Setelah membayar taxi, Freya bergegas menuju ke sebuah rumah yang sudah sering ia masuki ketika gundah gulana, tak peduli meski sang pemilik rumah menolak kehadirannya. Karena siapapun tak akan mau membukakan pintu jika kelakuan tamunya seperti ini.
Freya mengetuk pintu dengan sekuat tenaga sambil berteriak.
“Jamal! Buka pintu! Jamal sialan! b******k!”
Tak lama pintu terbuka dan terdengar teriakan dari dalam rumah.
“Aduh! Yaya lo apa-apaan sih!” Jamal menangkis pukulan yang Freya layangkan.
“Sialan lo! b******k! Lo kata kerjanya cuma antar makanan saja!”
Jamal segera menangkap lengan Freya yang terus membabi buta.
“Tunggu Freya! Lo datang-datang bikin onar di rumah gue, pake teriak-teriak segala! Lo kan harus kerja? Kenapa justru ngamuk-ngamuk di sini!”
Freya menghempaskan lengan Jamal, dan memilih duduk di sofa setelah sebelumnya meraih remote televisi dan mematikan acara sepak bola yang tengah ditonton Jamal.
“Lah, Ya! Kenapa main matikan tivi aja sih! Gue lagi nonton Yaya! Sini gak itu remote?” pinta Jamal.
Napas Freya memburu yang disertai dengan tatapan mautnya.
“Lo harus bertanggung jawab Jamal. Gara-gara lo masukin kerja ke tempat tadi, gue hampir diperkosa, gue dilecehkan. b******k lo!” Tak puas dengan omelannya, Freya melempar remote di tangannya ke lanti hingga pecah jadi dua.
“Hah, apa!” Jamal berteriak tak percaya. Ingin mengamuk karena remotenya hancur tak mungkin. Ucapan Freya membuatnya terkejut luar biasa.
Pasalnya ia mengenal Jeff, dan tak mungkin Jeff membohonginya. Jelas-jelas yang Jeff butuhkan itu pelayan, bukan w************n.
“Ini, lo lihat lisptik di bibir gue ilang. Lo liat kan?”
Jamal meneliti bibir Freya.
“Iya Ya, kok ilang.”
Freya terisak.
“Gue hampir diraba-raba, dilecehkan, pokoknya semuanya bikin gue merasa jijik sama diri gue sendiri.”
“Ta-tapi lo gak apa-apa kan?”
“Ada orang yang nolong gue, dan gue selamat.” Suara Freya kembali tegas.
Terdengar helaan napas dari Jamal.
“Syukurlah.”
“Tapi ....”
Jamal mengerjap.
“Tapi? Kok ada tapi Yaya?” Hati Jamal yang semula lega menjadi ketar-ketir lagi.
“Cicilan lipstik gue gimana Jamal? Gue kudu bayar.” Masih dengan menghapus kedua sudut matanya Yaya memperlihatkan wajah mengenaskan.
“Cicilan lipstik lo emang berapa?”
“Mingguan lima puluh ribu selama empat kali.”
“Hah! Mahal amat itu lipstik? Dua ratus ribu?”
“Ya kan namanya juga kredit.” Freya mencoba mencari alasan.
“Ya tapi, kalau mahal mah gak mudah pudar kali dari bibir lo Ya?”
“Ya mana gue tahu, Lola bilang segitu, masa dia boong.” Freya mendelik.
Hening sesaat terjadi.
“Gimana dong Jamal. Lo harus bertanggung jawab karena bibir gue udah gak suci lagi.”
Jamal mengerjap. Apa hubungannya ama gue coba?
“Tanggung jawab? Lah ko minta tanggung jawab sama gue sih Ya?”
“Kan lo yang nyuruh gue kerja d sana! Gila ya lo, kalau gue kenapa-kenapa, terus gue hamil terus gue-“
“Freya.”
“Lo tega ya sama gue, ya ampun Jamal! Kita temenan sejak kecil dan lo jerumuskan gue kayak tadi!”
Freya bangkit dari duduk dan menatap Jamal dengan kesal luar biasa.
“Ya, nanti deh gue tanya Jeff apa yang sebenarnya terjadi.”
Mata Jamal melotot ketika Freya meraih sepatunya.
“Oke Yaya, gue bayarin kreditan lipstik lo!”
Gerakan Freya yang meraih sepatunya berhenti.
“Serius Jamal?”
“Iya! Serius.” Jamal nyaris histeris.
Lalu Jamal meraih dompetnya dan mengeluarkan uang dua ratus ribu. Ia meletakkan uang di telapak tangan Freya.
“Ini lo bayarin semua sama si Lola. Besok-besok lo gak usah sok-sokan kreditan, bini bukan pacar bukan, tapi kreditan gue yang bayarin.”
“Lo gak ikhlas?” Freya menyeringai menatap uang di tangannya.
“Ikhlas Yaya, gue ikhlas. Lo lihat kan tampang gue ikhlas gini?” Jamal menebar senyum.
“Oke.”
“Mending lo pulang sana, tar nenek lo nyariin.”
“Iya ini juga gue mau pulang, kan kudu pake sepatu dulu?”
Jamal mengerjap.
“Jadi lo ambil sepatu itu untuk ….”
“Ya mau gue pake-lah, masa gue nyeker pulang, lo mau sepatu gue? Ini sepatu cewek, mana bisa-“
“Ya udah-ya udah, gue ngerti kok, gue aja yang bego gak ketulungan.”
Jamal menggeram dalam hati. Sialan!
Freya memakai sepatunya.
“Jamal gue balik, jangan lupa lo tanya si Jeff besok.”
“Iya Freya.”
Baru beberapa langkah Freya berjalan, ia berhenti.
“Apalagi Yaya?”
“Hmm kalau lo butuh tukang cuci gosok baju lo, gue mau kok. Kabari Jamal, bye!”
Lalu Freya melangkah pergi meninggalkan Jamal yang menggerutu dalam hati.
“Hilang sudah pendapatan gue hari ini, mana remote rusak pula. Arrrgghh Freya benar-benar bikin gue bangkrut.”
Jamal duduk bersandar di atas sofa.
Andai tidak ada kejadian aneh pada sahabatnya itu, dia tak akan mau membantu sampai sejauh ini. Karena menolong Freya selalu membuat dirinya bangkrut.
Sementara di klub.
Reifan masih menatap Jeff dengan tatapan kesalnya.
“Aku mau minta alamat wanita yang tadi bersama Edwin di ruangan itu.”
Jeff menggeleng.
“Aku gak mengenalnya.”
“Jangan sampai aku membuat tempatmu ini hancur.”
Jeff menelan ludah.
“Maaf Pak Reifan yang terhormat. Dia hanya karyawan baru di tempat saya. Baru hari ini dia berkerja diantar kekasihnya kemari, dan menurut saya wanita itu tidak ada hubungannya dengan adik ipar anda.”
Jeff memandang lelaki tampan di depannya ini. Siapa yang tidak mengenal Reifan, dia adalah pemilik Delvaro Group yang terkenal. Hanya Jeff baru tahu jika lelaki yang menyewa ruang VIP itu adalah adik iparnya.
“Saya yang memutuskan ada hubungan atau tidak diantara mereka berdua. Jelas saya melihat dengan mata kepala saya sendiri bagaimana mereka mau berbuat m***m tadi.”
Jeff mengangguk.
Ia tahu desas desus jika adik ipar lelaki tampan ini b******k, tapi tidak menduga jika malam ini tempatnya yang dijadikan sasaran lelaki b******k itu. Jeff masih melihat bagaimana lelaki ini menghajar adik iparnya itu. Tepatnya mereka baku hantam, dan berakhir dengan Reifan ini pemenangnya.
“Bagaimana saudara Jeff, anda berkenan paling tidak memberikan saya alamat gadis itu? Atau mungkin pacar gadis itu?”
“Saya hanya tahu kekasihnya, saya mengenalnya baik.”
“Oke, berikan saya alamatnya.”
Jeff menuliskan alamat.
“Ini bengkel kekasih gadis itu, namanya Jamal. Tapi please, jangan berbuat sesuatu hal yang merugikan di sana.”
Rahang Reifan berkedut menahan kesal.
“Saya yang memutuskan, bukan anda.”
Tanpa mengucapkan terima kasih, Reifan berjalan ke arah mobilnya.
Napasnya memburu, ia paling tidak suka menunda masalah. Siapapun yang mencari masalah pada keluarganya akan ia kejar hingga orang itu menyesal telah mengenalnya.
Bisa dipastikan Edwin akan lama tinggal di atas ranjang, dan kembali adiknya akan mengurus suami brengseknya itu. Sial!! Tetap saja Marsha yang kesusahan. Kalau gak ingat rengekan adiknya, sudah ia patahkan tulang leher lelaki itu. Sudah menumpang hidup tapi masih saja bertingkah.
“Kita ke alamat ini.” Reifan meminta pada supirnya.
“Baik Pak.”
Tak lama mobil Reifan sampai di sebuah bengkel. Ia bahkan keluar dari mobilnya.
“Cuma bengkel kecil begini, berani merusak kebahagiaan Marsha? Wanita licik.”
Reifan masih mengingat bagaimana bibirnya bertemu dengan bibir perempuan itu. Dan itu sangat menjijikkan.
“Bagaimana bos? Apa yang harus saya kerjakan sekarang?” Salah satu pengawal Reifan menghampiri.
Tarikan napas Reifan bersamaan dengan titahnya yang sungguh mengerikan, terutama jika di dengar si pemilik bengkel yang saat ini tengah tertidur nyenyak di dalam rumah, karena tak bisa menonton lanjutan sepak bola, akibat remotenya yang rusak.
“Hancurkan bengkel ini sekarang juga.”