8. Permadani Penuh Duri!

1622 Kata
Waktu berjalan begitu cepat, seharusnya Anggara sudah sampai di kediamannya lima belas menit yang lalu sejak kembali dari hotel. Tapi sisa waktu sengaja dia habiskan lebih lama bersama Ayu Kinanti. Meski hanya bermesraan di samping rumah gadis tersebut, rasanya tetap saja lebih menyenangkan dibandingkan pulang ke rumah dan bertemu tatap dengan wajah Andini! “Braak!” Agak kasar Anggara menutup daun pintu kamarnya. Sprei di atas tempat tidurnya sudah diganti oleh Andini dengan warna lain. Andini perlahan membuka kelopak matanya. Wanita itu bangun dari posisi tidurnya lalu duduk di tepi tempat tidur. “Mas, baru pulang? Malam sekali.. Mas tadi pergi ke mana?” tanyanya sambil berdiri dari posisi duduknya lalu berjalan mendekat ke arah pria yang kini sedang bertukar pakaian dengan piyama tidur menghadap ke arah cermin besar di dinding. Andini menyentuh punggung Anggara, Anggara menarik lepas kaos santainya dan tepat saat Andini mengecup punggung Anggara dia mencium aroma yang sama dengan aroma pada sprei kamarnya sebelum dia menggantinya dengan yang baru. Andini kaget sekali, wanita itu segera menarik diri mundur beberapa langkah. Anggara bisa merasakan jemari tangan istrinya gemetar saat terakhir sebelum ditarik dari kulit punggungnya. “Kenapa kamu? Menjauh? Nggak suka aku pulang ke rumah?” tanyanya dengan suara lembut. Anggara memutar tubuhnya, masih bertelanjang d**a pria itu menggenggam kedua bahu Andini sambil mencermati wajah istrinya. Andini tidak ingin menyulut amarah Anggara lagi, jadi dia memilih untuk menahan semua perasaan curiga dalam hatinya. Andini kembali mendekat lalu memeluk tubuh Anggara, dia menempelkan pipinya pada tubuh atletis yang kini penuh dengan aroma parfum wanita lain! “Nggak Mas, aku mungkin hanya terlalu lelah. Mas besok berangkat ke kampus jam berapa?” Tanyanya seraya memejamkan kedua matanya rapat-rapat agar tangisnya tidak pecah malam itu. Namun tetap saja rasa hancur dalam hatinya membuat butiran bening itu jatuh dan mengalir pada kedua pipinya. Anggara merasakan dadanya basah, pria itu langsung menjauhkan tubuh Andini darinya. “Kamu itu nanya aku jam berapa berangkat, tapi kenapa malah nangis begini? Kamu masih mikir aku sama wanita lain di luar sana? Mau laporan apa lagi sama Papamu?” Tukasnya dengan nada tidak senang. “Nggak kok Mas, aku nggak telepon Papa. Aku cuma ingin Mas Gara antar aku ke klinik.” Ucapnya dengan wajah menunduk. “Ya sudah, besok aku antarkan kamu dulu. Tapi dua anakmu itu, kamu saja yang antar, aku ogah!” Serunya tanpa ragu. Anggara menyambar piyama tidurnya, tubuh yang awalnya hanya berbalut dengan boxer itu kini sudah memakai piyama. Andini mengikutinya naik ke atas ranjang. Anggara tidur memunggunginya, selalu seperti itu. Dan pria itu hanya bersikap manis saat ia benar-benar ingin mengadu pada ayahnya. Andini mencoba mengerti, mencoba memahami pilihannya, dia tahu semua yang dia lakukan memang salah sejak awal. Seharusnya dia tidak memaksa Anggara Lesmana untuk menikahinya, tapi saat itu dia sungguh hamil dan itu adalah anak dari Anggara. Dan saat dia datang untuk mengatakan pada Anggara bukannya pertanggungjawaban yang dia dapatkan, tapi perselingkuhan Anggara terjadi tepat di depan matanya! Di dalam kamar kos Anggara di Surabaya, pria itu sudah membawa gadis baru lagi. Tepat di depan matanya Andini melihat semuanya, bahkan seolah Anggara sudah menepis dirinya, dan sengaja menunjukkan perbuatan itu untuk mengusirnya menjauh. Andini sakit hati, dia bilang kalau dia hamil. Tidak peduli