Sembilan

1875 Kata
Selasa (14.02), 13 April 2021 ---------------------- Rasa hangat yang mulai familiar menyelimuti Carissa. Perlahan kelopak matanya terangkat dan tatapannya langsung terpaku pada d**a telanjang Fachmi. Mata Carissa melebar. Kini mereka berbaring berhadapan. Lengan Fachmi memeluknya erat sementara wajah Carissa menempel di d**a Fachmi. Seketika, wajah Carissa terasa panas karena malu. Menggeliat pelan, Carissa berusaha melepaskan diri dari rengkuhan lengan Fachmi. Rupanya Fachmi masih terlelap hingga tidak menyadari bahwa Carissa mulai turun dari ranjang dan bergegas menuju kamar mandi. Napas Carissa terengah ketika dia menyandarkan punggung di pintu kamar mandi. Jantungnya berdegup sangat cepat. Sejak menikah, memang ini bukan kali pertama Carissa terjaga dalam dekapan Fachmi. Tapi jelas ini pertama kalinya dia terjaga dalam pelukan Fachmi yang tengah bertelanjang d**a. Dan itu membuatnya teringat kejadian di kamar mandi kemarin siang. Arghh! Buru-buru Carissa menyelinap ke bilik shower untuk menghentikan otaknya yang mulai berkelana. Lalu dia mandi sambil bertanya-tanya dalam hati kapan Fachmi melepas pakaiannya? Atau apakah semalam lelaki itu memang berbaring dengan bertelanjang d**a? Kalau tahu begitu, Carissa tidak akan mau tidur di samping si tua m***m itu. Selesai mandi, Carissa membuka pintu pelan lalu mengintip ke arah ranjang. Napas lega berembus dari sela bibirnya melihat Fachmi masih tidur nyenyak. Sambil berjingkat, Carissa menuju lemari, mengambil kaus longgar dan celana pendek serta dalamannya lalu kembali  ke kamar mandi untuk mengenakannya. Desah lelah terdengar dari sela bibir Carissa saat dia berjalan menuju dapur. Dirinya belum terbiasa berbagi kamar dengan seseorang. Apalagi orang itu adalah lelaki yang jauh lebih tua darinya. Sangat tidak nyaman dan membuatnya gelisah sepanjang waktu. Padahal apartemen ini kini menjadi rumahnya. Tapi Carissa sama sekali tidak tenang. Dan itu membuatnya merindukan rumah orang tuanya. “Astaga, bagaimana ini?” pertanyaan bernada cemas itu terlontar begitu saja dari bibir Carissa saat mendapati makanan yang disiapkan mamanya mulai basi. Beberapa menguarkan aroma tak sedap dan yang lain tampak berubah menjadi cairan kental seperti ingus. Ugh! Sangat menjijikkan. Carissa segera mengeluarkan makanan itu dari lemari pendingin lalu membungkusnya dengan kantong kresek. Dia berbalik hendak membawa keluar makanan yang sudah berubah menjadi sampah itu tapi langkahnya berhenti mendapati Fachmi tengah berjalan memasuki dapur dengan tubuh tampak segar sehabis mandi. “Makanannya sudah basi?” tanya Fachmi begitu berdiri di depan Carissa. Carissa merengut sedih seraya mengangguk pelan. Fachmi mendesah. “Lalu kita harus makan apa?” Mata Carissa menyipit curiga. “Kau tidak berpikir untuk menyuruhku memasak, kan?” Fachmi menampilkan raut datarnya yang biasa. “Kau mau?” Carissa melotot. “Jangan harap! Lagipula aku memang tidak bisa memasak. Mama saja tidak pernah menyuruhku masak.” Setidaknya sebelum aku menikah, lanjut Carissa dalam hati seraya meringis. Mendadak Fachmi tersenyum, membuat Carissa makin waspada. “Sudah kubilang, aku akan belajar menjadi suami yang baik. Aku tidak akan memaksamu melakukan sesuatu yang tidak ingin kau lakukan.” “Kalau begitu, pagi ini kita akan sarapan apa?” tanya Carissa hati-hati. “Ada rumah makan sederhana di dekat sini. Tapi masakannya lezat. Kita sarapan di sana lalu membeli makanan instan di minimarket.” “Kau tidak keberatan makan makanan instan?” “Biasanya memang itu yang paling sering kumakan sejak memutuskan tinggal pisah dari orang tua.” Dia mendesah. “Bahkan sering kali aku lupa makan. Kanza sampai cerewet mengingatkanku jam makan saat masih tinggal di sini.” “Benarkah?” Fachmi mengangguk. Carissa merenung. Ternyata tinggal pisah dari orang tua tidak seseru yang dirinya pikirkan. Memang sih, tidak akan ada lagi yang melarang dirinya melakukan apapun yang dia mau. Tapi tidak ada juga yang akan memperhatikan dirinya lagi. Seperti menyiapkan makan tepat waktu. Mengingatkan untuk merawat diri dan selalu menjaga dirinya. Fachmi menahan senyum melihat Carissa tampak memikirkan ucapannya. Meski dia tidak tahu persis ke arah mana pikiran Carissa melangkah, tapi dia yakin itu akan sedikit membuka pikiran Carissa. Padahal yang dikatakan Fachmi tidak sepenuhnya jujur. Dia tidak pernah makan makanan instan kecuali terpaksa. Dirinya cukup pintar memasak. Kalau sedang malas, biasanya Fachmi akan membeli makanan atau berkendara ke rumah orang tuanya. Biarlah. Jika kebohongan itu bisa membawa perubahan yang lebih baik, dia tidak keberatan melakukannya. Dan sekarang misi Fachmi selanjutnya, bagaimana membuat Carissa bersedia belajar memasak tanpa paksaan. *** Ternyata Fachmi tidak membual bahwa makanan di rumah makan ini sangat lezat. Tak sadar, Carissa makan dengan lahap lalu bersendawa dengan keras. “Ckckck…andai kau wanita lain, aku pasti langsung pergi begitu melihat cara makanmu seperti orang kelaparan begitu. Apalagi setelah mendengarmu bersendawa sangat keras.” Carissa mengabaikan sindiran Fachmi. Dia menghabiskan segelas air lalu kembali bersendawa. Cengiran Carissa muncul melihat Fachmi menatapnya kesal. “Maaf, Om. Aku tidak bisa menahan diri. Makanan di sini memang sangat lezat.” Cengiran Carissa masih bertahan. Fachmi mendesah. Carissa malah berusaha semakin membuatnya kesal dengan menggunakan panggilan itu. “Panggil aku Mas Fachmi.” Carissa menumpukan kedua siku di atas meja lalu menopang dagu. “Kenapa bukan Kakak saja? Di keluarga kita jarang menggunakan panggilan itu.” “Kakak terlalu biasa. Aku tidak ingin disamakan dengan Juan atau Farrel.” Carissa menahan senyum. Meski Fachmi masih mempertahankan raut datarnya, nada merajuk dalam suara lelaki itu terdengar menggelikan. “Kalau begitu aku tidak salah memanggilmu Om. Aku tidak pernah memanggil Kak Juan atau Kak Farrel dengan panggilan itu.” Carissa menyeringai. “Dasar anak bandel,” geram Fachmi. Carissa terbahak. “Carissa, kau sarapan di sini juga?” Carissa tertegun. Sepertinya dia mengenal pemilik suara yang tengah berdiri di dekatnya. Perlahan dia mendongak lalu mengumpat dalam hati melihat Trish, teman sekelasnya. Bukannya dia memiliki hubungan yang buruk dengan Trish. Hanya saja, bagaimana Carissa harus menjelaskan siapa si tua m***m di depannya itu? Mana mungkin Carissa mengaku bahwa dirinya sudah menikah. Dia sudah memohon pada orang tuanya agar berita pernikahannya tidak sampai terdengar teman-temannya. “Oh, hai Trish. Kau terlihat sangat rapi.” “Ya, tentu saja. Aku hendak ke tempat magang dan selalu mampir ke sini untuk sarapan.” Kening Trish berkerut melihat Carissa tampak berpakaian santai lalu perhatiannya beralih pada lelaki dewasa yang sedang makan bersama Carissa. Tapi buru-buru dia mengalihkan perhatiannya kembali pada Carissa begitu mendapat tatapan sedingin es dari lelaki itu. “Kau libur hari ini? Dan—siapa lelaki seksi itu?” Trish memelankan suara di kalimat terakhir. Carissa menggigit bibir saat tatapannya beradu dengan tatapan Fachmi. “Ah, iya. Aku libur.” “Lalu?” Trish mengedikkan dagu ke arah Fachmi yang kini menatap tajam Carissa. “Aku—” “Dia Om-ku!” Carissa memotong ucapan Fachmi lalu meringis saat melihat kilat marah dalam mata itu. “Om?” mata Trish berbinar. “Aku tidak tahu bahwa kau punya Om yang sangat tampan dan seksi seperti ini.” Kali ini Trish tidak merendahkan suaranya. “Kau tidak mau memperkenalkan kami?” Carissa melotot pada Trish memperingatkan. “Hubungan kekerabatan kita sangat jauh, Carissa. Dan aku tidak ingat pernah jadi Om-mu,” geram Fachmi. Saat itulah Trish mengerti bahwa situasi di antara Carissa dan Om-nya sedang tidak baik. “Ehm, sebaiknya aku berangkat sekarang sebelum terlambat. Dah, Carissa.” “Eh.” Tangan Carissa terangkat hendak mencegah kepergian Trish. Tapi urung saat merasakan tatapan membekukan di seberang meja. “Dah, Trish,” suara Carissa lemah. Sepeninggal Trish, Fachmi melanjutkan makan seolah tidak terjadi apapun sebelumnya. Tapi Carissa bisa merasakan dengan jelas ketegangan yang menguar dari tubuh Fachmi. Atau bisa disebut—kemarahan? Dalam hati Fachmi sedang berjuang keras untuk meredakan amarahnya yang sudah mencapai ubun-ubun. Rasanya sangat mengesalkan menyadari Carissa tidak mau mengakui dirinya sebagai suami. Apa alasannya murni karena Carissa masih SMA yang seharusnya belum menikah atau karena dia malu memiliki suami yang jauh lebih tua? Entah mengapa Fachmi lebih yakin jawabannya yang kedua dan itu membuat kekesalannya kian bertambah. Sesuai rencana, selesai sarapan mereka berbelanja. Carissa masih bersikap takut-takut meski Fachmi sudah mulai tenang dan berbicara seperti biasa. Tentu minus senyum manis yang akhir-akhir ini sering dilihat Carissa. Dia seperti melihat sosok Fachmi sebelum mereka menikah. Selesai berbelanja, keduanya berjalan kaki kembali ke apartemen. Belanjaan mereka banyak. Tapi sebagian besar Fachmi yang membawanya sementara Carissa hanya membawa satu kantong plastik berisi camilan pilihannya. “Ehm, soal yang tadi—” akhirnya Carissa tidak bisa menahan diri untuk tidak membahasnya. “aku minta maaf. Aku hanya—” “Tidak perlu diingat-ingat lagi,” potong Fachmi. “Aku tahu kau belum siap. Tanpa diminta kau pasti akan mengakuiku sebagai suami begitu siap.” Carissa menggigit bibir. Sikap Fachmi sejak kemarin malam membuatnya terus merasa tidak enak hati. Sepertinya Carissa lebih sanggup menghadapi Fachmi yang tukang mengancam daripada Fachmi yang seperti ini. Setelah percakapan singkat itu, keduanya kembali terdiam. Carissa semakin salah tingkah dan sesekali mencuri pandang ke arah Fachmi yang berjalan di sisinya. Lelaki itu tampak begitu serius seolah tengah memikirkan sesuatu yang rumit. Ya, memang. Fachmi memang memikirkan sesuatu yang rumit. Setelah berhasil meredakan kemarahannya yang tersulut karena Carissa tidak mau mengakui dirinya sebagai suami di hadapan temannya, dia memusatkan pikirannya ke rencana semula. Membuat Carissa bersedia belajar masak. Tapi bagaimana? Sampai detik ini belum ada ide yang melintas. Jelas Carissa tidak akan mau melakukan hal itu jika diminta secara terang-terangan. Mendadak langkah Fachmi terhenti saat tatapannya menangkap laju ambulans dengan sirenenya yang berbunyi keras. Sebuah ide melintas di otaknya. Nyaris saja Fachmi menyeringai lebar namun kegembiraannya langsung lenyap saat mendengar panggilan Carissa yang membuatnya jengkel. “Ada apa, Om?” Om lagi? Bahkan jika dilihat dari hubungan kekerabatan mereka, Carissa seharusnya memanggil dirinya Kakak atau Mas dan bukannya Om. Menahan kekesalannya agar tidak tampak di wajah, Fachmi berusaha menjawab santai. “Tidak apa-apa. Mas hanya teringat harus menemui seseorang.” Fachmi kembali melangkah yang segera diikuti Carissa. Senyum kecilnya muncul sesaat melihat Carissa meringis mendengar panggilan yang Fachmi gunakan untuk dirinya sendiri. “Siang ini?” “Hm.” “Lalu aku?” Fachmi berhenti lalu menoleh menatap Carissa. “Kau takut sendirian?” Carissa mengangkat dagu tinggi untuk menunjukkan bahwa dia berani. “Sama sekali tidak.” “Baguslah. Mas akan kembali sebelum makan siang agar bisa membantumu.” Fachmi tersenyum lembut lalu kembali melanjutkan langkah. Senyum itu lagi! Carissa mengerang dalam hati seraya membuntuti Fachmi. Ada apa dengan senyum itu hingga bisa memberikan efek yang menyebalkan terhadap jantungnya? Tiba di apartemen, keduanya langsung menuju dapur karena sebagian besar belanjaan adalah keperluan dapur. Carissa segera mengeluarkan belanjaan dari kantong-kantong plastik dan mulai memikirkan hendak meletakkan barang-barang itu di mana. “Sayang sekali aku tidak bisa membantu. Aku harus bergegas agar bisa pulang sesuai rencana,” ujar Fachmi seraya menunjuk barang-barang belanjaan. “Oh, tidak masalah. Kalau hanya begini, aku bisa melakukannya sendiri. Aku hanya bingung harus menyimpannya di mana.” “Terserah kau saja. Kalau kau ingin menata ulang letak barang-barang di apartemen ini juga tidak masalah. Bagaimanapun kau Nyonya rumah di sini.” Nyonya rumah? Carissa meringis. Nyonya rumah berusia tujuh belas tahun. Kenapa kedengarannya sangat menggelikan di zaman modern seperti sekarang? “Baiklah, aku harus pergi sekarang.” Sebelum Carissa sempat menebak apa yang akan dilakukannya, Fachmi sudah menanamkan kecupan amat lembut di kening Carissa. “Sampai jumpa nanti siang.” Lalu dia berbalik meninggalkan Carissa. Bibir Carissa masih terbuka bahkan setelah dia mendengar pintu depan dibuka lalu ditutup kembali. Perlahan tangannya terangkat, menekan dadanya yang berdebar sangat kencang. Dasar Om tua m*sum b*engsek! Sepertinya dia sengaja ingin membuat Carissa mati muda. ---------------------- ♥ Aya Emily ♥
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN