orang. Belum lagi sosok Zea yang misterius dan menarik untuk diperbincangkan orang. Ibunya, Carrie Young, adalah seorang supermodel yang berasal dari Qruinz. Di masa mudanya, Carrie berhasil merajai panggung fashion dunia. Sementara ayanya, Garrick Muller, adalah seorang ilmuwan terkenal dari Jerman yang banyak melakukan riset dalam dunia medis. Sejak kecil, Zea hidup berpindah-pindah, terkadang mengikuti ibunya berkeliling dunia, atau terkadang menetap bersama ayahnya di Jerman. Namun ketika Carrie pensiun dari dunia modeling, wanita itu memutuskan kembali ke negaranya dan menetap di Qruinz. Carrie membawa Zea bersamanya, sementara Garrick tetap menetap di Jerman demi pekerjaannya. Itulah sepenggal kisah tentang Zea Muller, gadis cantik nan unik yang senang sekali menghabiskan waktunya di jalanan untuk memburu foto-foto menarik demi ulasan dalam blognya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN