Chasing Memory 7a

1050 Kata
Tidur Aaron terganggu ketika pintu kamar terbuka dan cahaya dari luar menimpa matanya. Ia mengerjap beberapa kali lalu menyadari ada sesosok perempuan yang berdiri di samping pintu kamarnya. Napasnya tercekat ketika melihat sosok yang mematung mengamatinya sejak tadi. Meski dalam kondisi penerangan yang samar sekalipun, Aaron akan selalu mengenali sosoknya. "Zea, sedang apa di situ?" Aaron bingung melihat Zea hanya diam saja menatapnya.  "Zea? Kenapa diam saja di sana?" tanya Aaron penuh rindu. "Ayo, sini!" Meski Aaron sudah memanggilnya, Zea tetap diam di tempat dan tidak berniat beranjak sedikit pun. Melihat Zea yang tetap mematung, Aaron turun tergesa dari tempat tidur untuk menghampiri gadis itu. "Zea, ke mana saja kamu selama ini?" Dipeluknya Zea sedemikian erat. Aaron begitu takut kehilangan gadis itu. Ia takut Zea akan pergi lagi.  Tidak ada reaksi, tubuh Zea kaku dalam pelukan Aaron. Aaron melepas pelukannya kemudian merangkum wajah Zea sambil menatapnya tanpa berkedip, seolah takut wajah gadis itu akan menghilang begitu ia berkedip.  "Apa kamu tahu aku hampir gila mencari kamu?" ujar Aaron lirih. "Aku rindu …," bisik Zea lirih. Tidak terbayangkan kelegaan yang Aaron rasakan ketika melihat Zea akhirnya bereaksi. Belum lagi mendengar suara yang telah sekian lama begitu ia rindukan. Aaron menggeleng sambil tersenyum bahagia, kemudian menyatukan kening mereka. "Aku hampir tidak bisa bernapas karena merindukan kamu." "Tapi sepertinya kamu melupakan aku," ujar Zea sedih. "Aku? Melupakan kamu?" tanya Aaron terkejut. "Mana mungkin!" Zea menatap dalam mata Aaron dengan sorot teramat sedih. "Kamu tidak mengenali aku." "Maksud kamu apa?" tanya Aaron bingung. Tangan Zea naik membelai wajah Aaron, kemudian perlahan tubuh gadis itu mulai memudar.  "Cari aku …, lihat aku baik-baik …, kenali aku …," bisik Zea ketika tubuhnya semakin memudar. "Zea, jangan pergi!" cegah Aaron. Ia berusaha memeluk Zea tanpa hasil. Tangannya hanya mampu menggapai udara di depannya. "Zea, tunggu aku!" seru Aaron putus asa. Tidak lagi! Selalu seperti ini. Zea selalu menghilang dalam pandangannya, dan Aaron benci itu. "ZEA!" teriak Aaron penuh kemarahan. Detik itu juga Aaron terbangun dari mimpi. Tubuhnya basah oleh keringat, napasnya memburu, dan dadanya sakit. Sesak. "Mimpi apa ini …?" Aaron beringsut duduk, berusaha bernapas dengan teratur untuk meredakan sesak yang ia rasakan. Tangannya terangkat memijat pelipis yang terasa menegang akibat mimpi tadi. "Kenapa berbeda dari biasanya?" Sepanjang tiga tahun masa kelamnya kehilangan Zea, belum pernah ia memimpikan kejadian seperti malam ini. Mimpi yang biasa ia lihat adalah momen-momen manis mereka saat masih bersama, atau momen hari pernikahan yang tidak pernah kesampaian. Baru pernah ia mendapat mimpi seperti yang baru saja ia alami, meski akhirnya selalu sama, yaitu Zea menghilang dari pandangan Aaron. Namun yang lebih aneh lagi, kehadiran Zea terasa begitu nyata. Seolah gadis itu benar-benar ada di kamarnya tadi. Aaron tidak bisa melupakan tatapan Zea saat memintanya mencari dan menemukan gadis itu. Tiba-tiba Aaron tercekat. "Tatapan matanya tadi, sama persis dengan tatapan perempuan itu tadi." Tatapan Zea dalam mimpinya membuat Aaron teringat akan tatapan Annette. Tanpa berpikir panjang lagi, Aaron menyambar jaketnya lalu berlari menuruni tangga. Ada dorongan kuat yang ia rasakan untuk segera menemui perempuan itu. Aaron butuh melihatnya, tanpa alasan. Mungkin mimpi tadi telah mengacaukan pikirannya yang memang sudah kusut. Aaron mengemudikan mobil dengan pikiran berkabut menuju kawasan Black Hill. Frame dalam kepalanya terus berganti antara pertemuannya dengan Annette Johannsen kemarin dan mimpi janggalnya bersama Zea Muller. Satu hal yang baru Aaron sadari, tatapan mata keduanya sama. Saat bertemu Annette kemarin, ia merasa tatapan perempuan itu berbeda dengan Zea, karena gadis yang ia cintai memiliki sorot mata ceria yang penuh binar kehidupan. Sementara mata Annette teduh, cenderung sayu dan kosong. Namun dalam mimpinya, Aaron melihat sorot mata Zea yang sedang kesepian, dan itu sama persis dengan yang Annette miliki. Setelah menempuh perjalanan sekitar 20 menit, Aaron memarkirkan mobilnya di depan butik milik Annette. Baru disadarinya jika saat ini baru dini hari. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sepanjang blok ini, semua lampu baik toko atau rumah masih gelap, yang ada hanya lampu jalan. Tidak ada orang yang berkeliaran di sepanjang jalan Black Hill, karena blok ini bukanlah kawasan hiburan malam. Satu kebodohan lain yang baru Aaron sadari, untuk apa ia mendatangi butik milik Annette? Memangnya perempuan itu tinggal di butiknya? Aaron mengutuki dirinya sendiri dalam hati karena sudah segegabah ini. Mungkin ia memang sudah menuju gila.  Setelah sadar bahwa yang dilakukannya ini sia-sia, Aaron memutuskan melajukan kembali mobilnya. Ia belum tahu akan ke mana, mungkin pulang, mungkin mencari Javier atau Rocky. Tanpa Aaron tahu bahwa lampu di lantai atas AJ Bridal dinyalakan tepat ketika ia meninggalkan tempat itu. *** Linz menatap curiga ke arah sahabat sekaligus atasannya di tempat kerja. Sejak tadi, diam-diam Linz mencetak pola sambil mengamati tingkah Annette yang mencurigakan. Setelah menahan diri cukup lama, Linz tidak tahan lagi. “Kenapa sejak tadi kau terus menatap ke seberang jalan?” Hening. Tidak ada balasan. “Ann …,” panggil Linz. Tetap hening. Gadis bernama Annette itu tengah tenggelam dalam lamunannya sendiri dan tidak menyadari panggilan Linz. Linz meletakkan pensil gambarnya dengan kasar ke atas meja lalu berteriak kencang. “Annette!” “Hm?” Annette menoleh pelan dan memandang malas pada Linz. “Kau melamun?” cibir Linz. “Tidak,” elak Annette. “Lalu kenapa tidak mendengar panggilanku?” tanya Linz ketus. “Aku sedang berpikir,” kilah Annette. “Memikirkan apa?” cecar Linz. Dibaliknya buku sketsa dengan cepat dan berhenti di satu halaman yang sudah terisi. Annette melirik sepintas coretan di ujung kanan atas halaman itu lalu menjawab Linz. “Rancangan untuk Lady Minerva.” Linz mendengus geli. “Bukankah masih tahun depan?” “Hm.” Annette mengangguk mengiakan. “Tapi dia sudah meminta rancangannya bulan depan.”  Untuk hal ini Annette tidak berbohong. Sebagai istri dari orang berkuasa di negeri ini, Lady Minerva memang bisa bersikap sesuka hati sesuai suasana hatinya. Ada kalanya ia manis, hangat, dan menyenangkan. Namun seringkali ia bertingkah menyebalkan. Contohnya saja, ia meminta rancangan khusus dari Annette untuk mendatangi pernikahan putri teman lamanya yang akan diadakan tahun depan. Wanita akhir 40-an itu memang paling juara dalam menyusahkan orang, meski bayaran yang ia berikan pun sebanding. Linz meninggalkan pekerjaannya lalu menghampiri meja kerja Annette. “Tapi aku mencurigai sesuatu.” “Apa?” Linz duduk di atas meja kerja Annette lalu memandangi gadis itu. “Kau tidak terlihat seperti sedang memikirkan sebuah rancangan,” ujar Linz sok tahu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN