Perjalanan menuju Aceh tidak menghabiskan banyak waktu. Tapi, perjalanan dari Bandara SIM ( Sultan Iskandar Muda ). Menuju rumah sakit tempat Ayah nya Afdhal di rawat menghabiskan waktu kurang lebih dua jam.
Membuat lelah yang di rasakan Shani jelas. Karena, pasalnya baru siang tadi mereka turun dari pesawat lalu sore nya kembali naik pesawat menuju Banda Aceh.
Kemudian, harus kembali duduk di dalam mobil selama hampir dua jam. Belum lagi, fikiran nya yang kacau karena perasaan nya tidak tenang sejak Cio izin pergi secara tiba-tiba.
"Hallo,  Aku di Banda, Abang dimana ?. ". 
Shani melirik ke samping nya, Afdhal tengah berbicara di telfon dengan Abang nya, walau tidak terlalu mengerti apa yang di bicarakan oleh suami nya itu.
" Ayah gimana ! Kenapa baru bilang pada ku sekarang ?". Ia bisa menangkap nada marah dalam suara pria itu.
Tapi, masih terdengar sopan, tidak meledak-ledak.
Ia kemudian memilih menoleh keluar jendela. Menatap jalanan yang tidak terlalu ramai sehingga mobil yang mereka tumpangi melaju dengan mulus.
Ini pertama kali nya ia Ke Aceh. Jadi, tidak terlalu ia ketahui.
Namun, perjalanan menuju Sigli,kota dimana Ayah nya Afdhal di rawat saat itu. Kota itu lah yang tadi di sebutkan oleh Afdhal pada sopir rental yang mereka sewa untuk mengantar mereka ke tujuan.
Ia mencoba memejam kan mata, sedikit saja merehatkan matanya. Afdhal juga seolah mengerti atau pria itu juga merasa lelah, sehingga tidak berniat untuk mengajak Shani mengobrol dan membiarkan perempuan itu istirahat.
Pria itu sebenarnya tidak memaksa agar Shani ikut dengan nya. 
Ia bisa pulang sendiri, dan keluarganya juga pasti mengerti. Tapi, Shani tetap ikut dengan nya demi menghormati keluarganya, bukan kah itu sedikit kemajuan.?.
Tidur Shani terusik, ketika merasakan bahu nya di guncang. Membuat kedua matanya dengan terpaksa terbuka.
"Sholat magrib dulu yuk" ujar Afdhal setelah Shani membuka kedua matanya.
Shani memandangi sekitar, untuk mencari tau di mana keberadaan mereka. Tapi, percuma toh ia juga tidak tau dimana.
"Duluan aja " ujar Shani.
Afdhal mengulum senyum nya, kemudian pria itu turun dari dalam mobil yang ternyata di parkir dalam area sebuah mesjid yang tidak terlalu besar.
Ia memilih untuk kembali memejamkan mata sejenak sembari menunggu suami nya selesai sholat. Namun, ia teringat sesuatu membuatnya langsung meraih hp nya.
Ck.
Ia berdecak, ketika melihat hp nya mati. Mungkin, Batre nya habis karena tidak di cas seharian ini. Dan, ia tidak bisa menghubungi Cio sekarang. Membuat kesal dan juga perutnya mulai terasa lapar.
***
Mereka tiba di rumah sakit umum di Kota Sigli pukul delapan malam.
Di sambut oleh Abang sulung nya Afdhal dan istri nya yang hendak mencari makan malam.
"Abang, !" Panggil Afdhal, begitu ia melihat Abang dan Kakak ipar nya di depan lobby rumah sakit.
"Dhal, Shani " sapa Dika ketika sang adik menghampirinya.
Afdhal langsung dengan sopan menyalami Abang dan kakak iparnya dan kemudian di susul Shani.
"Ayah gimana ?". Tanya Afdhal dengan raut cemas.
"Gapapa kok, jatuh dari motor kemarin. Kaki nya patah, tapi udah di operasi dua hari lalu. Jadi, sekarang udah gak apa." Jawab Dika tidak mau membuat adik nya semakin cemas. "Masuk aja, ada Bang Adek di dalam. Di lantai dua, lorong Cempaka nomor 56 ". Lanjut Dika pada Afdhal dan Shani.
Afdhal mengangguk, kemudian pamit untuk masuk kedalam.
"Kalian udah makan? Abang sama Kak Kinal mau nyari makan soal nya." Tanya Dika pada keduanya sebelum benar-benar pergi.
"Udah kok tadi, " jawab Afdhal. Dan kemudian pamit untuk masuk kedalam.
Tiba di kamar rawat inap, ternyata ruangan cukup ramai. Ada beberapa saudara Afdhal yang sedang menjenguk.
Membuat Shani sedikit canggung, berbeda dengan Afdhal yang langsung menghampiri Ayah nya yang terbaring di bansal.
Beliau terlihat baik-baik saja, selain kaki kirinya yang di gips. Dan, beberapa luka lecet di tangan. Selebih nya, terlihat sehat.
