Telinga Nadine berdengung. Ia mendengar gonggongan anjing di belakangnya, ia juga mendengar tawa Charlie. Kedua mata Nadine memanas. Ia sama sekali tidak menduga Charlie akan melakukan hal konyol seperti ini.
Dengan tenaga yang ia miliki, Nadine terus berlari menjauh dari Bio dan Bruce. Taman belakang rumah Niko sangat besar sampai-sampai kedua kakinya begitu sakit untuk berlari.
"Ah, sial!" pekik Nadine ketika ia menoleh dan mendapati dua anjing itu masih mengejarnya.
Nadine membelok ke sisi kiri halaman yang sama luasnya dengan taman belakang. Ia mendengar suara deru mobil, pasti dari halaman depan, pikir Nadine. Ia berharap itu adalah Niko, jadi ia mempercepat langkahnya.
"Aahh! Tolooong!" Nadine menjerit. Ia kehilangan keseimbangan dan terantuk paving blok yang ada di dekat garasi. "Aduh!"
Kedua lutut Nadine menghempas kerasnya paving blok dengan telapak tangan yang menumpu tubuhnya. Ia lantas berguling ketika Bio mendekat. Itu adalah sore paling horor dalam hidup Nadine. Anjing itu pasti akan menggigitnya, pikir Nadine.
"Heii! Stop! Stop!" Terdengar teriakan keras yang jelas bukan suara Niko. "Bio, Bruce, apa yang kalian lakukan. Duduk!"
Kedua anjing itu dengan patuh duduk, menjulurkan lidah mereka dan terlihat ngos-ngosan. Nadine sama seperti mereka hanya saja tidak melet. Napas Nadine seperti mau putus ditambah luka di lututnya yang menganga. Ia sudah hampir pingsan.
"Apa yang terjadi? Kenapa kamu diserang?"
Nadine mendongak, ia tak peduli lagi dengan sandiwara pacaran itu. Ia pasti terlihat bodoh sekali di depan Morgan saat ini.
Morgan menyipitkan matanya, ia tak butuh jawaban karena dari sisi taman ia akhirnya melihat Charlie. Pemuda itu berjalan cepat, mulai khawatir dengan Nadine. Ia menyadari ulahnya sangat impulsif dan konyol.
"Kamu yang nyuruh mereka ngejar Nadine?" tanya Morgan dengan suara besarnya.
Charlie berdehem. "Cuma bercanda, Kek."
"Bercanda? Kamu tahu siapa wanita ini? Dia calon istri papa kamu!" teriak Morgan.
Nadine terisak-isak sementara Charlie kembali ternganga. Ia menatap Nadine yang sangat pucat, tetapi ia tahu wajahnya sendiri pasti jauh lebih pucat saat ini.
"Kakek nggak bohong? Nadine mau nikah sama Papa?" tanya Charlie. Itu adalah hal yang tak masuk akal sedunia.
"Ya! Jadi jangan kurang ajar! Nadine calon ibu kamu di rumah ini. Jadi, minta maaf sama dia!"
Charlie mengerjap. Ia enggan meminta maaf karena telah berselingkuh. Ia semakin enggan setelah tahu Nadine akan menjadi nyonya rumah ini. Kenapa? Kok bisa? Charlie tak habis pikir.
Ketika itu, mobil Niko baru saja masuk ke halaman. Ia mengerutkan keningnya melihat sang ayah berdiri di halaman bersama Charlie.
"Itu bukannya putri saya?" Jono juga melihat ke arah mereka, tetapi ia lebih fokus pada Nadine yang terduduk di atas paving blok dengan gemetar.
Netra Niko langsung melebar. "Biar saya lihat."
Niko membuka pintu cepat. Ia hampir berlari ke arah ayahnya. "Ada apa ini?"
"Seperti biasa, anak kamu bikin masalah," jawab Morgan.
Niko berjongkok di sebelah Nadine. Ia menatap tubuh Nadine dari atas hingga bawah. Wajah sepucat kertas, tangan yang gemetaran dan luka besar di lututnya.
Ia lalu menoleh ke dua anjingnya yang tampak bersalah saat ini karena ia melotot pada mereka. "Apa yang kamu lakukan, Char?"
Charlie mendengkus. "Aku baru datang, dan itu yang Papa katakan?"
"Apa lagi yang harus Papa katakan? Atau lakukan? Memeluk kamu?" ledek Niko. "Kamu bukan anak-anak! Dan ini semua sama sekali nggak lucu! Kamu menyakiti Nadine."
"Cuma bercanda," kata Charlie.
"Ini bukan candaan," tukas Morgan. Ia menuding dua anjing yang kini hanya tertunduk. "Charlie minta Bruce sama Bio buat ngejar Nadine."
"Keterlaluan!" desis Niko. Ia membelai kening Nadine yang berkeringat lalu membopong tubuhnya.
Nadine terkesiap sepenuhnya. Lengan besar Niko menahan tubuhnya dan membuat ia menempel sempurna di tubuh kekar Niko. Niko tak menatapnya, tetapi itu saja sudah membuatnya panas dingin.
"Aku bisa jalan, Om," kata Nadine dengan nada tak yakin. Ia benar-benar gemetaran saat ini.
"Kamu terluka," sahut Niko. Ia menoleh ke arah Charlie. "Apa kamu udah minta maaf?"
Charlie mengepalkan tangannya. Ia berjalan dengan langkah menghentak melewati ayah dan kakeknya lalu masuk lewat pintu depan.
"Berandalan itu!" desis Morgan marah.
Niko menggeleng. Ia benar-benar tidak bisa akur dengan Charlie. Dan kini, ia tahu semuanya akan lebih runyam karena ada Nadine di antara mereka. Ia yakin Charlie mengerjai Nadine lantaran marah dengan hubungan baru Nadine dengannya. Atau mungkin karena mereka bertengkar soal perselingkuhan Charlie.
"Aku obati luka kamu," kata Niko. Ia tak menurunkan Nadine dan terus menggendong tubuh gadis itu ke ruang tamu.
Tatapan Jono mengikuti Nadine. Ia sangat cemas dengan kondisi putrinya, tetapi ia tidak tahu harus berkomentar apa karena ia ragu harus bersikap seperti apa di depan ayah Niko.
Nadine didudukkan di sofa. Niko mengangkat kedua kaki Nadine ke atas sofa tanpa melepaskan sepatu buluk Nadine. Nadine jadi agak malu karena Morgan terus menatap ke arahnya.
"Tolong kotak obatnya, Bi!" seru Niko pada salah satu pelayan.
"Ya, Tuan."
Niko meniup luka Nadine. Ia bersyukur Nadine tak kena gigitan anjing. Ia merasa bodoh sekali, seharusnya ia memperkenalkan Nadine pada anjing-anjingnya.
Nadine merapatkan betis ke pahanya. "Om, aku bisa obati sendiri."
"Aku aja," jawab Niko.
Nadine membuang napas panjang. Itu memang sangat sakit. Air matanya bahkan sampai keluar tadi. Mungkin karena ia juga ketakutan.
"Harus diobati biar nggak infeksi, Nak. Kamu tenang aja, Niko jago mengobati luka. Dia pernah jadi relawan," kata Morgan.
Niko mendengkus. Itu sudah lama sekali dan ayahnya tak perlu membahasnya. Ia menerima kotak obat dari pelayannya lalu mulai membuka. Ia menyiapkan cairan alkohol pembersih luka, kapas dan juga salep luka.
"Tangan kamu juga sakit?" tanya Niko.
Nadine mengangkat kedua tangannya yang ternyata juga sangat merah. Tak ada luka terbuka, tetapi jelas telapak tangan itu memar.
"Nanti diobati juga," kata Niko.
Nadine mengangguk pelan. Ia menatap wajah Niko yang begitu dekat dengan lututnya saat ini. Pria itu dengan telaten membersihkan lukanya. Itu sakit, tetapi memandangi wajah tampan Niko cukup membuat rasa sakit itu teralihkan.
Niko memiliki pembawaan yang tenang serta lembut. Alis matanya tegas dan bulu matanya sangat lentik. Hidungnya mancung, bibirnya merah sempurna hingga Nadine yakin pria itu tak pernah merokok.
Nadine semakin merasa bahwa Niko mirip sekali dengan Charlie. d**a Nadine berdebar keras karena ia teringat Charlie. Ia pun mengedarkan pandangannya sampai ke lantai dua.
Di sana! Charlie berdiri merapat di pagar lantai dua dengan mata terpaku padanya. Nadine bisa melihat ekspresi sedih sekaligus kecewa di wajah Charlie, tetapi ia mencoba untuk tak peduli. Toh, rasa sakitnya lebih besar ketika ia melihat Charlie mencumbu Yessy yang telanjang di atas ranjangnya.
"Kemarikan tangan kamu," kata Niko.
Nadine terkesiap. Ia mengulurkan tangannya pada Niko lalu membiarkan pria itu memberikan obat di sana.
"Udah, sebaiknya kamu istirahat di kamar," kata Niko.
Kata kamar membuat jantung Nadine semakin jumpalitan di bawah tulang rusuknya. Jika Charlie melihatnya sekamar dengan Niko, apa yang akan dikatakan pria itu?
"Bukannya kita mau makan malam?" tanya Nadine seraya menurunkan kakinya.
"Ya, bentar lagi. Aku harus mandi dulu. Dan aku mau bicara sama Charlie," ujar Niko.
"Aku di sini aja kalau gitu, nanti aku tunggu di ruang makan," kata Nadine.
"Oke, aku bisa gendong kamu kalau kaki kamu masih sakit."
Nadine meremang. "Aku bisa jalan, kok."
"Oke." Niko menoleh ke ayahnya. "Tolong temenin Nadine. Jangan tanya yang aneh-aneh."
Morgan hanya mendengkus. Ia baru saja melihat pemandangan yang tak lazim. Seorang Niko mengobati luka seorang perempuan dengan sangat hati-hati dan penuh kasih. Ah, sebagai seorang ayah yang sangat ingin melihat putranya hidup dengan normal, hatinya benar-benar terketuk.
Morgan tersenyum pada Nadine. Ia tak peduli jika Nadine berasal dari keluarga biasa. Jika Niko memang cocok dan menyukainya, ia juga akan suka.
***
Sementara itu, Niko langsung naik ke lantai dua. Ia mendesahkan napas panjang di depan Charlie. Putranya mengunyah permen karet dan ia tahu Charlie sedang memendam amarahnya.
"Ayo bicara!" ajak Niko. Ia mengedikkan dagunya ke ruang baca yang ada di dekat anak tangga.
Charlie tak punya pilihan, ia ke sini untuk menyapa ayahnya dan tentu saja mereka harus bicara.
"Kenapa Papa bisa pacaran sama Nadine? Sejak kapan?" tanya Charlie begitu ia menutup pintu ruangan.
Niko duduk di sofa dengan tangan kanan terentang di atas sandaran. "Sejak semalam, sejak kalian putus."
Charlie menyipitkan matanya. "Nggak masuk akal! Papa udah lama deket sama Nadine?"
"Sama sekali nggak," jawab Niko.
"Bohong! Kalian selingkuh di belakang aku, kan?"
Niko hampir tertawa. "Bahkan Papa nggak tahu kamu pacaran sama Nadine. Bukannya pacar yang kamu kenalkan namanya Yessy? Ngaku aja, kamu yang selingkuh dari Nadine, kan?"
Charlie mencebik. Ia memutuskan untuk duduk di seberang Niko. "Nggak adil! Papa nggak boleh pacaran sama mantan aku! Papa juga nggak boleh nikah sama Nadine!"
"Kenapa nggak boleh? Papa lajang dan Nadine jomblo, kami pasangan yang serasi," kata Niko.
"Sial!"
"Jangan mengumpat di depan Papa!" teriak Niko.
Charlie menelan saliva. Ia mengambil tisu dari atas meja lalu membuang permen karetnya.
"Sampai kapan kamu mau main-main kayak gini, Char? Papa kuliahkan kamu jauh-jauh ke Amerika dan kamu malah kayak gini? Kenapa kamu pulang? Kenapa kamu pacaran sebebas itu sama Yessy?"
Charlie tak suka dimarahi. Apalagi oleh Niko.
"Bilang cepat! Kenapa?" tanya Niko lebih keras.
Charlie mengangkat bahunya. "Yessy hamil."
"Apa?"
"Yessy hamil dan makanya ... aku pulang. Dia mau aku nikahin dia," kata Charlie.
"Hamil sama kamu?" tanya Niko.
Charlie mengangguk. Karena itu ia pulang. Orang tua Yessy ada di Jakarta. Ia tak ingin kelihatan bodoh di depan mereka. Karena itu ia mendepak Nadine dari kafe. Ia ingin diakui sebagai pengusaha muda.
Andai bisa jujur, Charlie sangat menyesal. Dengan Yessy ia bersenang-senang, tetapi hatinya masih mencintai Nadine. Dan ia tak bisa melihat Nadine dinikahi ayahnya.
"Ibu kamu tahu?" tanya Niko.
Charlie menggeleng. Ibunya akan murka jika tahu. "Karena itu aku ke sini. Aku mau Papa bantuin aku."
Niko mendengkus. Ia juga malas ribut-ribut dengan Renata.
"Papa bakal bantuin kamu, tapi jangan ganggu Nadine lagi. Dia milik Papa sejak semalam," kata Niko tegas. "Kamu paham?"