Anggara sedang menikmati tubuh wanita lain saat itu. Dan jawaban Anggara masih dia ingat sampai detik ini. “Memangnya itu anakku? Darah dagingku? Kamu yakin itu anakku, Ndin?” Ditambah dengan senyuman mengejek juga tatapan jijik dari mata pria yang sangat dia cintai itu membuat Andini terpaksa meminta Papanya untuk menggunakan kekuasaannya. Anggara adalah cinta pertamanya, pria satu-satunya yang menyentuh tubuhnya untuk pertama kali. Dan Andini pikir setelah mendapatkan pria tersebut untuk mendampinginya maka dia akan bahagia seperti dalam bayangannya selama ini. Bukan malah terus ditinggal berselingkuh seperti sekarang! Beberapa menit kemudian Anggara memutar tubuhnya menjadi telentang. Andini beringsut mendekat lalu memeluk pinggangnya. “Aku cinta kamu, Mas. Aku tahu kamu itu benci sama aku.. maafkan aku sudah memaksamu untuk menikah denganku.” Ucapnya lirih. Anggara yang belum sepenuhnya terlelap bisa mendengar bisikan Andini, hatinya sedikit tergerak, pria itu langsung meraih tengkuk Andini dan menikmati madu kembali bersama Andini padahal dia usai melakukannya dengan Ayu Kinanti! Andini sangat senang sekali, Anggara bersedia menyentuhnya dan itu artinya pria tersebut tidak marah lagi padanya. Ada sisi di mana Anggara sempat takut kalau Andini mengetahui bahwa gadis simpanannya saat ini adalah Ayu. Di sisi lain dia juga ingin berontak lantaran dua anak yang dia nafkahi itu bukan darah dagingnya! Itulah yang membuat Anggara kesal. “Puas kamu? Keluar banyak banget, Ndin.” Bisiknya sambil menopang kedua lengannya di kedua sisi tubuh Andini. “Iya, Mas, aku puas.. Mas, aku sayang sama kamu.” Andini memeluk kedua bahu Anggara lalu mengecup bibir tipis milik pria tersebut. “Aku turun ya? Sudah satu jam.. hampir pukul tiga pagi. Besok pagi kamu ngantuk di klinik.” Bisiknya pada Andini. “Iya, Mas.” Angguk Andini, lalu menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka berdua. Andini melewati sisa jam tidurnya dengan tinggal di pelukan Anggara. Keesokan harinya.. Bibi pelayan rumah sudah menyiapkan sarapan. Pagi ini Bi Narti kembali ke kediaman Anggara karena anaknya di kampung sudah sembuh. “Masak apa Bi?” Dita membuka tutup panci di dapur, gadis itu baru saja selesai mandi. Karena mencium aroma sedap masakan Bi Narti, dia langsung berlari ke dapur untuk melihat. “Oseng sayur Neng, kesukaan Tuan Gara.” Ucapnya sambil tersenyum. “Neng mau icip? Bibi ambilkan piring sebentar.” Bi Narti menuju ke ruang belakang untuk mengambil piring, kini tinggal Dita sendirian di dapur. Gadis itu membuka tutup lainnya untuk melihat masakan Narti. “Dita! Ke sini kamu!” Panggilan dari Anggara membuat Andita menggembungkan kedua pipinya. “Iya, Mas, ada apa?” Tanya Andita seraya melongok ke kiri dan ke kanan, Andita tidak mau Andini tahu kalau selama ini dia diam-diam tahu kalau Anggara sengaja mendua di belakang punggung Andini berkat tutup mulutnya. “Kapan Ayu serahin formulirnya? Sudah dua hari sejak aku kasih kemarin!” Omelnya dengan tidak sabar. “Yaelah Mas, baru juga dua hari! Gimana sih! Kan Ayu harus bilang, laporan dulu sama Bapak Emaknya!” keluh Andita. “Lamaa banget! Kan tinggal isi terus titipin ke kamu to?!” serunya sambil mencubit kedua pipi Andita dengan gemas. “Akh! Mas sakit tahu!” Andita membalas sambil menarik daun telinga Anggara. “Mas, Mbak Dini!” Seru Dita dengan suara berbisik lirih. Andita melihat Andini masuk ke ruang makan, wanita itu baru saja pulang mengantarkan Firdan dan Keisya ke sekolah. Anggara langsung mengalungkan lengan kanannya pada belakang tengkuk Andita, menarik