Bahkan saat ia masuk tadi, beliau tengah mengobrol dengan yang lain. Dan, pertemuan anak dan ayah itu tidak ada drama yang berlebihan seperti di sinetron-sinetron. Afdhal tidak terlalu menunjukkan kecemasan nya, Ibu nya juga tidak terlalu melebih-lebihkan kondisi sang Ayah.
" Gapapa, itulah kaki nya saja" ujar ibunya ketika Afdhal berdiri di samping bansal ayah nya.
"Kenapa memang?"
"Jatuh dari motor, ada anjing lewat di depan tiba-tiba. Terkejut Ayah." Jelas ibu nya Afdhal dengan tidak di mengerti oleh Shani.
Ia tidak tau kalau keluarga Afdhal ternyata lebih dominan berbicara dalam bahasa daerah. Hanya pada dirinya, Shania dan Kak Kinal saja mereka berbicara dalam bahasa indonesia. Mungkin, paham kalau menantu-menantunya tidak bisa. Tapi, ia bisa melihat dalam beberapa obrolan sesekali Shania dan Kak Kinal ikut nyeletuk. Atau, mereka paham dengan obrolan tersebut. Berbeda dengan nya yang memang tidak sama sekali mengerti.
"Nanti juga biasa kok, gue awal nya juga gitu. Khalif, kalau ngedumel atau marah-marah suka keluar bahasa Aceh nya. Dan, itu lucu." Ujar Shania, saat ia bertanya.
Shani hanya mengangguk, ia juga dulu sempat sesekali mendengar Khalif berbicara dalam bahasa Aceh. Ia dan Khalif dekat banget saat masih sekolah. Bahkan, pernah saling suka. Ia menyukai kepribadian Khalif.
Tapi, ia tidak berani melangkah lebih jauh dengan Khalif. Karena, ia sadar kalau keluarga nya dan keluarga Khalif tidak cocok. 
Maksudnya, mana mungkin keluarga Khalif bisa menerima dirinya yang seorang anak dari Mafia?. 
Tapi sekarang? Ia malah dengan mudah menjadi bagian dari keluarga yang nama nya sekarang ini sedang bersinar di dunia bisnis.
Matanya mengitari ruangan kamar yang mulai sepi, karena saudara-saudara yang menjenguk sudah pamit pulang. Kini, hanya menyisakan keluarga inti saja.
"Kyla gak ikut,?" Tanya Shani, saat tidak melihat Kyla. Anak perempuan nya Shania dan Khalif yang sudah berumur tujuh tahun lebih.
"Enggak, kami bertiga aja. Rafan kan emang gak bisa di tinggal Ayah nya. Kyla gak mau ikut, kalau si Abang gak ikut. Jadi, di tinggal deh sama Oma nya. " Jelas Shania.
Shani mengangguk, ia melihat Baby Rafan dalam gendongan Khalif terlihat menjulurkan kedua tangan nya pada Afdhal yang mendekatinya.
Ia memang tidak terlalu dekat dengan Afdhal, tapi cukup mengenal pria itu. Setiap pertemuan keluarga, kadang Cio mengajak nya. Dan, ia juga beberapa kali melihat Afdhal sangat dekat dengan para anak-anak.
Jadi, ia tidak akan heran jika pria itu bisa dengan mudah mengambil hati anak-anak.
***
"Sebenarnya, Kondisi Ayah gak terlalu parah. Cuma, kadang Afdhal suka lebay. Kamu pasti capek banget, baru pulang dari Bali terus harus terbang lagi ke sini. Dan menempuh perjalanan jauh lagi." Ujar Dika, yang sedang menyetir.
"Enggak apa kok, Bang. Lagian, ini pertama kali aku ke Aceh." Jawab Shani berusaha untuk tetap ramah.
Dika melirik adik iparnya melalui spion depan. Ia mengulum senyum manis, kemudian melirik istri nya yang duduk di samping dirinya sedang memangku si bungsu yang masih terjaga.
"Acut, hana woe?( Acut, gak pulang?)" Tanya Baby Akmal dengan suara mungil nya. 
Acut merupakan panggilan untuk adik ayah, sama dengan Paman/Om.
"Ayah sama Mama ada, tapi tetap nanya nya Acut nya " ujar Shania yang duduk di penumpang belakang bersama Shani.
Kinal dan Dika langsung tertawa. Begitu Shani yang hanya mengulum senyum.
Mereka terpaksa pulang kerumah saat malam sudah larut. Tidak mungkin menginap di rumah sakit. Apalagi, Dika yang memang sudah hampir tiga hari ini terus tidur di rumah sakit menemani Ayah nya.
Dan, tadi saat Khalif ingin gantian jaga. 
Afdhal malah meminta diri, apa lagi ketika Ayah nya juga minta adik nya saja yang menemani nya.
Jadi, Afdhal menyuruh Shani ikut pulang bersama Abang-abang nya. Agar Shani bisa istirahat dengan nyaman di rumah. Ia sempat menolak, karena bisa tidur di rumah sakit atau penginapan terdekat. Namun, saat Ibu mertuanya berkata.
"Kamu bukan tamu, kamu udah jadi anak Mamak sama Ayah. Jadi, tidur di rumah aja. Lagian, besok Ayah juga udah bisa pulang. ". 
Dan ia tidak bisa lagi menolak, akhirnya ikut serta dengan Abang-abang iparnya.
Dan ternyata, perjalanan dari rumah sakit menuju rumah juga cukup jauh. Yaitu, memakan waktu hampir satu jam lebih.
Bahkan jalanan nya sangat gelap, sangat sepi saat mobil mereka memasuki pegunungan.
Ia tidak bisa melihat apa-apa di luar saking gelap nya.
Untuk lampu jalanan saja tidak ada.
Tapi, Abang iparnya dengan santai mengemudi mobil. Dari, yang ia rasakan sebagai penumpang jalanan nya cukup berkelok, atau naik turun. Jelas, terasa jalanan pegunungan.
Suasana mobil juga tidak sepi, karena  Kak Kinal merupakan perempuan yang suka berbicara.
Atau mendengar celotehan Akmal yang masih belum lancar berbicara, namun sangat bawel seperti ibu nya. 
"Yang terjun mobil kemarin,di sini bukan sih?" Tiba-tiba Shania bertanya saat mobil melewati kelokkan lain.
"Iya, pendatang kayak nya sih. Jadi, gak tau kalau setelah jalan lurus tadi ada kelokkan tajam." Jawab Dika.
"Emang nya, jurang ya ?" Tanya Shani penasaran.
"Iya, kalau malam gak terlalu nampak, tapi kalau matahari terbit loe pasti bakal merinding kalau lewat sini lagi. Loe tau? Jalan yang kita lewati itu pegunungan dan jurang." Jelas Shania.
Dan itu cukup membuat Shani terkejut. Membuat, Khalif, Kinal dan Dika terkekeh geli sendiri.
"Rumah Mamak sama Ayah, itu masih pedesaan banget. Di pegunungan, orang-orang nya juga masih asli penduduk sini. Tapi, sekarang udah lumayan modern lah, maksudnya gak gaptek sama kehidupan kota. Tapi. Mata pencaharian mereka ya.. petani, peternak, atau perkebunan gitu. " Jelas Kinal menoleh sekali kebelakang.
"Shani, kamu harus minta Afdhal bawa kamu ke kebun.". Celetuk Khalif yang duduk di bagian paling belakang.
"Jangan mau!" Saut Kinal dan Shania kompak.
Membuat para suami nya langsung tertawa. "Loe bakal nyesel, sumpah.!" Lanjut Shania.
"Yap! " Timpal Kinal. "Kak Kinal cukup sekali deh. Abis itu enggak lagi, kakak jadi kasian sama Ayah sama mamak. Hampir tiap hari ke kebun dengan perjalanan yang, kayak naik gunung Rinjani tau enggak!".
"Hahaa.. lebay kamu." Celetuk Dika. Pria tampan dengan perawakan maskulin itu melirik adik ipar nya melalui spion depan. " Kalian aja yang lemah, gak terbiasa. Jadi gampang capek!".
"Bener. Bang! Yang ada mereka malah ngerepotin banget!. Bang dek, malah terpaksa nge-gendong Shania yang udah gak kuat jalan lagi." Saut Khalif dengan semangat.
"Yee.. salah kamu sendiri. Kenapa gak bilang kalau bakal naik gunung?"
"Lha, kan aku udah bilang sebelum pergi, kalau aku mau ke kebun, dan jalan nya itu naik gunung. Kamu nya aja yang ngeyel. Sok, kuat. " Jawab Khalif tidak mau di salah kan.
"Ya, kamu gak bilang kalau jalan nya itu kayak gitu!. Aku fikirkan kayak, ke kebun durian yang di kebuNilam!. Tau nya kayak, hutan nya hutan rimba banget. Mana jalan nya naik terus lagi!" Ujar Shania, mendelik pada suami nya.
Shani yang menjadi pendengar dan penonton merasa mulai canggung lagi. Dan, juga merasa senang berada di tengah-tengah mereka. Sedikit, membuat nya iri melihat interaksi mereka.
Mungkin, kalau ia benar-benar bisa masuk lebih dalam. Bisa saja, ia merasakan apa yang di rasakan oleh Shania atau Kak Kinal. Keluarga itu sungguh menyenangkan, terasa sangat beretika. Dari, Tutur kata saja sudah sangat sopan.
Ia mengenal Khalif, dan dari penilaian nya pada pria itu ia juga bisa menilai kehidupan keluarga suami nya itu.
Membuatnya yakin, kalau orang tua mereka sudah sangat berhasil mendidik anak-anak mereka. Bukan cuma sukses dalam pekerjaan, namun juga kepribadian. Dan mungkin, juga Akhirat.
Diam-diam ia jadi, ingin menjadi bagian keluarga itu.
Namun, dengan cepat ia menepiskan semua perasaan sentimentil itu. Mengembalikan semua kesadaran nya. Tidak terbawa dalam suasana yang saat ini di berikan.