"Zea …," bisik Aaron penuh rindu.
Tidak cukup rasanya sekadar memegang lengan sosok yang begitu ia rindukan. Tanpa berpikir lagi, Aaron langsung menarik tubuh perempuan itu mendekat lalu memeluknya erat. Dadanya seolah ingin meledak karena rindu yang selama tiga tahun ini ia tahan.
Perempuan dalam pelukan Aaron begitu terkejut karena aksi tak terduga dari orang yang tidak dikenalnya. Perlahan ia mendorong d**a Aaron menjauh lalu berbicara. "Maaf, sepertinya Anda salah orang."
"Aku tidak mungkin salah orang." Aaron menggeleng kencang, masih tetap berkeras memeluk perempuan di hadapannya, meski tidak lagi seerat tadi.
Perempuan itu meletakkan tangannya di lengan Aaron, lalu mendorongnya menjauh. Ia sendiri mundur perlahan, namun bicaranya tetap tenang dan sopan. "Anda salah, Sir."
Melihat sikap perempuan itu, ada rasa ragu yang mulai muncul dalam hati Aaron. Mengapa sikap perempuan ini terlihat berbeda dengan Zea yang ia kenal? Namun wajah dan sosoknya jelas sama.
"Aku Aaron, Zea. Apa kau tidak mengingatku?" tanya Aaron ragu.
Perempuan itu tersenyum sopan dan menggeleng. "Saya belum pernah melihat Anda sebelumnya."
Aaron menggeleng sedih. Hatinya terasa sakit mendapati kenyataan jika gadis yang sangat ia cintai, yang sekian lama dicarinya, yang telah begitu lama ia rindukan, ternyata tidak mengingatnya.
"Tapi aku tidak mungkin salah. Aku begitu mengenalmu, dan aku akan selalu mengenalimu, Zea."
Perempuan itu kembali menggeleng pelan. Wajahnya terlihat kebingungan, perpaduan antara rasa terkejut juga iba melihat Aaron. "Maafkan saya, tapi Anda salah orang, Sir. Saya bukan Zea."
"Lalu siapa namamu?"
"Saya Annette. Annette Johannsen."
"Tidak mungkin ...." Aaron bergumam lirih. Ia terus memandangi sosok perempuan yang mengaku bernama Annette Johannsen itu. Mencoba mencari kebohongan di mata perempuan itu, namun ia hanya melihat kejujuran. Aaron mencoba menangkap sorot rindu yang mungkin terpancar di mata perempuan itu, namun yang ia lihat hanya kebingungan.
"Maaf ...," ujar Annette canggung. Ia benar-benar kebingungan saat ini. Ia ingin secepatnya masuk ke dalam butik namun ada rasa tidak tega meninggalkan pria yang terlihat sedang putus asa ini. Namun terus menemani di sini pun, Annette tidak nyaman. "Jika tidak ada yang ingin dibicarakan lagi, saya harus kembali bekerja."
"Tunggu!" cegah Aaron cepat untuk menghentikan Annette. Setelah perempuan itu mengatakan dirinya bukan Zea Muller, kini Aaron tidak berani lagi melakukan kontak fisik dengannya.
"Ya …?" ujar Annette dengan pandangan bertanya.
"Masih ada yang ingin aku tanyakan," ujar Aaron ragu.
"Apa itu?" balas Annette sabar.
"Butik ini …," ujar Aaron sambil menatap ke dalam butik gaun pengantin di hadapannya. Saat melihat bagian depan butik yang terletak di kawasan Black Hill itu dengan saksama, barulah Aaron menyadari nama tempat ini. Di bagian atas window display butik ini terdapat tulisan AJ Bridal. Mungkin singkatan dari Annette Johannsen. "Apa tempat ini milikmu?"
"Ya."
"Bisa kita bicara di dalam?" pinta Aaron penuh harap.
Annette mengamati sosok Aaron, mencoba menilai apakah pria ini bermaksud buruk? Namun melihat sorot matanya, Annette seolah bisa merasakan kesedihan mendalam yang pria itu tanggung dalam hatinya. Akhirnya ia memutuskan, tidak ada salahnya mengizinkan Aaron masuk dan berbicara. "Bisa."
Annette mendahului berjalan di depan Aaron, lalu membuka pintu dan mempersilakan pria itu masuk. Ia mengarahkan Aaron ke ruang tunggu yang terkesan mewah dan berkelas. Bukan hanya ruang tunggunya, namun keseluruhan butik ini terkesan mewah.
"Silakan duduk." Annette menunjuk sofa bergaya klasik berwarna beige di tengah ruangan. “Sebentar saya ambilkan minum dulu."