anak itu ke ruang makan. “Mas sudah sarapan?” Tanyanya pada Anggara. Dita menarik kursi dan duduk, dia sudah lapar sejak mencium aroma masakan Bi Narti. Tanpa menunggu, gadis itu langsung menikmati sarapan paginya. “Belum, Ndin. Ambilkan aku nasi dan lauknya.” Sahutnya pada Andini. Andini dengan senang hati segera melayaninya, wanita itu mengambilkan apa yang diminta Anggara. “Mas, nggak lupa kan, pagi ini aku minta Mas Gara ngantar aku ke klinik?” “Iya, nanti aku antar sekalian pas berangkat ke kampus. Kebetulan aku ngisi kelas pagi ini.” Sahutnya sambil menyendok makanan lalu menyuap ke dalam mulutnya. Dita sesekali menoleh ke arah Anggara sang kakak, dan pria itu memberikan isyarat padanya agar Dita menanyakan formulir darinya pada Ayu. Dan Dita membalas Anggara dengan mengepalkan tangan kanannya tanpa sadar. “Kenapa Dit? Ada masalah di kampus?” Tanya Andini padanya. “Nggak ada, itu Mas Gara nyuruh aku em beli pulsa di counter sebelah, Dita lupa..” Serunya sambil nyengir kaku. “Iya tuh! Dita! Padahal sudah aku kasih uang bensin juga to? Kemarin seratus ribu!” Timpal Anggara. Selama ini biaya kuliah Andita, Anggara yang menanggungnya. Karena dia satu-satunya anak tertua dalam keluarganya yang bisa mengangkat status mereka menjadi lebih baik dibandingkan sebelumnya. Di Jakarta, keluarga Anggara hidup pas-pasan. “Kurang? Nanti Mbak tambahin..” sela Andini. “Nggak usah! Simpan saja uang kamu, Ndin. Aku masih bisa urus Dita.” Jawaban yang sama berulangkali Andini dengar dari bibir Anggara. Selama ini Anggara memang anti dengan uang pemberian dari Andini. Anggara sudah pernah mendengar hinaan dan cacian dari bibir ayah istrinya itu! Rasanya sangat menyakitkan! “Laki-laki kere dan miskin sepertimu, berani sekali berpacaran dengan putriku! Nggak ngaca kamu!? Gara-gara! Mentang-mentang kuliah dapat beasiswa, kamu pikir aku akan dengan mudah memberikan restuku! Jadi dosen juga baru umur bulanan! Putriku itu calon dokter spesialis kulit! Duitnya banyak nanti! Oh, apa kamu mau jadi benalu dan numpang makan tidur sama dia!? Nggak punya harga diri kamu! Dasar laki-laki nggak tahu malu! Minggat sana kamu! Jangan tunjukkan mukamu di depanku lagi! Jijik aku! Cuiiih!” Ucap Broto dengan kasar lalu meludahi wajah Anggara. Ucapan itu masih terasa jelas sekali dalam pendengarannya. Bahkan sampai detik ini. Sampai-sampai dia ingin menghancurkan pernikahannya sendiri berulangkali. Mau bagaimanapun dia menerima Andini tetap saja masih ada luka yang dia simpan dan tidak bisa dia tepis begitu saja dengan mudahnya! Belum lagi dua anak Andini yang diakui sebagai putra dan putrinya itu jelas-jelas bukan darah daging Anggara! Sebenarnya kenapa Anggara memilih meninggalkan Andini dan berselingkuh tepat di depan mata wanita yang sebenarnya dia cintai itu?! Karena awalnya kedua orang tua Andinilah yang meminta dirinya menyingkir dari putri mereka. Bukan Anggara yang ingin kabur, dan Anggara sebenarnya juga tidak tahu kalau saat itu Andini sedang mengandung benih darinya. Beberapa hari setelah itu ancaman dari ayah Andini membuatnya tidak bisa mengatakan kebenaran kalau sebelumnya dia sudah dihina! Ayah Andini panik mengetahui putri semata wayangnya hamil. Andini menolak menggugurkannya dan Andini ingin Anggara menikahinya. Kedua orang tua Andini terpaksa menjilat ludahnya kembali, dan menikahkan putrinya dengan Anggara Lesmana. Ucapan dari bibir ayah Andini bagai permadani penuh duri yang harus dia injak setiap kali bertemu tatap dengan si tua-bangka itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN