Dua tahun mencintai pacar orang itu rasanya nyesek banget. Hanya bisa mengaguminya dalam diam. Setiap kali bisa bertemu, justru disuguhi kemesraan mereka. Mana Elang sangka bisa begitu kebetulan, dia jatuh cinta ke gadis yang ternyata adalah pacar Dikta. Ini bukan lagi tentang kekurangajarannya mengincar pacar orang, tapi dia tidak rela gadis secantik dan sebaik Nara jadi mainan pria sebrengsek Dikta. Sejak dikenalkan Emir di Jerman dulu, Elang memang tidak begitu menyukainya. Dia dididik di lingkungan yang sangat menjunjung kesetiaan pernikahan, seketika ilfil dengan Dikta yang ternyata buaya.
Meski dia segila itu menginginkan Nara, tapi Elang tahu batas untuk tidak jahat menghancurkan hubungan mereka. Padahal kalau mau jadi cepu, sudah pasti sejak dulu mereka bubar. Dikta yang bucinnya minta ampun, nyatanya juga sebrengsek itu kelakuannya di belakang Nara. Tahu apa yang paling membuat Elang muak dan kadang ingin merobek mulutnya? Tak jarang saat nongkrong bareng dan ditanya sejauh mana hubungannya dengan Nara, mulut sialan Dikta bilang sekedar penasaran karena belum bisa menidurinya. Bangsatt, kan?!
Nasib baik berpihak padanya, ketika semalam akhirnya Nara tiba-tiba datang dan memergoki pacarnya itu sedang mesra dengan Gizel di Blackout. Lucunya lagi Dikta malah memintanya mengantar pacarnya pulang. Antara kasihan melihat Nara sakit hati dengan kondisinya yang tidak baik-baik saja. Tapi, itu juga kesempatan Elang merebutnya dari Dikta. Jalannya malah makin dipermulus oleh kebodohan Dikta yang menunjukkan sendiri kebusukannya ke Nara.
Kenapa semalam dia mengajak Nara ke Mirror, bukan ke apartemennya yang bisa membuat gadis itu menenangkan pikiran kacaunya? Karena Mirror adalah tempat biasa dia nongkrong. Dikta pasti akan mencarinya ke sana untuk menanyakan soal Nara. Jadi Elang sengaja membawa gadis itu ke Mirror, supaya dia bisa melihat sendiri sebrengsek apa kelakuan Dikta di belakangnya. Curang?! Tidak juga. Elang hanya menyelamatkan Nara dari mulut buaya yang menunggu kesempatan untuk menyantapnya.
“Om …” sapa Elang begitu masuk ke ruang kerja direktur utama Linzone, Ibra Abraham. Papanya Jingga.
“Sini kamu!” Ibra mengulum senyum melambaikan tangannya. Elang tahu pasti mau diintrogasi gara-gara mulut Aben yang tadi bikin gaduh asal mangap, bilang soal pagar makan rumput tetangga. Benar-benar sialan si Aben!
Kebetulan ada papanya juga di situ, Naresh Narendra. Mereka ini sudah bersahabat sejak masih SMA. Pertama kali Mirror berdiri, papanya lah yang dipercaya untuk mengurusnya. Sampai kemudian setelah menikah, papanya dipercaya menduduki posisi manajer IT di Linzone sampai sekarang. Sejak dirinya pulang dari Jerman dan bergabung di sini, papanya sebenarnya sudah beberapa kali ingin pensiun. Tapi, oleh omnya belum dikasih. Alasannya pun konyol, katanya kalau papanya mundur omnya tidak ada teman ngobrol di kantor.
Kerja di Linzone bagi Elang itu menyenangkan, karena ketiga sepupunya juga di sini. Langit, Sagara, dan Sadewa adalah cucu Jonathan Lin yang sedang digembleng, untuk menjadi pewaris perusahaan farmasi terbesar ini. Kalau Langit saudara kembar Jingga itu jadi calon penerima kursi pimpinan utama. Maka Sagara dan Sadewa menduduki kursi wakilnya. Tanggung jawab yang tidak main-main.
“Jangan bikin papa sama mamamu ketar-ketir! Kamu beneran selingkuh sama istri orang?!” tanya Ibra sambil terkekeh. Sementara Naresh papa Elang melirik anaknya penasaran.
“Nggak, Om! Mulut Aben kok dipercaya! Aku tidak segila itu sampai kepincut istri orang!” jawab Elang nyengir ke papanya yang seperti masih curiga.
“Haish! Serius, Pa!” Elang greget mendorong papanya yang kemudian tertawa geli.
Ceritanya tadi Elang bersama adik dan orang tuanya menjenguk cucu omnya ini yang baru lahir di rumah sakit. Apesnya malah ketemu Aben di situ.
“Terus maksud Aben bilang kamu pagar makan rumput tetangga apa?” tanya Naresh.
Elang garuk kepala saking bingung harus jawab apa. Sumpah, rasanya kayak sedang disidang guru BP. Ponselnya berdering di saat tak tepat. Daripada berisik dia pun merogohnya dari saku. Sialnya lagi malah telepon dari Dikta.
“Apa?” tanyanya tanpa basa-basi. Sejak tadi pagi setelah tahu Dikta datang dan membopong Nara di kantor, dia sudah eneg banget ingin menjotos muka bangsatnya itu.
“Lang, aku sekarang di Surabaya. Papa mendadak minta aku menggantikannya meeting dan meninjau proyek baru disini. Mungkin sekitar dua tiga hari. Boleh aku minta tolong?” ucap Dikta sedikit ragu.
“Minta tolong apalagi? Aku juga sibuk, Dik!” sahutnya terdengar ketus.
“Sorry, tapi aku cuma bisa mempercayakan Nara ke kamu!”
“Maksudnya?!” Elang terperangah. Seketika menegakkan punggung dengan harap-harap cemas.
“Nara masih marah gara-gara yang semalam itu. Tadi aku ke sana dia malah ngamuk mengusirku. Apalagi Gizel malah keranjingan sengaja memperkeruh keadaan. Tolong titip dia dulu! Kakinya bengkak parah. Nanti kalau kamu longgar, antar Nara ke dokter. Ya?”
Rasanya Elang kayak kejatuhan bulan. Semalam saja dia tidur sambil tersenyum, karena akhirnya bisa jadi pacar Nara. Meski sementara harus rela dijadikan selingkuhan dan main kucing-kucingan. Lha sekarang malah Dikta sendiri yang menyodorkan Nara ke pelukannya. Saking girang Elang sampai tidak sadar papa dan omnya makin menatap curiga melihatnya cengar-cengir.
“Ok, nanti setelah ini aku antar Nara ke dokter. Rumah dan kantor kami juga searah. Mulai besok biar sekalian aku yang antar jemput dia,” ucapnya.
“Serius, nggak ngrepotin?!” sahut Dikta.
“Hm,” gumam Elang mengangguk.
“Anggap saja sebagai penebus rasa bersalahku ke dia, karena ikut menutupi kelakuan bangsatmu!” cibir terang-terangan, tapi Dikta malah tergelak. Entah apa yang dia banggakan dari kelakuan brengseknya itu.
“Kamu berkata seolah aku hanya mempermainkan Nara!”
“Fakta!” sahut Elang.
“Hei, tapi aku serius cinta ke Nara! Aku juga pria normal, Bro. Wajar kalau butuh penghangat tempat tidur, karena Nara tidak mungkin memberikan itu padaku!” kelit Dikta dengan tidak tahu malunya.
“Jadi menurutmu aku pria tidak normal, gitu?!” dengus Elang. Reaksi spontan yang membuat papanya mengernyit aneh.
“Fakta juga kan, hanya kamu yang tidak pernah membahas soal cewek. Apalagi mengenalkan pacarmu! Emir bahkan sampai curiga kamu belok, karena tidak ngiler biar disuguhi yang bahenol sekalipun!” olok Dikta makin renyah menertawakan Elang.
“Belok?!” Elang terkekeh geli. “Kalau begitu ucapkan selamat padaku, karena semalam aku baru saja jadian dengan gadis yang sudah dua tahun membuatku sinting mengejarnya!” ucap Elang menyeringai puas.
Andai saja Dikta tahu, secara tidak langsung dia sendiri yang melemparkan pacarnya itu ke pelukannya. Hal yang tidak lama lagi akan dia sesali, telah menyia-nyiakan berlian seperti Nara demi kerikil dari kubangan kotor yang sering dipungutnya.
“Wah … serius aku penasaran, secantik apa gadis yang sudah membuat seorang Elang rela mengejar selama dua tahun itu! Kapan mau kamu kenalkan ke kami?” lontar Dikta antusias.
“Dia masih sibuk. Bulan depan aku akan kenalkan dia ke kalian!”
“Ok! Aku lanjut meeting lagi! Tolong bantu aku bujuk Nara, Lang! Sumpah, pusing banget ngadepin dia kalau lagi ngambek gini! Ya?” pintanya penuh harap, karena diantara temannya Nara sepertinya lebih nyaman dengan Elang yang anteng.
“Hm,” gumam Elang sebelum menyudahi obrolan mereka.
Senyumnya merekah lebar menulis chat ke Nara. Setidaknya beberapa hari ke depan dia bisa bersama Nara, tanpa harus khawatir dicurigai oleh mereka.
“Setengah jam lagi aku jemput!” tulisnya. Namun, senyumnya langsung berubah canggung begitu sadar papa dan omnya mendengar semua pembicaraannya barusan.
“Jangan bikin Papa mikir yang tidak-tidak, Lang! Kamu kenapa segirang itu dititipin pacar teman? Terus gadis yang semalam katanya jadian sama kamu itu siapa?” Naresh curiga akut ke anaknya.
“Yang Aben bilang makan rumput tetangga itu Nara pacarnya temanmu, kan?!” tebak Ibra dengan bibir berkedut menahan geli.
Lagi-lagi Elang nyengir. Mau bohong juga percuma. Hanya butuh satu panggilan telepon, omnya sanggup mengorek semua tentang apa yang ingin dia tahu.
“Dulu aku tidak sengaja jatuh cinta ke gadis yang ternyata pacarnya Dikta, Pa. Dua tahun aku nungguin mereka putus. Semalam setelah memergoki Dikta selingkuh di Blackout, mereka ribut dan Dikta minta aku mengantar Nara pulang!”
Lalu, Elang menceritakan tentang kejadian semalam. Naresh dan Ibra malah senyam-senyum. Lucu saja, Elang segoblok itu nunggu Nara sampai dua tahun. Coba kalau mereka tahu sejak awal, pasti menyuruh langsung menikungnya. Bukan membenarkan asal serobot pacar orang, tapi Dikta memang pantas mendapatkan balasan pengkhianatan.
“Kenapa kamu jadi kayak mamamu, nyerobot pacar orang?!”
“Mulutmu memang sialan, Ib!” Naresh mendengus kesal, tapi Ibra malah tertawa tergelak.
“Serius?! Papa dulu juga selingkuh dengan mama?” Elang sampai melongo.
“Nggak! Jangan dengarkan mulut om kamu!” elak Naresh.
“Justru karena Om Ibra yang ngomong, makanya layak dipercaya!”
“Haish!” Naresh greget setengah mati ke Ibra. Bisa-bisanya aib mereka dibuka di depan anaknya.
Elang beranjak bangun dari duduknya, karena mau mengantar Nara ke rumah sakit. Sekalian nanti akan dia ajak menjenguk keponakannya yang baru lahir.
“Om Ibra, beberapa hari ini izin minta sedikit kelonggaran, boleh?!” ucapnya.
“Hm.” Ibra bahkan langsung mengangguk. Kerja Elang tidak pernah mengecewakan. Sama seperti papanya yang sudah puluhan tahun jadi tangan kanannya. Makanya dia juga yakin, Elang bisa menggantikan tugas papanya yang sudah minta izin untuk pensiun.
“Sibuk apa sampai minta kelonggaran?” tanya Naresh.
“Selingkuh sama pacar orang, Pa!” sahut Elang cengengesan pergi.