Mata Aaron tidak bisa lepas mengamati pergerakan Annette. Dalam kepalanya, pertanyaan itu terus muncul. Benarkah perempuan ini bukan gadisnya? Kalau memang bukan, lantas mengapa mereka bisa sedemikian mirip? Namun jika Aaron mengamati sikapnya, keraguan itu memang muncul. Sikap Annette memang sangat berbeda dengan Zea. Annette yang tenang, sementara Zea cenderung ekspresif dan meledak-ledak. Annette yang anggun, sementara Zea ceria dan nakal.
Aaron terpaksa menghentikan penilaiannya karena Annette sudah kembali dengan membawa dua cangkir teh hangat. Melihat minuman yang Annette sajikan, pikiran Aaron otomatis kembali bekerja membandingkan sosoknya dengan Zea. Zea tidak mungkin menyajikan minuman hangat untuknya, gadis itu lebih menyukai minuman dingin dan segar, seperti buah-buahan. Bukan minuman hangat dan menenangkan seperti teh.
"Jadi, apa yang bisa saya bantu?” tanya Annette ketika melihat Aaron dia saja. “Apa lagi yang ingin Anda tanyakan?"
"Sejak kapan kau membuka butik di sini?"
"Sebelum saya menjawab, boleh saya tahu alasan Anda bertanya?" tanya Annette hati-hati. Meski Aaron tidak terlihat seperti pria jahat dengan gelagat mencurigakan, tetap saja Annette tidak bisa sembarang membagikan informasi pribadinya pada orang yang baru ia temui.
"Aku sedang mencari seorang gadis. Calon istriku. Dia menghilang tiga tahun lalu, tepat di hari ini."
Annette bisa menangkap getaran dalam suara Aaron yang membuatnya semakin bersimpati. "Saya turut menyesal mendengarnya."
Aaron memandang wajah Annette lekat-lekat. Ada kerinduan yang pekat dalam sorot matanya. "Wajahnya persis wajahmu. Postur tubuh kalian juga sama. Bahkan suara kalian persis."
"Ini pasti berat untuk Anda."
Aaron menunduk beberapa saat, mengembuskan napas perlahan, berusaha mengendalikan diri sebelum kembali melanjutkan percakapan dengan Annette.
"Apa sekarang kau bisa menjawab pertanyaanku tadi?"
"Ah, ya!” Sejujurnya untuk beberapa saat, Annette seolah ikut terhanyut dalam kesedihan Aaron, hingga ia melupakan fokus percakapan mereka. “Saya baru membuka butik ini tiga bulan yang lalu."
"Sebelumnya, di mana kau tinggal?" Meski sudah mengetahui identitas perempuan di hadapanya ini, Aaron masih belum bisa menerima jika Annette bukanlah Zea. Masih ada harapan dalam hatinya bahwa Annette adalah gadisnya yang hilang.
"Saya tidak bisa memberitahu Anda, karena kita tidak saling mengenal, Sir." Annette menggeleng penuh sesal.
"Kau bisa memanggilku Aaron saja. Tidak perlu bersikap seformal itu." Rasanya menyakitkan mendengar cara Annette berbicara padanya, meski Aaron tahu mereka orang asing.
"Maafkan aku, Aaron. Aku tidak bisa memberitahumu."
Sadar jika pertanyaannya mungkin terlalu pribadi, Aaron mencoba dengan cara yang berbeda. "Baiklah, kuubah pertanyaanku. Apa sebelumnya kau tinggal di Verz?"
"Tidak."
"Tapi sudah lama di Qruinz?"
"Tidak."
"Jadi sebelumnya kau tinggal di luar negeri." Itulah kesimpulan yang bisa Aaron dapatkan sejauh ini.
"Apa kau masih berpikir kalau aku ini calon istrimu yang menghilang itu?" tanya Annette hati-hati.
"Sejujurnya begitu." Aaron mengangguk sambil tersenyum sedih.
"Maaf membuatmu kecewa, tapi aku bukan orang itu." Annette pun membalasnya dengan senyum menyesal. “Sepertinya dia gadis yang sangat hebat dan tidak mudah dilupakan.”
“Memang.”
“Dia pasti akan merasa bahagia jika mengetahui dirinya dicintai dengan sangat.” Ada perasaan iri dalam hati Annette yang tiba-tiba hadir ketika melihat seorang pria yang mencintai kekasihnya sampai sebesar ini. Bahkan meski kekasihnya sudah menghilang bertahun-tahun, rasa itu seolah tidak memudar.